Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menilai penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dapat menjadi peluang bagi pengembangan investasi hijau di Indonesia, seiring dengan meningkatnya tuntutan global terhadap praktik bisnis berkelanjutan.
Wakil Ketua Dewan Pengawas METI Herman Darnel Ibrahim mengatakan ESG saat ini bukan lagi sekadar tren, tetapi telah menjadi kerangka utama investasi dan bisnis global untuk menjawab tantangan perubahan iklim.
Bagi Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam, hal ini dinilai sangat terdampak oleh arah baru ini.
“ESG adalah bentuk nyata dari praktik sustainability. ESG kini bukan lagi pilihan, tapi keharusan, terutama bagi perusahaan ekspor dan perusahaan energi,” ujar Herman dalam Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025, Selasa (29/7/2025).
Herman menjelaskan dalam aspek lingkungan, transisi energi bersih menjadi sorotan utama sejak negara maju menggaungkan beralih dari energi fosil, seperti batu bara, ke energi terbarukan seperti PLTS, PLTA, biomassa dan lainnya.
Perubahan ini disebut berdampak langsung ke Indonesia, yang mulai mendapatkan tekanan untuk mengurangi penggunaan PLTU berbasis batu bara dan mempercepat pengembangan energi baru dan terbarukan seperti panas bumi dan biodiesel.
Baca Juga
Selain itu, munculnya kebijakan internasional seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dari Uni Eropa juga mempengaruhi komoditas ekspor Indonesia seperti sawit, nikel, dan batu bara. Komoditas yang tidak memenuhi standar emisi karbon dapat dikenai pajak tambahan saat memasuki pasar Uni Eropa.
“Indonesia juga terdampak oleh EU Deforestation Regulation (EUDR), yang melarang impor produk hasil deforestasi. Hal ini menuntut produk ekspor Indonesia, seperti sawit, karet, dan kayu untuk terbukti bebas dari praktik deforestasi,” jelasnya.
Sementara dalam aspek tata kelola, ESG mendorong peningkatan transparansi, praktik anti-korupsi, serta pelaporan keberlanjutan melalui Global ESG Disclosure Standard. Perusahaan yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia wajib mulai menyusun dan mempublikasikan laporan keberlanjutan secara berkala.
Namun, penerapan ESG secara serius dinilai membuka jalan bagi pendanaan dan investasi hijau. Di sektor energi, peluang muncul lewat pengembangan PLTS, panas bumi, hingga baterai kendaraan listrik (EV).
Beberapa instrumen pembiayaan berbasis ESG yang mulai berkembang di Indonesia antara lain Green Bond, Sustainability-linked Loan (SLL), serta perdagangan karbon.
Herman mencontohkan PT Pupuk Indonesia sebagai perusahaan yang memperoleh pinjaman berbasis ESG (SLL) sebesar Rp600 juta dengan insentif suku bunga setelah memenuhi target keberlanjutan.
“Pasar karbon juga mulai berkembang. Perdagangan karbon PLTU dan proyek REDD+ bisa menghasilkan kredit karbon, yang menjadi daya tarik bagi investor asing,” imbuhnya.
Untuk memperkuat ekosistem ESG nasional, METI mengusulkan beberapa strategi, antara lain harmonisasi regulasi keuangan hijau antara OJK, Bank Indonesia, dan Kementerian Keuangan, pemberian insentif pajak seperti tax allowance dan pembebasan pajak green bond.
Kemudian, mendorong skema blended finance (gabungan pendanaan publik dan swasta), penguatan peran bank hijau seperti BNI dan BRI, pengembangan Indonesia Carbon Exchange agar lebih likuid, serta peningkatan jumlah penerbitan green bond oleh BUMN dan swasta.
Herman juga menyarankan agar Indonesia mengadopsi praktik negara tetangga seperti Malaysia yang menerapkan iuran 1% dari tagihan listrik untuk pendanaan energi bersih. Namun, dia menekankan bahwa kebijakan tersebut harus dirancang sedemikian rupa agar tidak membebani masyarakat kecil.
“ESG harus diterapkan bukan hanya untuk menjawab tekanan global, tapi juga untuk memperkuat daya saing ekonomi nasional. Tanpa ESG, kita bisa tertinggal di peta perdagangan dunia,” pungkasnya.