Bisnis.com, JAKARTA— Pemerintah menilai penerapan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola atau environmental, social, and governance (ESG) menjadi game changer penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia secara berkelanjutan.
Deputi Bidang Ekonomi dan Transformasi Digital Kementerian PPN/Bappenas Vivi Yulaswati menyampaikan tren keberlanjutan saat ini telah menjadi perhatian global, tidak hanya di Indonesia. Dalam berbagai forum internasional, pembahasan mengenai net zero emission, carbon offsetting, hingga investasi berbasis ESG semakin intens dibicarakan.
“Tren keberlanjutan itu bukan hanya ada di Indonesia tapi sudah terjadi di tingkat global di berbagai negara,” kata Vivi dalam acara Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025 di Jakarta Selasa (29/7/2025).
Vivi menjelaskan Sustainable Development Goals (SDGs) menjadi kerangka kerja yang digunakan berbagai negara dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Indonesia, sebagai salah satu negara yang telah berkomitmen terhadap SDGs, tidak bisa mengandalkan pemerintah saja.
Seluruh pemangku kepentingan harus terlibat, termasuk sektor swasta dan masyarakat sipil.
Vivi juga menekankan paradigma ekonomi Indonesia perlu bergeser ke arah ekonomi hijau, agar pertumbuhan ekonomi tetap berjalan tanpa merusak lingkungan.
Baca Juga
Menurutnya, penerapan ekonomi hijau juga menjadi salah satu game changer utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045.
“Kita harus terus tumbuh tetapi emisinya nggak nambah. Nah itu arah ke depannya. Berarti untuk 2025-2045, kita salah satu game changer penting kita adalah ekonomi hijau,” tuturnya.
Lebih lanjut, penerapan ekonomi hijau disebut dapat menciptakan lapangan kerja baru, terutama di sektor hijau. Hal ini penting untuk menjawab tantangan pengangguran, yang menurut Vivi saat ini menyentuh hampir 50% dari usia produktif.
Bappenas bahkan telah membuat skenario strategi ekonomi hijau berpotensi menciptakan sekitar 103.000 pekerjaan hijau per tahun. Di sisi lain, kolaborasi dengan sektor swasta dan pelaku industri juga sangat dibutuhkan untuk mempercepat transisi tersebut.
Dari sisi pembiayaan, tren investasi global kini juga mengarah pada proyek-proyek berkelanjutan dan berbasis ESG. Investor menuntut adanya kontribusi konkret dari perusahaan terhadap pencapaian SDGs dan penanganan perubahan iklim.
“Trend investasi global itu juga mendorong kita harus berubah supaya menerapkan ESG tadi. Karena investasi yang ada, mereka juga ditagi pada gilirannya kontribusinya kepada SDGs maupun juga dampak kepada perubahan iklim dan juga tentunya lingkungan,” ucapnya.
Pemerintah, melalui berbagai kebijakan, telah mulai memberikan dorongan kepada sektor swasta, baik melalui regulasi maupun insentif fiskal seperti pembebasan PPNBM untuk kendaraan listrik hingga tarif listrik khusus untuk SPKLU.
Namun demikian, penerapan ESG di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Vivi menyebutkan bahwa infrastruktur pendukung masih belum sepenuhnya terbentuk, termasuk belum tersedianya klasifikasi yang tepat untuk pelaku usaha ramah lingkungan dalam sistem klasifikasi usaha (KBLI).
Di sisi lain, peluang tetap terbuka lebar. Penerapan ESG dinilai mampu meningkatkan kepercayaan terhadap merek dan perusahaan, mendorong inovasi, serta menciptakan dampak sosial yang lebih besar di masyarakat.
“Tentunya kedepannya kita membangun kepercayaan tidak hanya masyarakat tetapi juga para investor yang tentunya banyak bertebaran di berbagai negara lain,” pungkas Vivi.