Bisnis.com, JAKARTA – Ironi kualitas udara di perkotaan khususnya Jabodetabek kian terasa pekat.
Di balik retorika perbaikan, wilayah perkotaan terus bergulat dengan emisi tinggi dari sektor energi, industri, dan transportasi, menghadirkan ancaman nyata bagi produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Keprihatinan pemerintah terhadap isu kualitas udara sudah terungkap dari Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq, yang menyampaikan permintaan maaf dan menjanjikan pemetaan sumber polusi industri.
"Biasanya memasuki musim kemarau, maka kualitas udara Jakarta akan turun. Ini kemarin saya membaca di beberapa media sudah turun ya, dan saya minta maaf untuk itu," ujarnya, dikutip dari Antara, Senin (19/5/2025)
Di tengah keterbatasan kewenangan penindakan langsung Kementerian LH, langkah adaptif seperti pengembangan sistem peringatan dini menjadi andalan.
Deputi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLH, Rasio Ridho Sani, menjelaskan bahwa sistem ini akan memanfaatkan data real-time dan parameter cuaca untuk memberikan notifikasi dini kepada pihak terkait dan masyarakat.
Baca Juga
"Sistem ini akan memanfaatkan data pemantauan kualitas udara secara real-time yang dikombinasikan dengan parameter cuaca dari BMKG," katanya, dalam RDP dengan Komisi XII DPR RI, Senin (19/5/2025).
Kendati demikian, efektivitas solusi hilir ini dalam menekan emisi masih dipertanyakan. Pasalnya, merujuk Laporan Kualitas Udara Dunia IQAir 2023 menempatkan Jakarta pada peringkat yang mengkhawatirkan, dengan tingkat polusi PM 2,5 yang jauh melampaui standar WHO.
Posisi Indonesia sebagai negara paling berpolusi di Asia Tenggara, dengan Tangerang Selatan sebagai kota terpolusi di Asean.
Dampak buruk kualitas udara ini tidak hanya mengancam kesehatan publik, sebagaimana tercermin dalam data morbiditas dan mortalitas penyakit respirasi dari Kementerian Kesehatan.
Pada kesempatan yang sama, Co-Founder Bicara Udara, Novita Natalia, menekankan dampak polusi udara memberi implikasi ekonomi yang signifikan. Menurutnya, polusi udara sudah menjadi ancaman nyata bagi produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi.
"Dari penyakit pernapasan, polusi udara telah merugikan Indonesia hingga Rp18 triliun pada 2018-2022," ujarnya.
Ia juga menyoroti lambannya implementasi kebijakan yang menunjukkan kurangnya urgensi dari pemerintah. Bicara Udara khawatir, apabila tidak aka aksi nyata, Indonesia akan mengalami kerugian yang mencapai US$43 miliar per tahun pada 2030.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safrudin, menitikberatkan implementasi kebijakan di sektor transportasi. Menurutnya, penerapan bahan bakar rendah belerang (low silver fuel) sebagai prasyarat standar emisi Euro 4 menjadi krusial.
"Nah konteks ini maka perlu dorongan kuat bagaimana agar low silver fuel yang menjadi persyaratan untuk Euro 4 ini bisa diterapkan," ujarnya.
KPBB berharap dukungan DPR dapat mempercepat transisi menerapkan BBM standar Euro 4 di Tanah Air. Penerapannya bisa bertahap, sesuai dengan skenario yang telah pemerintah susun.
Sebelumnya, di era pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo, penerapan standar Euro 4 diterapkan pada 2025, kemudian akan meningkat menjadi 34% pada 2026, kemudian 2027 itu meningkat lagi menjadi 64%, dan pada 2028 BBM yang beredar sudah memenuhi 100% BBM standar Euro 4" katanya.
Deputi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL), Rasio Ridho Sani, mengakui kompleksitas penanganan polusi udara yang melibatkan berbagai sektor.
Namun, tantangan koordinasi lintas sektor yang efektif masih menjadi kendala. Selain itu, lanjut Rasio, KLH memiliki keterbatasan kewenangan dalam penegakan hukum.
"Kami melakukan uji-uji, tapi masih jumlahnya sangat kecil karena otoritasnya juga tidak langsung berada di kami,” tambahnya.
Mendengar pendapat pemangku kepentingan, Komisi XII DPR RI menyebut Indonesia sedang dihadapkan dengan situasi dilematis.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto mengatakan Indonesia memiliki ketergantungan pada PLTU batu bara sebagai sumber utama listrik.
"Tetapi itulah fakta kita bahwa fossil fuel khususnya PLTU batu bara menjadi penopang utama dalam energi kelistrikan kita," ujarnya.
Sugeng menambahkan, kapasitas PLTU batu bara yang beroperasi saat ini mencapai sekitar 103 gigawatt (GW), dengan rata-rata pembakaran 4,6 juta ton batu bara per gigawatt setiap tahun tanpa adanya teknologi penangkap karbon (carbon capture).
Mengacu data Institute for Essential Services Reform (IESR), PLTU secara global menghasilkan sekitar 36,44 gigaton karbon dioksida ekuivalen (Gt CO2e), yang merupakan 71,5% dari total emisi sektor energi dunia.