Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gelombang Panas Ekstrem Picu Penurunan Pertumbuhan Ekonomi dan Kerek Inflasi

Suhu udara panas diproyeksikan menimbulkan kerugian ekonomi global sebesar US$2,4 triliun dalam PDB tahunan.
Yanita Petriella,Iim Fathimah Timorria
Senin, 7 Juli 2025 | 11:00
Suhu yang lebih panas diperkirakan melanda berbagai wilayah selama musim panas tahun ini./Bloomberg
Suhu yang lebih panas diperkirakan melanda berbagai wilayah selama musim panas tahun ini./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA — Suhu panas yang ekstrem di sejumlah negara dunia berdampak pada angka inflasi dan produk domestik bruto (PDB) global. 

Untuk diketahui, Eropa telah mengalami kondisi panas yang berbahaya tahun ini, diawali musim panas dengan gelombang panas yang membakar yang mendorong suhu di atas 40 derajat Celcius (104 F) di beberapa tempat. Amerika Serikat juga mengalami cuaca yang sama panasnya pada akhir Juni, yang memicu peringatan panas ekstrem yang pada satu titik mencakup wilayah yang dihuni lebih dari 120 juta warga Amerika. Suhu yang menyesakkan itu disebabkan oleh kubah panas, suatu area bertekanan atmosfer tinggi yang menyelimuti suatu wilayah dan memerangkap udara hangat di bawahnya.

Berdasarkan laporan Organisasi Buruh Internasional, pekerja menjadi kurang produktif selama kondisi yang lebih panas dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Seorang individu yang bekerja pada intensitas sedang kehilangan setengah dari kapasitas kerja mereka pada suhu 33 derajat Celcius hingga 34 Celcius. Suhu udara panas diproyeksikan menimbulkan kerugian ekonomi global sebesar US$2,4 triliun dalam PDB tahunan.

Suhu tinggi juga menciptakan kondisi kerja yang lebih menantang dan tekanan fisik serta kognitif dapat meningkatkan kemungkinan cedera di tempat kerja. Menyusul tren peningkatan insiden semacam itu selama beberapa tahun terakhir, pemerintah dunia salah satunya Jepang memberlakukan denda bagi perusahaan yang gagal melindungi pekerja secara memadai selama gelombang panas.

Suhu yang lebih tinggi meningkatkan permintaan daya untuk AC dan kipas angin yang dapat membebani jaringan listrik dan meningkatkan risiko pemadaman listrik. Jaringan listrik juga dapat mengalami kerusakan termal, seperti kabel yang meleleh dan kabel udara yang kendur, seperti halnya infrastruktur vital lainnya seperti rel kereta api, yang dapat melengkung saat menjadi lebih panas.

Panas memperburuk kekeringan yang mengurangi hasil panen pangan. Kakao, kopi, dan minyak zaitun termasuk komoditas yang harganya melonjak karena panas yang menyengat mengurangi panen.

Anggota Dewan Eksekutif Bank Sentral Eropa Frank Elderson mengatakan keterkaitan antara suhu panas dan indikator ekonomi utama seperti inflasi dan produk domestik bruto terlalu penting untuk diabaikan.

"Kami memperhitungkan krisis iklim dan alam itu relevan. Jika memikirkan musim panas yang luar biasa panas tahun 2022, inflasi harga pangan naik antara 0,4 dan 0,9 poin persentase dan ada dampak yang cukup terukur pada PDB," ujarnya dilansir Bloomberg, Senin (7/7/2025). 

Hal ini seiring gelombang panas Eropa lainnya di mana sebagian besar wilayah mengalami suhu yang luar biasa tinggi yang dipicu oleh perubahan iklim. Para ilmuwan telah menemukan planet yang lebih panas berpotensi mengancam stabilitas harga karena sebagian tanaman menjadi lebih sulit dirawat sehingga harga pangan naik.

ECB kini tengah mengintensifkan upayanya untuk menangani risiko ekonomi terkait iklim. ECB akan sepenuhnya memperhitungkan tidak hanya implikasi perubahan iklim tetapi juga degradasi alam saat menetapkan kebijakan moneter. Fokus baru pada risiko terkait alam akan masuk ke berbagai aspek upaya ECB untuk memastikan stabilitas harga dan mengawasi bank-bank penting secara sistemik di Eropa.

Pendekatan ini sangat kontras dengan kebijakan Federal Reserve AS. Meskipun Ketua The Fed Jerome Powell mengakui risiko perubahan iklim bagi ekonomi dan sistem keuangan AS, namun dia berulang kali menegaskan bahwa The Fed bukan pembuat kebijakan iklim.

"Kami tidak akan menjadi pembuat kebijakan iklim. Peran kami dalam iklim sangat, sangat sempit," katanya. 

Upaya The Fed yang cenderung mengecilkan peran iklim dalam menjaga stabilitas keuangan juga terlihat dalam intervensinya untuk melunakkan standar global, termasuk yang ditetapkan oleh Komite Basel untuk pengawasan perbankan, seperti dilaporkan Bloomberg sebelumnya.

Bahkan di Jerman, ekonomi terbesar Eropa, masih ada perlawanan terhadap kebijakan yang mendukung agenda iklim dan HAM. Stiftung Familienunternehmen, sebuah kelompok lobi untuk bisnis keluarga, menyatakan keraguan atas konstitusionalitas penerapan standar semacam itu dalam regulasi Eropa.

Namun, Elderson menegaskan bahwa meski ada perlawanan, Dewan Gubernur ECB tetap pada pendiriannya karena ada dampak iklim terhadap stabilitas harga. ECB masih mengkaji peristiwa seperti musim panas 2022 untuk memahami dampaknya terhadap inflasi dan PDB, sebagai bagian dari upaya untuk memproyeksikan tren ke depan.

Pasalnya hanya kelangkaan air permukaanm akan membahayakan hampir 15% dari output ekonomi kawasan euro. Pertanian menjadi sektor yang paling rentan karena akan mengalami kerugian produksi proporsional terbesar akibat penurunan air permukaan. Dia juga juga menyoroti risiko yang terkait dengan pencemaran air dan banjir.

"Berbeda dari risiko iklim seperti emisi CO2, risiko alam jauh lebih kompleks. Tak ada satu metrik tunggal untuk mengukur risiko alam. Kita harus melihat stok ikan, ketersediaan kayu, kualitas tanah, hingga kelangkaan dan mutu air," ucapnya. 

Menurutnya, akan ada dampak pada ekonomi dan keberlanjutan utang yang ditimbulkan dari persoalan iklim.  Pada akhirnya, respons ECB terhadap risiko alam bisa saja menyerupai pendekatannya dalam menghadapi risiko iklim.

"Setiap kali kami merancang instrumen, mempertimbangkan jaminan (collateral), atau arah pembelian aset di masa depan, semuanya akan mempertimbangkan risiko-risiko ini. Jika kita menutup mata terhadap hal itu, kita juga akan melewatkan bagian penting dari risiko kredit, setidaknya bagi sebagian bank yang kami awasi," tutur Elderson. 

Sementara itu, berdasarkan laporan Allianz Research, gelombang panas yang melanda wilayah Eropa musim panas ini diperkirakan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi hingga 0,5% pada 2025. Laporan tersebut membandingkan dampak ekonomi dari satu hari dengan suhu di atas 32 derajat Celsius bakal setara dengan aksi mogok kerja selama setengah hari.

Di Eropa, kerugian PDB akibat gelombang panas bervariasi dari 0,1 poin persentase di Jerman hingga 1,4 poin persentase di Spanyol yang rata-rata suhu musim panasnya sekitar sepuluh derajat lebih tinggi.

Sebagaimana diketahui, perubahan iklim mendorong peningkatan frekuensi dan intensitas gelombang panas, kekeringan, serta kebakaran hutan, yang berdampak luas terhadap perekonomian.

Secara global, gelombang panas diperkirakan mengurangi pertumbuhan PDB tahun ini sebesar 0,6%, menurut Allianz Research. China, Spanyol, Italia, dan Yunani masing-masing diperkirakan mengalami kerugian PDB hampir satu poin persentase, sementara Amerika Serikat mungkin menghadapi penurunan sekitar 0,6% dan Prancis hingga sepertiga poin.

Suhu ekstrem juga mengurangi produktivitas tenaga kerja. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memproyeksikan bahwa tekanan panas akan memangkas total jam kerja potensial secara global sebesar 2,2% pada 2030.

Kerugian produktivitas akibat panas dapat diminimalkan, menurut Allianz Research, dengan menyerukan langkah-langkah struktural untuk mempersiapkan kota dan menyesuaikan tempat kerja.

Gelombang panas yang melanda kawasan Eropa dilaporkan telah memicu kebakaran lahan di Turki hingga Spanyol. Mayoritas kota-kota besar bahkan mengeluarkan peringatan suhu level merah karena fenomena ini. Di Paris, suhu mencapai 34 derajat Celsius dan 36 hingga 38 derajat Celsius di Strasbourg, Lyon, Grenoble dan Avignon.

Juru bicara Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) Clare Nullis menuturkan gelombang panas akan semakin sering terjadi dan menjadi lebih intens akibat perubahan iklim. Juli menjadi bulan dengan gelombang panas akan semakin sering terjadi dan menjadi lebih intens akibat perubahan iklim. 

Menurutnya, dunia harus belajar hidup dengan gelombang panas. Munculnya gelombang panas ekstrem sejak awal musim panas tahun ini tergolong luar biasa, meskipun bukan tanpa preseden.

"Panas ekstrem sering disebut sebagai pembunuh diam-diam karena banyak korban jiwa yang tidak tercatat statistik resmi. Penting untuk ditekankan bahwa setiap kematian akibat panas sebenarnya bisa dicegah. Kita memiliki pengetahuan, kita memiliki alatnya, kita bisa menyelamatkan nyawa," ujarnya. 

Wilayah Eropa Barat saat ini terpapar sistem tekanan tinggi yang kuat. Sistem ini menjebak udara panas dari Afrika Utara dan membuatnya bertahan lama di atas wilayah tersebut. Hal ini sangat memengaruhi kenyamanan dan aktivitas masyarakat. Selain itu, suhu permukaan laut yang sangat tinggi di kawasan Mediterania turut memperparah gelombang panas di daratan.

WMO menyebut Laut Mediterania tengah mengalami gelombang panas laut ekstrem yang berperan memperkuat suhu tinggi di kawasan sekitarnya. Di kota-kota, efek pulau panas perkotaan juga memperparah kondisi, akibat kurangnya ruang hijau dan dominasi permukaan beton. WMO menekankan pentingnya sistem peringatan dini dan rencana aksi yang terkoordinasi untuk menjaga keselamatan publik. Para ahli meteorologi kini semakin mahir dalam memberi peringatan dan menyusun strategi penanganan.

Dia menilai akibat perubahan iklimm panas ekstrem akan menjadi bagian tak terelakkan dari kehidupan manusia. Dia memperingatkan bahwa di masa depan, gelombang panas serupa bahkan bisa menjadi lebih buruk.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan dampak perubahan iklim ke ekonomi berisiko meningkatkan beban biaya kesehatan.

Studi Celios di 3 wilayah yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara menunjukkan efek industri pada pembangkit listrik tenaga batu bara menyebabkan setidaknya 3.800 kematian setiap tahunnya dalam dua tahun ke depan dan hampir 5.000 kematian pada 2035. Hal ini sebabkan beban ekonomi sebesar US$2,63 miliar dan US$3,42 miliar per tahun pada periode yang sama.

"Efeknya juga akan dirasakan ke penurunan produktivitas kerja dan beban fiskal karena klaim BPJS kesehatan makin besar," ucap Bhima. 

Beban ekonomi lain dalam 15 tahun ke depan, para petani dan nelayan akan mengalami kerugian hingga Rp3,64 triliun atau sekitar US$234,84 juta. Kerugian berasal dari menurunnya kualitas air, tanah dan udara menyebabkan kemerosotan dalam jumlah nilai mata pencaharian pada nelayan dan petani.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper