Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kemenhut: Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan Tunggu Revisi Perpres No. 98 Tahun 2021

Kemenhut menunggu revisi Perpres No. 98/2021 untuk membuka perdagangan karbon sektor kehutanan, melibatkan swasta dalam pemulihan lahan kritis.
Ilustrasi kredit karbon
Ilustrasi kredit karbon
Ringkasan Berita
  • Pemerintah sedang merevisi Perpres No. 98/2021 untuk memperkuat ekosistem perdagangan karbon sektor kehutanan dan membuka peluang investasi swasta.
  • Rencana perdagangan karbon sektor kehutanan yang melibatkan 6,5 juta hektare lahan terdegradasi belum terealisasi, menunggu selesainya revisi peraturan.
  • Potensi perdagangan karbon sektor kehutanan pada 2025 diperkirakan mencapai 26,5 juta ton CO2, dengan nilai transaksi antara Rp1,6 triliun hingga Rp3,2 triliun per tahun.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Kehutanan membuka peluang partisipasi sektor swasta dalam pendanaan iklim kehutanan melalui perdagangan karbon sukarela (voluntary carbon market/VCM). Namun pemerintah tengah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional untuk memperkuat ekosistem yang mengakomodasi pasar karbon sektor kehutanan.

Carbon market [sektor kehutanan] juga akan segera kami buka, terutama melalui revisi Perpres No. 98 Tahun 2021 yang tengah berjalan. Itu akan memungkinkan pihak swasta untuk berinvestasi,” kata Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni ketika ditemui setelah Kick Off Meeting Concept Note dan Proposal Pendanaan Baru untuk RBP REDD+ CGF Tahap II di Jakarta, Selasa (12/8/2025).

Raja Juli menjelaskan bahwa Kemenhut telah mengidentifikasi 6,5 juta hektare lahan dan hutan terdegradasi maupun berstatus kritis yang bisa diikutsertakan dalam proyek penurunan emisi karbon. Investasi swasta untuk pemulihan lahan-lahan ini dia sebut dapat menghasilkan kredit karbon yang kemudian diperdagangkan dan menjadi insentif bagi korporasi.

“Kami berharap akan ada investasi untuk menanam di daerah-daerah yang tandus itu, dan konsekuensinya tentu swasta mendapatkan insentif dari usaha mereka. Namun saya kira ini juga akan baik untuk pendapatan negara melalui pajak dan sebagainya. Ini mekanisme yang sedang kami bicarakan,” paparnya.

Kementerian Kehutanan mulanya berencana membuka perdagangan kredit karbon sektor kehutanan pada Juli 2025. Namun, rencana tersebut belum memperlihatkan realisasi hingga kini.

“Ada sedikit yang belum selesai ya. Sebelumnya saya sebut Juli [dimulai], tetapi belum bisa. Sesegera mungkin ketika revisi itu selesai, kami akan buka pendekatan perdagangan karbon secara sukarela,” kata Raja Juli.

Dalam pernyataan pada Maret 2025, Raja Juli mengemukakan tahap awal perdagangan karbon sektor kehutanan akan mencakup skema pengelolaan hutan oleh swasta Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dan Perhutanan Sosial, dengan potensi serapan karbon yang berbeda.

PBPH memiliki potensi serapan 20–58 ton CO2 per ha dengan harga US$5–10 per ton CO2, sementara Perhutanan Sosial dapat menyerap hingga 100 ton CO2 per ha dengan harga mencapai 30 euro per ton CO2.

Pada 2025, potensi perdagangan karbon sektor kehutanan diperkirakan mencapai 26,5 juta ton CO2, dengan nilai transaksi berkisar Rp1,6 triliun–Rp3,2 triliun per tahun.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro