Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Malaysia bakal mulai menerapkan pajak karbon pada 2026. Langkah ini diperkirakan bakal menambah pendapatan kas negara hingga 1 miliar ringgit atau sekitar Rp3,87 triliun menurut estimasi BIMB Securities.
Pajak karbon ini nantinya akan menyasar sektor-sektor dengan produksi polusi tertinggi, di antaranya adalah besi, baja dan energi. Malaysia sendiri menargetkan penurunan intensitas karbon sebesar 45% pada 2030 dan mencapai netral karbon (net zero) pada 2050.
BIMB dalam catatan menyebutkan bahwa sektor energi merupakan penyumbang 80% dari total emisi karbon Malaysia pada 2023.
Sejauh ini, hanya Indonesia dan Singapura yang menerapkan sistem harga karbon di kawasan Asia Tenggara. Namun, Vietnam, Brunei Darussalam dan Thailand telah mengumumkan rencana untuk mematok harga karbon.
BIMB menyebutkan bahwa Malaysia akan mengadopsi metode harga karbon sebagaimana diterapkan Singapura. Negeri Singa pertama kali menerapkan pajak karbon pada 2019 dengan mematok tarif 5 dolar Singapura per ton CO2 ekuivalen (tCO2e) yang berlaku hingga 2023.
Tarif pajak karbon tersebut kemudian naik menjadi 25 dolar Singapura tCO2e dan akan naik secara bertahap menjadi 45 dolar Singapura per tCO2e pada 2026 dan 2027. Tarif karbon Singapura bakal kembali dinaikkan menjadi 50–80 per tCO2e pada 2030.
Baca Juga
“Memulai dengan tarif rendah akan membuka jalan untuk evaluasi dampak pajak terhadap ekonomi dan lingkungan, sekaligus memberi ruang bagi industri untuk beradaptasi,” tulis BIMB Securities, dikutip dari Bloomberg, Senin (4/8/2025).
Sementara itu, analis BloombergNEF Joy Foo mengemukakan efektivitas pajak karbon Malaysia dalam mendukung target lingkungan dan perdagangan akan sangat bergantung pada apakah tarif tinggi pajak diterapkan sesuai rencana.