Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto, menyoroti dilema besar antara penyediaan listrik murah dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan dampaknya terhadap kualitas udara yang semakin memburuk.
Sugeng menjelaskan bahwa ketergantungan pada PLTU sebagai pembangkit listrik dengan harga terjangkau memiliki konsekuensi serius bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Emisi dari pembakaran batu bara menjadi penyumbang utama polusi udara yang berdampak negatif pada kesehatan. Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), PLTU secara global menghasilkan sekitar 36,44 gigaton karbon dioksida ekuivalen (Gt CO2e), yang merupakan 71,5% dari total emisi sektor energi dunia.
Menurutnya, kapasitas PLTU batu bara yang beroperasi saat ini mencapai sekitar 103 gigawatt (GW), dengan rata-rata pembakaran 4,6 juta ton batu bara per gigawatt setiap tahun tanpa adanya teknologi penangkap karbon (carbon capture).
“Memang kita dihadapkan pada kondisi dilematis di sektor energi, di mana bauran energi nasional baru mencapai 14,3%. Kondisi di sektor kelistrikan bahkan lebih parah, karena sekitar 67% dari kapasitas pembangkit listrik nasional yang kurang lebih 103 GW berasal dari PLTU,” ujar Sugeng saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Senin (19/5/2025).
Sugeng juga mendesak perlunya langkah konkret dan terukur untuk mempercepat transisi ke energi terbarukan sebagai solusi jangka panjang.
Baca Juga
“Transformasi energi bukan hanya soal iklim, tetapi juga kualitas hidup. Kita perlu langkah berani untuk melindungi warga dari dampak pencemaran,” tambahnya, dikutip dari Antara.
Data terbaru dari laporan Global Energy Monitor (GEM) “Boom and Bust Coal 2025: Tracking the Global Coal Plant Pipeline” mengungkapkan bahwa Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan penambahan kapasitas PLTU terbesar pada 2024, yaitu sebesar 1,9 GW.
Sebanyak 80% dari kapasitas baru tersebut merupakan PLTU captive, yaitu pembangkit listrik yang dibangun untuk kebutuhan industri tertentu.
Indonesia saat ini memiliki 130 unit PLTU captive dengan kapasitas masing-masing 30 megawatt (MW) atau lebih yang telah beroperasi, serta 21 unit lainnya dalam tahap pra-konstruksi dan konstruksi.
Kapasitas PLTU captive ini meningkat drastis dari 5,5 GW pada 2019 menjadi 16,6 GW pada 2024, didorong oleh sektor hilirisasi mineral.
Selain itu, data dari EMBER menunjukkan, Indonesia mengoperasikan total kapasitas PLTU batu bara sebesar 49,7 GW, yang terdiri dari 38,5 GW PLTU yang terhubung ke jaringan listrik umum (on-grid) dan 11,2 GW PLTU captive. Kapasitas PLTU batu bara ini telah meningkat dua kali lipat selama satu dekade terakhir.
Dampak Kualitas Udara dan Kesehatan
Berdasarkan laporan State of Global Air 2023, Indonesia termasuk dalam 10 besar negara dengan paparan PM2,5 tertinggi di dunia, dengan rerata tahunan di atas 30 mikrogram per meter kubik.
Angka ini jauh melebihi ambang batas aman yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 5 mikrogram per meter kubik.
Kondisi ini tercermin pula di akarta, yang sering mencatat indeks kualitas udara (AQI) harian dalam kategori “tidak sehat” hingga “sangat tidak sehat” terutama pada musim kemarau.
Sugeng berharap DPR dan pemerintah dapat bersama-sama memformulasikan regulasi baru yang mendorong percepatan transisi energi.