Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dunia Gagal Capai Kesepakatan Akhiri Polusi Plastik, Bagaimana Komitmen Indonesia?

Negosiasi global untuk mengakhiri polusi plastik gagal mencapai kesepakatan, dengan AS dan negara penghasil minyak menolak pembatasan. Indonesia berkomitmen memimpin upaya global, menargetkan pengelolaan sampah plastik 100% pada 2029.
Sampah plastik dengan volume 12 juta ton dibuang ke lautan setiap tahunnya./The Ocean Story via UN News - Vincent Kneefel
Sampah plastik dengan volume 12 juta ton dibuang ke lautan setiap tahunnya./The Ocean Story via UN News - Vincent Kneefel

Bisnis.com, JAKARTA — Gagalnya putaran keenam perundingan PBB yang bertujuan untuk mengekang produksi plastik pada hari Jumat telah meredupkan harapan untuk mengatasi sumber utama polusi dan membuat banyak pendukung pembatasan pesimistis terhadap kesepakatan global di bawah pemerintahan Presiden AS Donald Trump.

Upaya global selama 3 tahun untuk mencapai perjanjian yang mengikat secara hukum guna mengekang polusi plastik yang mencemari lautan dan membahayakan kesehatan manusia kini tampak terombang-ambing.

Para delegasi yang membahas perjanjian pertama di dunia yang mengikat secara hukum untuk mengatasi polusi plastik gagal mencapai konsensus dan menyuarakan kekecewaan dan bahkan kemarahan karena perundingan 10 hari tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.

Banyak negara bagian dan juru kampanye menyalahkan kegagalan tersebut pada negara-negara penghasil minyak dan juga Amerika Serikat yang memperkeras posisi dan mendesak negara lain untuk menolak pembatasan produksi plastik baru dan mengekang produksi polimer.

Seorang Negosiator Panama Debbra Cisneros mengatakan Amerika Serikat menjadi produsen plastik nomor dua dunia setelah China kurang terbuka dibandingkan putaran-putaran sebelumnya yang dilakukan di bawah pemerintahan Joe Biden.

"Kali ini mereka tidak menginginkan apa pun. Jadi itu sulit, karena kami selalu berhadapan dengan mereka dalam setiap ketentuan penting," ujarnya dilansir Reuters, Sabtu (16/8/2025). 

Para pegiat anti plastik melihat sedikit harapan untuk perubahan posisi Washington di bawah Presiden Donald Trump, yang pada bulan Februari menandatangani perintah eksekutif yang mendorong konsumen untuk membeli sedotan minum plastik.

Koordinator Internasional di International Pollutants Elimination Network (IPEN) Bjorn Beeler menilai AS dan negara penghasil minyak memiliki mentalitas berbeda dimana ingin mengekstraksi lebih banyak minyak dan gas dari dalam tanah.

Departemen Luar Negeri AS dan Delegasi AS John Thompson menolak menanggapi permintaan komentar tentang posisi dan perannya dalam perundingan tersebut.

Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS sebelumnya mengatakan setiap pihak harus mengambil tindakan sesuai dengan konteks nasionalnya, sedangkan Washington telah menyatakan kekhawatiran bahwa aturan baru tersebut dapat meningkatkan biaya semua produk plastik. Pemerintahan Trump juga telah membatalkan berbagai kebijakan iklim dan lingkungan AS yang terlalu membebani industri nasional.

Awal pekan ini, Washington juga menunjukkan kekuatannya dalam perundingan tentang perjanjian lingkungan global lainnya ketika mengancam akan mengambil tindakan terhadap negara-negara yang mendukung proposal yang bertujuan mengurangi emisi pelayaran. Bagi koalisi sekitar 100 negara yang mengupayakan kesepakatan ambisius di Jenewa, pembatasan produksi sangatlah penting.

Delegasi Fiji Sivendra Michael menyamakan pengecualian ketentuan ini dengan mengepel lantai tanpa mematikan keran.

Menteri Ekologi Prancis Agnes Pannier-Runacher mengatakan pihaknya sangat marah karena meskipun ada upaya sungguh-sungguh dari banyak pihak dan kemajuan nyata dalam diskusi belum ada hasil nyata yang dicapai.

Delegasi Kolombia Haendel Rodriguez menyatakan kesepakatan telah diblokir oleh sejumlah kecil negara yang tidak menginginkan kesepakatan. Adapun negara tersebut merupakan negara penghasil minyak. Para pejabat PBB dan beberapa negara termasuk Inggris menyatakan negosiasi harus dilanjutkan tetapi yang lain menggambarkan prosesnya yang terputus.

Para diplomat dan aktivis iklim telah memperingatkan upaya Uni Eropa dan negara-negara kepulauan kecil untuk membatasi produksi plastik murni yang berbahan bakar minyak bumi, batu bara, dan gas mendapat tentangan dari negara-negara penghasil petrokimia dan AS di bawah Presiden Donald Trump.

Beberapa peserta juga menyalahkan penyelenggara, Komite Negosiasi Internasional (INC), sebuah badan yang dibentuk PBB dan didukung oleh Program Lingkungan PBB (UNEP). Titik terendah terjadi pada pertemuan formal satu jam sebelum negosiasi dijadwalkan berakhir pada tengah malam hari Kamis yang berlangsung kurang dari satu menit dan kemudian ditunda hingga fajar, yang memicu tawa dan ejekan dari para delegasi.

Pemimpin Kampanye Kelautan Environmental Investigation Agency Christina Dixon mengatakan negara-negara memutuskan bahwa lebih baik tidak memiliki perjanjian daripada perjanjian yang lemah.

Direktur Pelaksana OceanCare Fabienne McLellan menuturkan draf terbaru yang diajukan oleh Ketua Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5.2) Luis Vayas Valdivieso tak cukup kuat dan para delegasi menolak untuk menyetujui perjanjian yang tidak cukup mengikat.

"Ini adalah kesempatan yang terlewatkan yang tidak boleh diabaikan oleh lautan," katanya dilansir Bloomberg. 

Negara-negara anggota PBB terpecah belah oleh posisi garis keras. Runtuhnya perjanjian antara 170 negara ini berarti masa depan setiap upaya global untuk mengatasi masalah lingkungan akibat sampah plastik telah diragukan.

Komisaris Lingkungan Uni Eropa Jessika Roswall menuturkan blok tersebut akan berupaya menggunakan versi terbaru sebagai dasar untuk perjanjian yang lebih kuat di masa mendatang. Uni Eropa akan terus mendorong perjanjian yang lebih kuat dan mengikat yang melindungi kesehatan masyarakat, melindungi lingkungan, dan membangun ekonomi yang bersih, kompetitif, dan sirkular. 

Upaya untuk mencapai kesepakatan telah digagalkan oleh ketidaksepakatan mendasar tentang cara terbaik untuk mengelola masalah lingkungan dan kesehatan yang disebabkan oleh plastik.

Selama enam putaran negosiasi, para delegasi berjuang untuk menjembatani kesenjangan antara dua kelompok. Mayoritas negara mendukung perjanjian yang akan membatasi jumlah plastik yang diproduksi dan menetapkan batasan pada bahan kimia beracun tertentu, sedangkan kelompok yang lebih kecil yang dipimpin oleh negara-negara penghasil minyak ingin mempertahankan fokus perjanjian pada pengumpulan sampah plastik dan daur ulang yang lebih baik.

Dalam rangkaian perundingan terakhir, AS berpihak pada kelompok kedua ini dengan menyatakan bahwa mereka menentang segala pembatasan terhadap bisnis dan perdagangan.

Untuk setiap bulan penundaan, World Wildlife Fund (WWF) mengatakan hampir satu juta ton sampah plastik terakumulasi beberapa di antaranya terdampar di pantai-pantai negara kepulauan. 

KOMITMEN INDONESIA

Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) Hanif Faisol Nurofiq menegaskan komitmen Indonesia untuk memimpin upaya global mengakhiri polusi plastik. Kehadiran Indonesia dalam forum internasional tersebut menjadi langkah strategis untuk memperkuat posisi dalam negosiasi perjanjian plastik global sekaligus memajukan agenda nasional pengelolaan sampah berkelanjutan.

Pihaknya menyatakan keprihatinan atas minimnya kemajuan negosiasi Global Plastic Treaty yang dinilai mendesak untuk mengatasi ancaman serius polusi plastik.

"Perlunya proses negosiasi yang inklusif, adil, dan menghargai kondisi unik setiap negara khususnya negara berkembang yang membutuhkan dukungan teknologi, pembiayaan, dan investasi dari negara maju," ucapnya dalam keterangan, Sabtu (16/5/2025). 

Menurutnya, keberhasilan perjanjian ini membutuhkan konsensus bukan pemungutan suara agar implementasi di setiap negara berjalan efektif.

"Momentum tidak boleh hilang. Perjanjian harus ambisius, praktis, dan mengirim sinyal tegas bahwa polusi plastik harus diakhiri. Waktu untuk bertindak adalah sekarang," tutur Hanif. 

Indonesia telah menetapkan target nasional untuk memastikan 100% sampah, termasuk plastik, dikelola dengan baik pada 2029. Upaya ini mencakup penghapusan plastik bermasalah, pengurangan bahan kimia berbahaya, perbaikan pencemaran yang ada, dan pencegahan kebocoran plastik ke lingkungan.

Dalam dialog bersama Koalisi Bisnis untuk Perjanjian Plastik Global, yang mewakili lebih dari 300 perusahaan di rantai nilai plastik, Hanif mendukung tiga poin utama koalisi yakni penghapusan produk dan bahan kimia bermasalah, penerapan desain produk berkelanjutan, dan implementasi sistem tanggung jawab produsen yang diperluas atau Extended Producer Responsibility (EPR).

Sebuah kebijakan lingkungan di mana produsen bertanggung jawab penuh atas siklus hidup produk yang mereka hasilkan, termasuk setelah produk tersebut menjadi limbah. Tanggung jawab ini meliputi pengumpulan, pemilahan, daur ulang, atau pembuangan yang aman, sehingga beban pengelolaan limbah tidak hanya ditanggung oleh pemerintah atau masyarakat tetapi juga oleh pihak yang memproduksi barang tersebut.yang terintegrasi.

"Langkah ini sejalan dengan prioritas Indonesia mendorong ekonomi sirkular, inovasi, dan investasi infrastruktur pengelolaan sampah di lebih dari 500 kabupaten/kota," ujarnya. 

Hanif juga mengadakan pertemuan bilateral dengan Inggris membahas peluang kerja sama dalam perlindungan keanekaragaman hayati, pengendalian banjir di Sungai Ciliwung, dan pengembangan ekonomi sirkular. Inggris menawarkan dukungan teknis, penelitian, dan pendanaan untuk mencegah kebocoran plastik ke sungai dan laut.

Selain itu, Indonesia juga mengadakan pertemuan dengan Menteri Lingkungan Hidup Belanda Christianne van der Wal-Zeggelink berfokus pada pengelolaan sampah menjadi energi, desain produk berkelanjutan, dan kerja sama universitas untuk inovasi plastik ramah lingkungan.

"Kedua negara juga sepakat memperkuat kemitraan dalam forum G20 dan UNEA, serta mempercepat penyelesaian perjanjian plastik global," katanya.

Berdasarkan data dalam Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milik Kementerian Lingkungan Hidup, jumlah timbulan sampah di Indonesia pada 2024 mencapai 46,63 juta ton dan 10,8 juta ton di antaranya adalah sampah plastik. Timbulan sampah plastik di Indonesia meningkat dari 11% pada 2010 menjadi 19,71% pada 2024. Dari jumlah itu, baru 39% sampah plastik yang mampu diolah dengan baik, sisanya ditimbun di Tempat Pemprosesan Akhir (TPA) yang masih menerapkan sistem pembuangan terbuka (open dumping), dibakar secara terbuka, dan terbuang di ruang terbuka darat dan perairan. Jika tidak ada upaya luar biasa untuk membatasinya, maka diperkirakan pada 2050 jumlah sampah plastik akan mencapai 50% dari seluruh sampah di Indonesia. 

Adapun sampah plastik dominan berupa kemasan-kemasan kecil, kemasan wadah, kantong belanja, hingga sedotan. Produksinya menyumbang sekitar 40% tetapi jumlah yang didaur ulang justru hanya kurang dari 10%. Hal ini menjadi tanggung jawab para produsen plastik untuk memilih kembali kebijakan pengemasan yang dapat didaur ulang. 

Juru Kampanye Isu Perkotaan dan Sampah Greenpeace Indonesia Ibar Akbar mengatakan perjanjian plastik global ini sangat penting bagi Indonesia. Hal ini karena Indonesia menjadi negara paling terdampak atas polusi plastik.

"Laut, sungai, ikan, daratan, saluran juga tercemar oleh mikroplastik. Ada beberapa poin yang sangat penting dalam perjanjian plastik global, di antaranya mengenai kesehatan, lalu produk plastik misalnya mengenai bagaimana soal produksi, dan bagaimana soal pendanaan," ucapnya. 

Dia berharap penyelesaian permasalahan polusi plastik dapat lebih transparan dan berani dari hulu ke hilir. Menurutnya, sangat penting berupaya mengedepankan pengurangan produksi plastik dari sisi hulu, lalu sistem daur ulang, dan mendorong tanggung jawab produsen atas sampah kemasan yang diproduksi. Selain itu, juga diperlukan proses pendanaan yang adil dan mengedepankan aspek kesehatan dari seluruh aspek.

"Indonesia sudah mempunyai beberapa regulasi aturan, misalnya ratusan bahkan melihat kabupaten dan kota, sudah melakukan peralatan plastik sekali pakai. Permen Kementerian Lingkungan Hidul misalnya sudah menargetkan pengurangan plastik sampah. Masyarakat sudah paham dan peduli atas dampak polusi plastik. Kini saatnya pemuda Indonesia mengambil sikap dan mendorong perjanjian plastik global, yang lebih berani dan adil untuk bisa mengurangi produksi plastik sekali pakai, serta mendorong sistem daur ulang," tutur Ibar. 

Untuk diketahui, berdasarkan dari United Nations Environment Programme (UNEP), lebih dari 430 juta ton plastik diproduksi setiap tahunnya. Namun, hanya sebagian kecil yang dikelola secara berkelanjutan. Menurut laporan OECD, hanya 9% limbah plastik global yang berhasil didaur ulang, sedangkan 12% dibakar dan hampir 80% sisanya berakhir mencemari lingkungan dari daratan hingga lautan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro