Bisnis.com, JAKARTA — Pasokan kredit karbon global diproyeksikan meningkat hingga 20–35 kali lipat pada 2050 dibandingkan level saat ini, didorong oleh perombakan pasar yang tengah berlangsung dengan fokus pada integritas dan dampak. Negara pemasok kredit karbon berbasis solusi alam (nature-based solution) seperti Indonesia dan Brasil tetap berpeluang menjadi pemenang karena pasokan kredit berkualitas.
Laporan BloombergNEF memperkirakan biaya rata-rata kredit karbon dapat mencapai US$60 per ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) pada 2030 dan US$104 per ton pada 2050. Namun hal ini akan sangat bergantung pada sektor pemasok kredit yang dominan.
Dalam laporan ini, pasokan maksimum kredit karbon dari pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) diestimasi mencapai 3,3 gigaton CO2e. Adapun biaya kredit dari penghilangan langsung karbon di udara melalui teknologi direct air capture (DAC) bisa mencapai US$272 per ton pada 2050 dalam skenario pembangunan tinggi.
BloombergNEF dalam skenario dasar High Quality memperkirakan pasokan teoretis kredit karbon naik dari 243 juta ton pada 2024 menjadi 2,6 miliar ton pada 2030 dan 4,8 miliar ton pada 2050.
Proyeksi pasokan ini mencerminkan pulihnya kepercayaan pasar sejak perombakan yang dimulai pada 2022, dengan terbentuknya pasar yang lebih terfokus pada proyek berdampak tinggi.
Baca Juga : Kemenhut Siapkan Proposal, Incar Pembiayaan Iklim Sektor Kehutanan Rp1,30 Triliun dari GCF |
---|
"Direct air capture diproyeksikan menjadi pemenang terbesar, mencakup 21% dari pasokan pada 2050 dan mendorong biaya rata-rata tertimbang di pasar menjadi US$104 per ton," tulis riset BloombergNEF.
Sementara itu, skenario alternatif Full Supply berasumsi perombakan pasar gagal mengubah sentimen investor. Akibatnya, pasokan lebih besar tetapi dengan tata kelola yang lemah dan menyerupai kondisi pasar 2019–2022. Dalam skenario ini, pasokan teoretis meningkat menjadi 5,3 miliar ton pada 2030 dan 8,2 miliar ton pada 2050.
“REDD+ dan reforestasi diperkirakan menyumbang dua pertiga dari total pasokan pada 2050, dengan pasar seperti Brasil dan Indonesia menerima arus besar investasi,” papar laporan tersebut.
Meski demikian, banderol harga kredit karbon rata-rata diestimasi hanya mencapai US$69 per ton pada 2025 karena kredit karbon berkualitas rendah masih beredar dalam jumlah yang besar. Selain itu, peran teknologi penyerapan karbon berbasis teknologi cenderung minim dalam skenario ini.
Selain itu, pasar penghapusan karbon over-the-counter juga muncul seiring dengan perombakan pasar kredit karbon, dengan transaksi bilateral khusus meningkat 27 kali lipat sejak 2022. Inisiatif seperti Science Based Targets mendorong agar model ini menjadi bentuk utama pasokan kredit karbon yang layak untuk klaim net zero korporasi.
Jika hal ini terwujud, BNEF memperkirakan pasokan kredit karbon bakal tumbuh menjadi 2 miliar ton pada 2030 dan 5,3 miliar ton pada 2050, dengan bioenergy carbon capture and storage (BECCS) sebagai pemenang utama dan biaya rata-rata tertimbang mencapai US$98 per ton pada 2050.
Pemulihan Pasar Karbon
Dalam perkembangan lain, pasar karbon global memperlihatkan pemulihan kinerja sepanjang Juli 2025 setelah sempat terkoreksi signifikan sebulan sebelumnya. Pasokan dan permintaan kredit karbon kompak naik secara bulanan.
Laporan Joy Foo, Layla Khanfar dan Kyle Harrison dari BloombergNEF memperlihatkan bahwa penerbitan kredit karbon selama Juli 2025 mencapai 12,4 juta ton CO2e. Volume tersebut naik 64% dibandingkan dengan penerbitan selama Juni 2025 yang hanya berjumlah 7,5 juta ton CO2e.
Adapun penerbitan kredit karbon selama Januari–Juni 2025 berjumlah 103 juta ton CO2e, turun 12% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Amerika Serikat menjadi negara pemasok kredit karbon terbesar selama Juli 2025, dengan volume 3 juta ton CO2e. Kredit karbon AS berasal dari beragam sektor, termasuk penangkapan emisi bocor dari aktivitas industri dan kehutanan.
Sementara itu, proyek kredit karbon terbesar pada Juli 2025 berasal dari Brasil. Tuan rumah COP30 itu menerbitkan 1,4 juta kredit dari pencegahan deforestasi (avoided deforestation) di hutan Amazon.
Seperti tren pasokan, pembelian karbon pada Juli 2025 juga memperlihatkan pemulihan setelah sempat anjlok 11% secara bulanan pada Juni 2025. Total kredit yang kedaluwarsa pada Juli 2025 mencapai 11,6 juta ton CO2e, naik lebih dua kali lipat daripada 5,2 juta kredit pada bulan sebelumnya.
“Total volume kredit karbon yang kedaluwarsa selama Januari–Juli 2025 mencapai 89 juta ton setara karbon dioksida, terendah sejak 2022. Hal ini mengindikasikan sinyal pelemahan permintaan,” tulis riset BloombergNEF.
Kredit karbon dari proyek pembangkit energi mendominasi penjualan selama Juli 2025 dengan volume 4,9 juta ton setara karbon. Torehan ini berbalik arah dari tren bulan sebelumnya ketika kredit dari permintaan energi berkontribusi paling besar terhadap angka kredit kedaluwarsa.
Sejalan dengan tren sektoral tersebut, India menjadi pasar terpopuler pada Juli karena memiliki jumlah stok terbesar untuk kredit energi. Brasil juga menempati posisi atas berkat kredit pencegahan deforestasinya.
Adapun berdasarkan data aktivitas pembeli korporasi yang diungkap secara publik, perusahaan asal AS, Tradewater, memimpin pembelian kredit karbon pada Juli dengan volume 308.000, diikuti oleh perusahaan energi Tokyo Gas sebanyak 260.000 dan ANWB Energie sebanyak 240.000 kredit. Perusahaan minyak dan gas besar yang biasanya aktif membeli kredit karbon, seperti Shell dan Eni, absen dari daftar pembeli pada Juli.