Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemanasan Samudra Makin Parah, Ekosistem Laut Terancam

Pemanasan samudra 2023 mengancam ekosistem laut, memicu gelombang panas panjang dan ekstrem, berdampak pada iklim global dan kehidupan pesisir.
Pemanasan lautan memicu pemutihan terumbu karang./Bloomberg
Pemanasan lautan memicu pemutihan terumbu karang./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA — Studi terbaru mengungkap bahwa samudra di dunia mengalami pemanasan signifikan pada 2023 setelah gelombang panas dengan intensitas dan durasi tinggi menerjang kawasan perairan dan berdampak pada 96% permukaannya.

Fenomena ini berisiko menjadi titik balik yang mempengaruhi fungsi iklim samudra. Para peneliti dalam riset yang dipublikasikan di jurnal Science pada Kamis (24/7/2025) menyatakan bahwa kondisi ini dapat menjadi sinyal suhu lautan yang lebih hangat secara permanen, sekaligus mengancam kemampuan ekosistem laut untuk pulih.

“Samudra di dunia memasuki new normal yang bisa mengendalikan segalanya. Sekali rusak, kondisinya mungkin tidak akan kembali,” kata Zhenzhong Zeng, ilmuwan sistem Bumi dari Southern University of Science and Technology, China, yang memimpin riset ini, dikutip dari Bloomberg.

Dari keseluruhan fenomena gelombang panas laut, 90% terjadi di kawasan Atlantik Utara, Pasifik Timur Tropis, Pasifik Utara, dan Pasifik Barat Daya. Panjang rata-rata gelombang panas laut pada 2023 mencapai 120 hari. Durasi itu empat kali lipat lebih panjang dari rata-rata periode 1980–2023, menurut Tianyun Dong, penulis utama riset ini sekaligus ilmuwan sistem Bumi di Eastern Institute of Technology, China. Adapun gelombang panas laut di Atlantik Utara, yang dimulai sejak 2022, berlangsung selama 525 hari.

“Samudra memiliki memori yang panjang,” lanjut Dong. Dia mengemukakan samudra berperan penting dalam mengatur suhu global dengan menyimpan dan melepaskan panas secara bertahap. Namun, karena bereaksi lebih lambat dibandingkan dengan atmosfer, dampak perubahan panas jangka panjang dapat tertunda dan sangat besar.

Para peneliti dalam riset ini menggunakan kombinasi pengukuran lapangan, data satelit, dan pemodelan komputer untuk menentukan cakupan serta penyebab pemanasan. Lonjakan suhu tertinggi terjadi di Pasifik Timur Tropis, yakni 1,63 derajat Celsius di atas rata-rata. Meski fase cuaca El Niño kemungkinan berkontribusi, riset ini menyoroti berbagai faktor pendorong gelombang panas laut di lokasi berbeda.

Faktor-faktor tersebut mencakup peningkatan radiasi matahari akibat berkurangnya tutupan awan, pelemahan angin, serta perubahan arus laut. Semua faktor ini bisa dipicu oleh pemanasan global. Gabungan faktor ini juga menunjukkan bahwa perubahan iklim makin memperkuat dampaknya pada lautan.

Namun, riset ini belum mampu menjelaskan mengapa begitu banyak faktor pendorong muncul bersamaan pada 2023 sehingga memecahkan banyak rekor, kata Zeng. Ada kemungkinan perubahan ini saling memperkuat dalam mekanisme yang belum sepenuhnya dipahami. Mengidentifikasi umpan balik semacam ini sangat penting untuk memprediksi kejadian panas ekstrem pada masa depan.

Dalam jangka pendek, gelombang panas laut dapat menghantam keras kehidupan manusia yang bergantung pada laut, seperti komunitas nelayan.

“Fenomena ini juga bisa memicu badai dan angin topan yang lebih kuat di wilayah pesisir,” ujar Yuntian Chen, peneliti mekanika di Eastern Institute of Technology, China, sekaligus salah satu penulis riset ini.

Jika suhu laut mencapai titik kritis, beberapa spesies laut tidak akan mampu pulih. Kekhawatiran ini sudah muncul pada sejumlah terumbu karang terbesar di dunia. Dampak ini pun bisa meluas, seperti hilangnya karang dan hutan kelp yang dapat mengurangi kemampuan laut menyerap karbon.

Sebagai catatan, 2023 hingga 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam pencatatan, dengan suhu rata-rata Bumi naik 1,55 derajat Celsius di atas rata-rata praindustri menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). Selain itu, suhu rata-rata lautan mencapai rekor baru.

Tahun ini kemungkinan tidak akan memecahkan rekor tahunan lagi, tetapi diperkirakan akan mendekati rekor tersebut. Juni 2025 menjadi tercatat sebagai bulan Juni terpanas ketiga dalam 176 tahun, setelah 2024 dan 2023, menurut laporan terbaru dari US National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Bloomberg
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro