Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menilik Ambisi Prabowo Bawa RI Jadi Pelopor 100% Energi Bersih Dunia di 2035, Mungkinkah?

Prabowo berambisi menjadikan Indonesia pelopor energi bersih dunia pada 2035 dengan 100% energi terbarukan, didukung APBN dan potensi alam yang melimpah.
Yanita Petriella, Afiffah Rahmah Nurdifa, M Ryan Hidayatullah
Sabtu, 16 Agustus 2025 | 11:00
Teknisi melakukan pengecekan rutin pada proyek PLTS Terapung Cirata, Purwakarta, Jawa Barat pada Selasa (26/9/2023). - Bisnis/Rachman
Teknisi melakukan pengecekan rutin pada proyek PLTS Terapung Cirata, Purwakarta, Jawa Barat pada Selasa (26/9/2023). - Bisnis/Rachman
Ringkasan Berita
  • Prabowo berambisi menjadikan Indonesia pelopor energi bersih dunia dengan target 100% energi baru terbarukan (EBT) dalam 10 tahun, didukung oleh APBN dan sumber daya alam melimpah.
  • Pemerintah merencanakan pembangunan infrastruktur energi terbarukan seperti PLTS, PLTA, dan bioenergi dengan anggaran Rp402,4 triliun pada 2026, serta memastikan energi terjangkau bagi seluruh rakyat.
  • Tantangan utama mencapai 100% EBT meliputi ketergantungan pada energi fosil, regulasi yang belum optimal, dan kebutuhan investasi besar, meski potensi energi terbarukan Indonesia sangat besar.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Presiden RI kembali menegaskan komitmennya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara pelopor dari energi baru terbarukan (EBT) atau energi bersih. Hal itu dilakukan dengan mengoptimalkan penggunaan listrik berbasis 100% EBT dalam 10 tahun ke depan atau lebih cepat.

Ambisi tersebut merupakan bagian dari langkah untuk memperkuat ketahanan energi sebagai kedaulatan bangsa. Terlebih, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa sebagai bahan baku energi. Pemerintah juga akan menggenjot produksi minyak dan gas (migas) selain mempercepat transisi menuju energi bersih. 

"Indonesia harus menjadi pelopor energi bersih dunia. Kita harus mencapai 100% pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan dalam waktu 10 tahun atau lebih cepat," ujar Prabowo dalam Penyampaian Pengantar/Keterangan Pemerintah atas RUU Tentang APBN Tahun Anggaran 2026 beserta Nota Keuangan, Jumat (15/8/2025). 

Dengan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia mampu menjadi pemimpin dunia di bidang energi terbarukan. Terlebih, Indonesia ditargetkan dapat mencapai nol emisi karbon atau net zero emission (NZE) pada 2060. Presiden optimistis bahwa target ini dapat dicapai lebih cepat dengan dukungan APBN.

Prabowo juga akan memastikan agar rakyat Indonesia dari kota hingga desa menikmati energi yang terjangkau dan berkelanjutan. Dia menjamin seluruh rakyat Indonesia dari kota-kota besar hingga pelosok negeri dapat menikmati energi dengan harga yang terjangkau dan berkelanjutan. Prabowo juga menekankan subsidi untuk sektor energi juga harus tetap sasaran dan tidak menyasar pada masyarakat mampu.

Dalam APBN 2026, Indonesia akan menggenjot pembangunan pembangkit surya, air, panas bumi dan bio energi. Secara keseluruhan pada 2026 dukungan fiskal pemerintah untuk ketahanan energi mencapai Rp402,4 triliun. Untuk itu, berbagai dukungan APBN untuk penguatan ketahanan energi akan ditempuh melalui subsidi energi, insentif perpajakan, pengembangan EBT dan juga penyediaan listrik desa.

"Secara keseluruhan di tahun 2026 dukungan fiskal pemerintah yaitu Rp402,4 triliun untuk ketahanan energi," katanya. 

Dia meyakini dengan dioperasikannya proyek-proyek energi baru terbarukan, maka setiap desa, kecamatan, kabupaten, hingga pulau terpencil di RI bisa mencapai swasembada energi. Menurutnya, energi terbarukan khususnya berbasis energi surya berperan penting dalam mewujudkan swasembada energi di desa. Hal ini karena pemanfaatan energi surya mampu menghadirkan akses listrik secara merata termasuk di pulau-pulau terpencil dan wilayah pegunungan.

"Nanti EBT dari tenaga surya, dengan energi tenaga surya setiap desa bisa swasembada energi, setiap kecamatan, kabupaten, pulau terpencil akan punya energi, bisa swasembada, desa terpencil juga bisa punya akses terhadap energi itu buat kita optimistis. Dengan adanya dukungan dari unsur pemerintah, swasta, mitra asing, untuk lanjutkan swasembada energi, terutama EBT, kita akan jadi negara di dunia yang mungkin yang bisa menuju zero carbon emissions tepat pada waktu yang direncanakan," tutur Prabowo. 

Adapun anggaran untuk pengembangan EBT sebagai bagian ketahanan energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 mencapai Rp402,4 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan mayoritas anggaran paling besar adalah alokasi untuk subsidi energi. Namun, di samping itu, anggaran untuk pengembangan EBT dan insentif perpajakan pun tak kalah besar.

"Ada insentif perpajakan dan EBT cukup signifikan, Rp37,5 triliun untuk pengembangan EBT dan insentif perpajakannya Rp16,7 triliun," ujarnya. 

Selanjutnya, terdapat anggaran untuk pembangunan infrastruktur energi seperti pipa gas senilai Rp4,5 triliun. Lalu, dana untuk listrik desa sebesar Rp5 triliun dan dukungan lainnya sebesar Rp600 miliar. Adapun dana untuk subsidi energi mencapai Rp210,1 triliun. Dana ini mencakup untuk subsidi BBM, listrik, dan LPG 3 kg.

"Ini yang masuk dalam anggaran ketahanan selain kompensasi dan subsidi untuk BBM dan listrik dan hal yang signifikan pembangunan baru," kata Sri. 

TANTANGAN 100% EBT

Sementara itu, CEO Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan komitmen Presiden Prabowo untuk mencapai 100% EBT dalam 10 tahun mendatang menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia perlu mempercepat transisi energi, meninggalkan ketergantungan pada energi fosil, dan beralih ke energi terbarukan.  

"Dengan ini Presiden memberikan tantangan kepada para menteri untuk menerjemahkan visi tersebut ke dalam rencana aksi dan melakukan reformasi kebijakan yang menjadi hambatan terwujudnya visi tersebut. Ini rencana teknis dan peta jalan yang jelas oleh para menteri pembantu Presiden," ujarnya kepada Bisnis. 

Menurutnya, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar mencapai sekitar 3.800 GW. Namun demikian, mengganti seluruh pembangkit listrik fosil dalam waktu 10 tahun hingga 15 tahun tidak mudah dan tidak murah. Secara teknis yang mungkin dilakukan dengan memenuhi pertambahan kebutuhan energi listrik dari sumber energi terbarukan dalam 10 tahun mendatang. Salah satu strategi yang cepat untuk dibangun yakni memperbanyak dan memperbesar pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan berbagai skala.

Terlebih, Indonesia memiliki potensi energi surya antara 3,3 TWp hingga 20 TWp yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk menyediakan listrik andal bagi 5.500 desa yang belum memiliki akses listrik memadai, mengoptimalkan potensi 655 GW PLTS atap di bangunan rumah seluruh Indonesia dan memanfaatkan 300 Gigawatt (GW) potensi PLTS terapung di perairan nasional.

Pemanfaatan PLTS atap dinilai sebagai cara tercepat dan termurah untuk meningkatkan bauran energi terbarukan. Untuk itu, diperlukan pembaruan regulasi, khususnya terkait kuota PLTS di sistem kelistrikan, serta peninjauan kembali pemberlakuan Penggunaan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM.

"Presiden kan sudah memerintahkan pembangunan 100 GW PLTS tersebar, ini salah satunya. Yang lain adalah PLTS atap untuk industri, bisnis dan bangunan rumah. Saya kira potensi PLTS Atap bisa mencapai 2 GW hingga 3 GW per tahun hingga 2030. Dengan dikombinasikan dengan sistem penyimpanan energi baterai (BESS, PLTS bisa menyediakan listrik yang kompetitif dengan PLTU baru dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). Lalu pemanfaatan PLTS pada industri pengolahan smelter dan industri pada energi lainnya, selain pemanfaatan energi terbarukan lainnya," katanya. 

Untuk mencapai target 100% EBT dalam 10 tahun mendatang, Prabowo diminta dapat memperkuat satgas transisi ekonomi hijau dan transisi energi di Kementerian Koordinator Perekonomian untuk menyusun rencana, peta jalan dan strategi untuk mewujudkan visi tersebut.

"Jika langkah regulasi ini segera diambil, akselerasi energi terbarukan dapat dimulai dari sekarang, membuka peluang investasi baru, menciptakan lapangan kerja hijau, dan memperkuat ketahanan energi nasional," ucap Fabby. 

Berdasarkan kajian IESR, potensi teknis energi terbarukan yang melimpah mencapai lebih dari 3.686 GW adalah modal penting untuk meningkatkan bauran energi terbarukan di Indonesia. Adapun terdapat 1.500 lokasi yang sesuai untuk pembangunan PLTS di atas lahan (ground-mounted), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di daratan (onshore), dan Pembangkit Listrik Tenaga Mini dan Mikrohidro (PLTM) dengan total potensi sebesar 548,5 GW. 

Kemudian, IESR menghitung kelayakan finansial termasuk menghitung tingkat Equity Internal Rate of Return (EIRR) atau parameter finansial lainnya. Hasilnya, terdapat 333 GW dari 632 lokasi proyek energi terbarukan skala utilitas yang layak secara finansia, berdasarkan aturan tarif dan struktur pembiayaan proyek yang umum dipakai di Indonesia. Rinciannya adalah kapasitas PLTS ground-mounted sebesar 165,9 GW, PLTB onshore sebesar 167,0 GW, dan PLTM sebesar 0,7 GW.

Angka tersebut didapatkan dari hasil simulasi finansial dan skema private-public partnership pada 1.500an lokasi yang berpotensi secara teknis. Dari jumlah tersebut, 205,9 GW atau sekitar 61% dari total potensi yang layak secara finansial diindikasikan memiliki tingkat pengembalian EIRR di atas 10% yang menunjukkan potensi investasi yang menjanjikan.

"Meski Indonesia memiliki potensi besar dalam energi surya, angin, dan air, pemanfaatannya masih minim. Salah satu  penyebabnya adalah anggapan rendahnya keandalan surya dan angin  akibat sifatnya yang intermiten. Padahal, dengan perkembangan teknologi penyimpan energi (battery energy storage system) dan grid forming inverter surya dan angin dengan potensi teknis 3,4 TW dapat menjadi tulang punggung transisi energi. Selain itu transisi energi juga dapat mendukung target pertumbuhan ekonomi 8% persen dan kemandirian energi," tuturnya. 

Fabby menilai potensi besar ini dapat dimanfaatkan dengan lebih optimal lagi dengan tersedianya inovasi teknologi, pengembangan jaringan listrik yang lebih fleksibel dan modern yang mampu mendukung integrasi energi terbarukan. Pemerintah perlu pula menyiapkan regulasi yang jelas dengan proses perizinan yang efisien. Faktor ini dapat meningkatkan daya tarik proyek energi terbarukan bagi investor.

Dia mendorong pemerintah untuk mengalokasikan lahan untuk untuk energi terbarukan dalam perencanaan tata ruang daerah, menyederhanakan proses pengadaan lahan untuk mengurangi risiko investasi, mempermudah perizinan, dan menetapkan target spesifik per daerah dalam pemanfaatan energi terbarukan. Sementara untuk mengakomodasi integrasi lokasi energi terbarukan dengan potensi keuntungan tinggi, PLN dapat menyusun perencanaan serta perluasan jaringan ke lokasi-lokasi yang teridentifikasi tersebut dan reformasi mekanisme pengadaan.

"Untuk menentukan skala prioritas pengembangan energi terbarukan, kami mendorong pengembang untuk memprioritaskan proyek dengan potensi keuntungan tinggi dan mengoptimalkan desain serta perencanaan keuangan," ujar Fabby. 

Managing Director Lembaga Kajian (Think Tank) Energy Shift Institute Putra Adiguna berpendapat target ambisius 100% EBT dalam 10 tahun mendatang tersebut perlu diapresiasi dan harus ditranslasikan dengan target pengadaan urgent dan cepat dalam 1 tahun hingga 2 tahun ke depan. Hal ini karena sudah terlampau banyak proyek yang tidak kunjung terealisasi tepat waktu.

"Indonesia berpacu dengan negara tetangganya dan investor juga tidak akan menunggu lama bila pintu pengadaan jangka pendek tidak terbuka cepat. Adopsi EBT baik dalam sistem PLN, kawasan industri dan juga daerah pedesaan semua perlu didorong bersamaan. Saat ini ada indikasi proyek PLTS di kawasan industri nikel juga belum terealisasi sesuai rencana," katanya kepada Bisnis. 

Pihaknya tak menampik untuk mencapai target 100% EBT dalam 10 tahun mendatang ini memiliki sejumlah tantangan, antara lain: jadwal pengadaan proyek PLN dalam jangka pendek yang kerap sulit menjadi pegangan, sambungan listrik antara wilayah sumber-sumber EBT dengan pusat permintaan seperti Jawa.

"Ekspansi pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) besar-besaran jangan dilakukan bila EBT belum dibangun karena listrik dari gas akan mahal. Yang paling penting dari pemerintah memastikan PLN punya rencana pengadaan yang jelas dalam 1 tahun ke depan. Lalu pemerintah mereformasi DMO (Domestic Market Obligation) batubara dan gas untuk bisa menjadi sumber dana badan layanan umum (BLU) seperti Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang sebagiannya mendukung transisi energi," ucap Putra.  

Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal menyambut positif komitmen Presiden Prabowo untuk membawa Indonesia mengejar target 100% energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan. Menurutnya, komitmen tegas Presiden Prabowo dalam energi terbarukan tersebut menunjukkan adanya political will atau keinginan politik dari pemerintah Indonesia untuk serius dalam menjaga ambisi iklim sebagai agenda prioritas nasional. Pihaknya optimistis target 100 persen energi terbarukan bisa tercapai.

Dia menilai mempercepat penggunaan energi terbarukan dalam bauran energi nasional merupakan upaya untuk mencapai target penurunan emisi karbon di Indonesia. Pada 2025, Indonesia telah menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23%, namun hingga kini target tersebut belum tercapai.

"Rendahnya investasi dan belum adanya kebijakan pendukung menjadi hambatan utama dalam pencapaian target energi terbarukan di Indonesia. Padahal, transisi energi bersih merupakan bagian penting dalam upaya menekan emisi karbon secara konsisten," tutur Dino.

Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Ishak Razak menilai target Prabowo untuk mencapai bauran EBT 100% pada 2035 sangat ambisius dan sulit dicapai karena capaian bauran EBT di Indonesia tercatat di angka 14,1% pada awal 2025. Jika merujuk pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelumnya, angka tersebut pun masih jauh dari target tahun ini yang dicanangkan mencapai 23%. 

"Tanpa membenahi berbagai hambatan pengembangan EBT dan tanpa reformasi besar-besaran rasanya sulit untuk mencapai target tersebut," terangnya. 

Dia menilai terdapat sejumlah tantangan dalam mencapai target tersebut yakni keterlambatan proyek karena proses lelang lambat, negosiasi power purchasing agreement bertele-tele, masih tingginya ketergantungan pada pembangkit energi fosil, dan perencanaan yang kurang presisi sehingga terjadi kelebihan kapasitas listrik.

"Untuk mencapai bauran EBT setinggi mungkin, solusinya menurunkan target rencana pembangunan PLTU dan PLTG baru. Lalu, merevisi merevisi KEN dan RUKN. Kemudian, mempercepat lelang EBT serta meningkatkan anggaran untuk membangun infrastruktur transmisi dan penyimpanan energi bersih. Selain itu diversifikasi EBT seperti panas bumi dan bioenergi perlu terus dikembangkan dengan tetap menjaga agar tidak lagi terjadi pembangunan project EBT yang justru berdampak negatif terhadap kondisi sosial dan lingkungan masyarakat lokal," ujarnya. 

Untuk mendukung pembiayaan mencapai target 100% EBT, pemerintah perlu mengalihkan subsidi fosil. Namun, pilihan ini berat untuk diambil sebab akan memukul daya beli masyarakat khususnya menengah bawah. Alternatif lain yakni dengan meningkatkan pendapatan dari sektor fosil. 

"Margin pendapatan produsen batu bara masih sangat besar dengan biaya produksi sekitar US$30 hingga US$40 per ton dan harga jual yang saat ini di atas US$100 per ton. Pemerintah juga perlu mendorong agar BUMN menjadi pemain utama dalam pengelolaan energi primer termasuk batu bara sehingga penerimaan negara dapat menjadi lebih besar dari sektor tersebut sehingga terdapat ruang fiskal yang lebih besar untuk membiayai EBT," kata Ishak. 

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar menilai target bauran EBT 100% pada 2035 tak realistis dan tak mungkin tercapai. Menurutnya, pemerintah perlu memberikan dasar hukum, kepastian hukum, dan kebijakan yang memadai terutama penyelesaian Rancangan UU Energi Baru dan Terbarukan (EBET) yang sampai saat ini belum selesai. 

Pemerintah juga perlu menata skema insentif dan pembiayaan termasuk tarif yang lebih kompetitif. Lalu, dukungan dan kemudahan perizinan, infrastruktur dan permasalahan lahan serta pelibatan aktif pemerintah daerah. Adapun untuk pembiayaan transisi energi, Bisman menilai hal itu bisa dilakukan lewat APBN hingga Danantara.

"Pembiayaan bisa melalui APBN, Danantara, penugasan BUMN serta investasi swasta dan asing. Untuk itu peran aktif pemerintah dibutuhkan untuk mengundang agar investor tertarik masuk," ucap Bisman. 

Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik berpendapat ambisi untuk mencapai 100% pembangkit listrik energi baru terbarukan dalam waktu 10 tahun menunjukkan arah kebijakan yang justru berseberangan dengan fakta di lapangan. Berdasarkan RUPTL, pada 2034 porsi energi terbarukan di sektor kelistrikan Indonesia diproyeksikan hanya 29% dimana masih jauh dari target penuh pada 2035. 

Lebih ironis lagi, di 5 tahun pertama RUPTL justru terjadi penambahan masif Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) sebesar 10,3 GW. Langkah ini berpotensi mengunci sistem kelistrikan pada infrastruktur berbasis fosil, mempersempit ruang bagi energi terbarukan untuk berkembang, dan pada akhirnya menghambat pencapaian visi Presiden sendiri.

Jika pemerintah serius dengan transisi energi, maka arah pembangunan harus segera dibalik dimana fokus total pada pembangkit energi terbarukan sekaligus menghentikan rencana pembangunan baru berbasis fosil baik batubara maupun gas. Menurutnya, tanpa langkah tegas tersebut ambisi 100% EBT hanya akan menjadi slogan tanpa realisasi.

"Ambisi 100% energi baru terbarukan akan sulit tercapai jika pemerintah masih membuka jalan bagi pembangunan pembangkit berbasis fosil. Padahal, untuk mengejar ambisi ini, pemerintah harus segera fokus pada pembangunan pembangkit listrik terbarukan," terang Iqbal. 

POTENSI EBT & GENJOT PLTS DESA

Terpisah, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi mengatakan saat ini masih dilakukan pemetaan potensi EBT di Tanah Air.

Adapun berdasarkan catatan Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi EBT mulai dari energi surya, bayu, hidro, bioenergi, panas bumi, dan juga laut total mencapai 3.686 GW. Namun, capaian bauran EBT di Indonesia tercatat baru di angka 14,1% pada awal 2025. Sementara itu, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034, total penambahan kapasitas pembangkit baru ditargetkan sebesar 69,5 GW. Dari jumlah tersebut, porsi EBT mencapai 42,6 GW.

Pemerintah telah menyiapkan sejumlah langkah konkret guna mendukung tercapainya target tersebut. Untuk subsektor panas bumi telah memangkas waktu proses perizinan, khususnya untuk pengajuan izin survei wilayah kerja panas bumi (WKP). Jika sebelumnya proses ini memakan waktu hingga 1,5 tahun, kini bisa diselesaikan hanya dalam 7 hari melalui mekanisme Service Level Agreement (SLA). 

"Izin panas bumi sudah kita revisi. Saat ini, izin survei panas bumi bisa keluar dalam waktu 7 hari. Setelah itu, pengembang dapat langsung melakukan survei, dilanjutkan eksplorasi hingga akhirnya masuk ke tahap pembangunan pembangkit," tuturnya. 

Pemerintah juga tengah menyiapkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. Tujuannya untuk menciptakan iklim investasi yang lebih menarik termasuk mendorong tingkat pengembalian investasi atau IRR di atas 10% mengingat tingginya biaya investasi di sektor ini. 

"Kami akan membahas isu strategis lainnya bersama Kementerian Keuangan seperti insentif, pajak pertambahan nilai (PPN), tingkat komponen dalam negeri (TKDN), dan mekanisme sistem lelang WKP," ujarnya. 

Untuk sub sektor energi surya, pemerintah menargetkan pengembangan PLTS atap, PLTS skala besar, dan PLTS terapung dengan total kapasitas mencapai 17 GW. Target ini sejalan dengan pertumbuhan industri modul surya nasional yang saat ini mencakup 25 pabrikan dengan kapasitas produksi 4,8 GW per tahun.

"Target 17 GW membuka potensi pasar yang besar bagi produk dalam negeri. Apalagi kita juga sudah menjalin kerja sama dengan Singapura, yang membuka peluang ekspor di luar RUPTL. Hal ini memberi kepastian bagi investor bahwa ekosistem industri PLTS nasional sudah mulai terbentuk," katanya. 

Untuk energi air, pemerintah akan mengoptimalkan potensi sumber daya air di wilayah tertentu dan menjalin kolaborasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga air (PLTA/PLTM) di waduk. Lalu potensi energi angin juga menjadi perhatian meski saat ini Indonesia baru memiliki dua pembangkit tenaga angin di Sidrap dan Jeneponto. Potensi energi angin nasional mencapai 7,2 GW dan akan terus diupayakan pemanfaatannya melalui proyek-proyek baru di kawasan timur Indonesia. 

"Potensi bioenergi dan nuklir sebesar 900 megawatt, sementara untuk sumber daya lain seperti nuklir sebagai pembangkit base load, tersedia potensi awal sekitar 500 megawatt," ucap Eniya. 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia meyakini target Indonesia 100 persen energi baru terbarukan (EBT) dalam 10 tahun ke depan lebih cepat tercapai dibandingkan target yang ditetapkan sebelumnya, yakni 2040. Salah satu strategi yang akan dilakukan pemerintah dalam waktu dekat yakni penetrasi panel surya di desa-desa yang belum memiliki akses listrik. Bahlil memastikan daerah-daerah tersebut akan segera tersambung dengan listrik. 

"Kami akan memastikan arahan oleh Presiden, untuk desa-desa itu segera kami harus pasang listriknya, sambung listriknya ke rumah, ini adalah bagian dari program Asta Cita," tuturnya. 

Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengatakan pemerintah tengah menyusun regulasi untuk pengembangan PLTS di desa-desa di Indonesia sebagai bagian dari upaya percepatan swasembada energi. Inisiatif ini selaras dengan program 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang telah diluncurkan Presiden Prabowo Subianto pada 21 Juli 2025.

"Nanti kita akan membangun listrik berbasis solar panel. Sudah dihitung investasinya kira-kira US$100 miliar. Jika dana subsidi energi dipakai untuk membangun panel surya, dalam waktu empat hingga lima tahun, kita tidak perlu lagi mengeluarkan subsidi di tahun-tahun berikutnya," ujarnya. 

Nantinya, setiap desa akan mengalokasikan 1 hektare hingga 1,5 hektare lahan untuk instalasi panel surya. Dengan target 80.000 desa, total lahan yang akan digunakan mencapai sekitar 120.000 hektare. Sistem kelistrikan ini dirancang untuk terintegrasi secara lokal dimulai dari tingkat desa, lalu kecamatan, hingga kabupaten dengan penyimpanan energi menggunakan teknologi baterai. Inisiatif ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi kelistrikan secara signifikan, mengingat biaya listrik dan transmisi melalui PLN saat ini masih tergolong tinggi.

"Jadi nanti panel suryanya berbasis desa, kecamatan, dan kabupaten. Diharapkan dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, Indonesia akan berdaulat di bidang energi, terutama energi baru dan terbarukan," katanya. 

PENTINGNYA RUU EBT

Wakil Ketua MPR RI sekaligus anggota Komisi XII DPR RI Eddy Soeparno menekankan pentingnya pengesahan RUU EBT sebagai payung hukum dalam percepatan transisi energi menuju energi terbarukan demi menunjang target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8%. 

"Untuk mencapai pertumbuhan 8 persen, pertumbuhan itu harus dibarengi dengan aspek keberlanjutan, salah satunya adalah dengan pemanfaatan energi terbarukan. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk bisa segera memiliki payung hukum untuk mempercepat proses transisi energi menuju energi terbarukan melalui pengesahan Energi Baru dan Terbarukan," ucapnya. 

Dia menekankan pertumbuhan ekonomi tidak cukup hanya mengandalkan percepatan pembangunan tetapi juga harus memperhatikan aspek keberlanjutan salah satunya dengan pemanfaatan energi terbarukan.

"Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk bisa segera memiliki payung hukum untuk mempercepat proses transisi energi menuju energi terbarukan melalui pengesahan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan," tuturnya. 

Eddy berharap pengesahan RUU EBT tidak sekedar menjadi payung hukum tetapi menjadi landasan pula dalam penyusunan peta jalan terkait pengembangan energi baru dan terbarukan di Tanah Air. Menurutnya, apabila sumber energi terbarukan di Indonesia yang sangat melimpah dimanfaatkan secara optimal, maka Indonesia tidak lagi perlu mengimpor energi seperti bahan bakar minyak (BBM), liquefied petroleum gas (LPG), maupun minyak mentah.

"Agar kita memiliki tidak hanya sekedar payungnya saja, tetapi juga memiliki peta jalan yang definitif untuk mengembangkan semua potensi energi terbarukan yang ada di seluruh Indonesia, yang jumlahnya sangat besar. Jadi semua bisa tercukupi dari seluruh energi terbarukan yang sumbernya melimpah di Indonesia," ujarnya. 

Pengesahan RUU EBT diharapkan akan menjadi tonggak sejarah penting dalam upaya Indonesia membangun pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Hal tersebut sejalan dengan target pemerintah untuk mencapai target NZE pada 2060 atau bahkan lebih cepat.

"Agar ini menjadi tonggak baru dalam sejarah Indonesia bahwa kita nanti akan membangun perekonomian ke depan secara berkelanjutan maupun berbasis energi terbarukan," kata Eddy. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro