Bisnis.com, JAKARTA — Gagalnya putaran keenam perundingan PBB yang bertujuan untuk mengekang produksi plastik pada hari Jumat telah meredupkan harapan untuk mengatasi sumber utama polusi dan membuat banyak pendukung pembatasan pesimistis terhadap kesepakatan global di bawah pemerintahan AS Donald Trump.
Upaya global selama 3 tahun untuk mencapai perjanjian yang mengikat secara hukum guna mengekang polusi plastik yang mencemari lautan dan membahayakan kesehatan manusia kini tampak terombang-ambing, kata para peserta.
Banyak negara bagian dan juru kampanye menyalahkan kegagalan tersebut pada negara-negara penghasil minyak termasuk Amerika Serikat yang memperkeras posisi yang telah lama dipegang dan mendesak negara lain untuk menolak pembatasan produksi plastik baru yang akan mengekang produksi polimer.
Seorang negosiator untuk Panama Debbra Cisneros mengatakan Amerika Serikat, produsen plastik nomor dua dunia setelah China kurang terbuka dibandingkan putaran-putaran sebelumnya yang dilakukan di bawah pemerintahan Joe Biden.
"Kali ini mereka tidak menginginkan apa pun. Jadi itu sulit, karena kami selalu berhadapan dengan mereka dalam setiap ketentuan penting," ujarnya dilansir Reuters, Selasa (19/8/2025).
Para pegiat anti-plastik melihat sedikit harapan akan perubahan posisi Washington di bawah Presiden Donald Trump, yang pada bulan Februari menandatangani perintah eksekutif yang mendorong konsumen untuk membeli sedotan plastik.
Baca Juga
"Mentalitasnya berbeda, dan mereka ingin mengekstraksi lebih banyak minyak dan gas dari dalam tanah," kata Bjorn Beeler, Koordinator Internasional di International Pollutants Elimination Network (IPEN).
Departemen Luar Negeri AS mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa delegasi AS mendorong pendekatan yang masuk akal dan pragmatis selama negosiasi untuk mengurangi polusi plastik sekaligus melindungi industri-industri Amerika yang bergantung pada plastik.
"Kami tidak mendukung pendekatan regulasi yang preskriptif dan top-down yang akan menghambat inovasi dan mendorong inflasi konsumen di seluruh perekonomian AS dan di seluruh dunia," ucapnya.
Delegasi AS John Thompson menolak menanggapi pertanyaan dari reporter Reuters mengenai hasil tersebut. Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri sebelumnya mengatakan bahwa setiap pihak harus mengambil tindakan sesuai dengan konteks nasionalnya, sementara Washington telah menyatakan kekhawatiran bahwa aturan baru tersebut dapat meningkatkan biaya semua produk plastik. Pemerintahan Trump juga telah mencabut berbagai kebijakan iklim dan lingkungan AS yang terlalu membebani industri nasional.
Awal pekan ini, Washington juga menunjukkan kekuatannya dalam pembicaraan tentang perjanjian lingkungan global lainnya ketika mengancam akan mengambil tindakan terhadap negara-negara yang mendukung proposal yang bertujuan mengurangi emisi pelayaran. Bagi koalisi sekitar 100 negara yang mengupayakan kesepakatan ambisius di Jenewa, pembatasan produksi plastik sangatlah penting.
Delegasi Fiji Sivendra Michael menyamakan pengecualian ketentuan ini dengan mengepel lantai tanpa mematikan keran. Untuk setiap bulan penundaan, World Wildlife Fund (WWF) mengatakan hampir satu juta ton sampah plastik terakumulasi beberapa di antaranya terdampar di pantai-pantai negara kepulauan.
Beberapa peserta juga menyalahkan penyelenggara, Komite Negosiasi Internasional (INC), sebuah badan yang dibentuk PBB dan didukung oleh Program Lingkungan PBB (UNEP). Titik terendah terjadi ketika pertemuan formal satu jam sebelum negosiasi dijadwalkan berakhir pada tengah malam hari Kamis yang berlangsung kurang dari satu menit dan kemudian ditunda hingga fajar, yang memicu tawa dan ejekan dari para delegasi.
"Semua orang terkejut karena tidak ada yang mengerti," kata Ana Rocha, Direktur Kebijakan Plastik Global untuk kelompok lingkungan GAIA.
Menteri Ekologi Prancis Agnes Pannier-Runacher menyebut proses tersebut kacau.
Ketua INC Luis Vayas Valdivieso menyalahkan keretakan antarnegara dan menyebut negosiasi tersebut rumit.
"Tapi kita telah mencapai kemajuan dan itu penting," ujarnya.
Aturan sementara PBB mewajibkan semua negara untuk sepakat sebuah batasan yang dianggap tidak dapat dilaksanakan oleh sebagian orang terutama di bawah pemerintahan AS yang menjauh dari multilateralisme.
"Konsensus sudah mati. Anda tidak dapat menyepakati kesepakatan di mana semua negara yang memproduksi dan mengekspor plastik dan minyak dapat memutuskan ketentuan-ketentuan kesepakatannya," kata Beeler dari IPEN.
Beberapa delegasi dan juru kampanye menyarankan untuk memperkenalkan pemungutan suara guna memecahkan kebuntuan atau bahkan agar proses yang dipimpin PBB dihentikan sama sekali. WWF dan organisasi lainnya mendesak negara-negara yang ambisius untuk mengupayakan kesepakatan terpisah dengan harapan dapat melibatkan negara-negara penghasil plastik di kemudian hari.
Dua rancangan kesepakatan muncul dari perundingan dimana satu lebih ambisius daripada yang lain. Keduanya tidak diadopsi. Belum jelas kapan pertemuan berikutnya akan berlangsung karena negara-negara anggota hanya sepakat untuk berkumpul kembali di kemudian hari.
Pengacara Pengelola Kantor Jenewa di Pusat Hukum Lingkungan Internasional David Azoulay menuturkan salah satu perkembangan positif adalah bahwa produsen plastik terkemuka Chona secara terbuka mengakui perlunya menangani siklus hidup penuh plastik.
"Ini hal baru, dan saya pikir ini membuka pintu yang menarik," ucapnya.