Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai penghasil emisi metana sektor batu bara terbesar di dunia pada 2024. Tahun lalu, Indonesia 2,4 juta ton metana (CH₄) dari produksi batu bara sebesar 836 juta ton.
Tidak hanya menikmati penerimaan negara dari emas hitam, pemerintah perlu memikirkan pengelolaan emisi metana dari aktivitas pertambangan batu bara nasional. Salah satunya dengan mengubah limbah berbahaya ini menjadi sumber energi atau pengganti bahan bakar fosil yang lebih bersih.
Mengutip laporan Institute for Energy Economic and Financial Analysis (IEEFA), Australia sebagai negara yang memiliki sejarah panjang pertambangan batu bara selama lebih dari satu abad telah berupaya mengelola metana.
Selama hampir tiga dekade terakhir, beberapa tambang telah menangkap metana dan menggunakannya untuk pembangkit listrik di lokasi tambang. Namun, adopsi luas program pengurangan metana (abatement) masih lambat.
Dari 40 tambang bawah tanah yang beroperasi, hanya 12 yang memiliki inisiatif abatement. Untuk 60 tambang terbuka, hanya ada beberapa proyek uji coba.
"Metana dari tambang batu bara bisa menjadi sumber daya yang bernilai, jika ditangkap dan digunakan dengan benar, bukan hanya dilepaskan ke atmosfer," kata Andrew Gorringe, analis keuangan energi dari IEEFA Australia, dikutip Sabtu (17/5/2025).
Baca Juga
Menurut Gorringe, lambannya progres ini bukan karena keterbatasan teknologi, melainkan persoalan prioritas dan biaya awal.
"Modal untuk infrastruktur drainase gas dan pengeboran sangat besar. Karena bukan bisnis inti, banyak perusahaan memilih untuk fokus ke dividen dan akuisisi tambang ketimbang investasi abatement," jelasnya.
Namun, tren ini mulai bergeser. Dengan adanya skema pendanaan seperti Powering the Regions Fund (PRF) dari pemerintah federal dan Low Emissions Investment Partnership (LEIP) dari negara bagian Queensland, proyek-proyek penangkapan metana menjadi semakin layak dari sisi ekonomi.
IEEFA setidaknya mencatat beberapa perusahaan mulai mencatat kemajuan dalam upaya penangkapan metana. Salah satunya, Anglo American yang menginvestasikan lebih dari US$100 juta per tahun untuk infrastruktur mitigasi gas di tambang batu baranya di Queensland.
Perusahaan ini berhasil mengurangi emisi metana hingga 70% pada 2024. Anglo American juga bekerja sama dengan University of Newcastle untuk proyek Ventilation Air Methane (VAM) dengan pendanaan A$35 juta dari Low Emissions Technology Australia.
Studi dari University of Queensland menunjukkan bahwa abatement metana di tambang terbuka bisa menguntungkan, termasuk untuk skenario penggunaan seperti pembangkitan listrik, flaring, hingga pengganti solar. Penggantian solar, menurut laporan itu, memberikan potensi pengurangan emisi tertinggi.
Di tambang bawah tanah, laporan dari United Nations Economic Commission for Europe (UNECE) menunjukkan bahwa proyek VAM layak secara ekonomi jika harga karbon minimal US$20 per ton CO2e — lebih rendah dari harga pasar Australian Carbon Credit Units (ACCU) saat ini yang berada di angka A$35 per ton (sekitar US$22).
Namun, lanjut Gorringe, proses membuat contoh bisnis untuk abatement bukanlah hal instan. "Biasanya dimulai dari studi konsep, lalu ke tahap kelayakan hingga keputusan akhir investasi. Salah satu alat utamanya adalah Marginal Abatement Cost Curve (MACC) untuk menghitung biaya per ton emisi yang dihindari," jelas Gorringe.
Tantangan lain adalah teknis dan operasional. Gorringe menjelaskan, volume metana yang ditangkap tidak selalu konsisten dengan waktu dan kebutuhan penggunaannya. Misalnya, metana yang dihasilkan saat ini mungkin belum bisa digunakan jika truk tambang masih menggunakan solar dan belum diganti.
Sebelumnya, dalam laporan IEA bertajuk Global Methane Tracker 2025 juga menyoroti lambatnya perubahan dalam industri batu bara secara global. Metana masih kurang dilaporkan, dan banyak perusahaan belum sadar skala masalah serta solusi yang tersedia.
Kemajuan yang terjadi di Australia rasanya juga perlu dipikirkan Indonesia. Pasalnya, volume emisi metana dari produksi tambang batu bara 2024 di Indonesia setara dengan dampak iklim jangka pendek yang ditimbulkan oleh 198 juta ton karbon dioksida (CO2).
Sebagai perbandingan, peringkat pertama emisi metana dari sektor batu bara ditempati China dengan volume 18,5 juta ton. Kemudian disusul Rusia sebesar 3,4 juta ton. India dan Amerika Serikat masing-masing menghasilkan emisi metana dari sektor batu bara sebanyak 1,9 juta ton dan 1,7 juta ton.
Emisi metana Indonesia pada 2024 juga 26% lebih tinggi dibandingkan emisi dari seluruh sektor transportasi pada 2019, jika dihitung menggunakan Potensi Pemanasan Global metana selama 20 tahun sebesar 82,5 kali.
Jumlah tahunan tersebut jauh lebih besar daripada emisi metana tambang batu bara yang dilaporkan Indonesia ke UNFCCC pada 2019, yang hanya sekitar 100.000 ton metana. Hal ini mengindikasikan adanya masalah pelaporan metana yang kurang akurat.
Pada penelitian Ember sebelumnya mengaitkan permasalahan pelaporan ini dengan metode estimasi yang belum diperbarui. Indonesia juga didesak untuk meningkatkan pemantauan metana sebagai bagian dari komitmennya terhadap Global Methane Pledge.
“Data menunjukkan bahwa emisi metana dari tambang batu bara Indonesia secara signifikan jauh di atas apa yang dilaporkan, dengan intensitas metana 12,5 kali lebih tinggi dibandingkan faktor emisi yang saat ini digunakan oleh pemerintah,” kata Analis Senior Iklim dan Energi Indonesia di Ember Dody Setiawan.
Untuk meningkatkan akurasi inventaris emisi dan mendorong akuntabilitas di tingkat perusahaan, Dody mengatakan Indonesia bisa memulai mengukur emisi batu bara secara langsung dan mengembangkan faktor emisi yang spesifik berdasarkan wilayah.
Selain itu, perbaikan metode perhitungan emisi juga akan membantu perusahaan tambang batu bara melaporkan emisinya secara lebih akurat, sehingga dapat mengambil tindakan yang diperlukan.
IEA dalam laporannya menekankan bahwa penurunan emisi metana sesuai target tidak memerlukan terobosan teknologi baru. Mereka juga menggarisbawahi bahwa upaya untuk memangkas hingga separuh emisi metana tambang batu bara tidak memerlukan biaya tinggi.
Sektor bahan bakar fosil sendiri bertanggung jawab atas hampir sepertiga dari total emisi metana. Produksi minyak, gas, dan batu bara yang mencapai rekor, ditambah dengan upaya mitigasi yang terbatas, membuat emisi metana mencapai 120 juta ton per tahun.
IEA menyebutkan bahwa metana bertanggung jawab atas sekitar 30% peningkatan suhu global sejak Revolusi Industri, sehingga pengurangan emisi metana secara cepat dan berkelanjutan sangat penting untuk membatasi pemanasan dalam jangka pendek.
Metana memiliki masa hidup di atmosfer yang jauh lebih pendek dibandingkan karbon dioksida, yakini sekitar 12 tahun dibandingkan dengan ratusan tahun. Namun metana menyerap lebih banyak energi selama berada di atmosfer.
Metana juga mempengaruhi kualitas udara karena dapat membentuk ozon permukaan (troposfer), yaitu polutan berbahaya. Kebocoran metana juga dapat menimbulkan risiko ledakan.