Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mei 2025 Jadi Bulan Terpanas Kedua dalam Sejarah

Suhu rata-rata pada Mei 2025 tercatat 1,4 derajat Celsius lebih tinggi daripada suhu sebelum masa Revolusi Industri
Danau yang hampir kering di Besse-sur-Issole saat Prancis menghadapi musim dingin yang kering sehingga menimbulkan kekhawatiran akan kekeringan dan pembatasan air di musim panas, 2 Maret 2023/Reuters
Danau yang hampir kering di Besse-sur-Issole saat Prancis menghadapi musim dingin yang kering sehingga menimbulkan kekhawatiran akan kekeringan dan pembatasan air di musim panas, 2 Maret 2023/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA — Mei 2025 menjadi bulan terpanas kedua dalam sejarah menurut para ilmuwan di Copernicuc. Kondisi ini diikuti dengan laporan rekor gelombang panas yang melanda Greenland karena perubahan iklim.

Layanan Perubahan Iklim Copernicus (Copernicus Climate Change Service/C3S) milik Uni Eropa (UE) dalam buletin bulanan menyatakan bahwa suhu rata-rata permukaan Bumi pada Mei 2025 adalah yang tertinggi kedua dalam catatan sejarah. Suhu rata-rata bulan ini hanya lebih rendah daripada rekor pada Mei 2024. Periode Maret–Mei 2025 juga menjadi musim semi terpanas kedua di belahan bumi utara.

Menurut C3S, suhu global pada bulan lalu 1,4 derajat Celsius lebih tinggi dibandingkan dengan periode pra-industri 1850–1900, periode ketika manusia mulai membakar bahan bakar fosil secara masif.

Angka tersebut mengakhiri rentetan suhu ekstrem, di mana 21 dari 22 bulan terakhir mencatatkan suhu rata-rata global yang melampaui ambang 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.

“Meski hal ini mungkin memberi jeda singkat bagi planet ini, kami memperkirakan ambang 1,5 derajat Celsius akan kembali terlampaui dalam waktu dekat akibat pemanasan sistem iklim yang terus berlanjut,” ujar Direktur C3S, Carlo Buontempo, dikutip dari Reuters, Rabu (11/6/2025).

Penyebab utama perubahan iklim adalah emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil. Suhu rata-rata Bumi sendiri memecahkan rekor tahun terpanas pada 2024 lalu.

Sementara itu, studi terpisah yang dirilis kelompok ilmuwan iklim World Weather Attribution pada Rabu menyebutkan bahwa perubahan iklim akibat ulah manusia menyebabkan gelombang panas di Islandia dan Greenland bulan lalu menjadi sekitar 3 derajat Celsius lebih panas dibandingkan jika tanpa pemanasan global. Hal itu berdampak pada mencairnya lapisan es Greenland dalam jumlah besar.

“Bahkan negara-negara dengan iklim dingin kini mengalami suhu yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Sarah Kew, salah satu penulis studi dan peneliti di Institut Meteorologi Kerajaan Belanda.

Ambang global 1,5 derajat Celsius merupakan batas pemanasan yang ingin dicegah oleh negara-negara di bawah komitmen Perjanjian Paris untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim.

Secara teknis, dunia belum melampaui target tersebut secara permanen. Ambang batas 1,5 derajat Celsius merujuk pada rata-rata suhu global selama periode beberapa dekade.

Namun, sejumlah ilmuwan menyatakan bahwa target tersebut secara realistis sudah tidak dapat dicapai. Ilmuwan juga mendesak pemerintah untuk mempercepat pengurangan emisi karbon guna membatasi dampak kenaikan suhu Bumi dan mencegah fenomena cuaca ekstrem yang lebih parah.

Sebagai catatan, laporan iklim C3S dimulai pada 1940 dan divalidasi dengan data suhu global yang tersedia sejak 1850.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Reuters
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper