Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sulap Sampah Jadi Energi Listrik, Solusi Kelola Persampahan Dalam Negeri?

Akselerasi pemanfaatan sampah menjadi energi diharapkan dapat mendukung upaya penanganan sampah di daerah .
Ilustrasi pengelolaan sampah di tempat pengelolaan akhir (TPA)./ Bisnis - Puspa Larasati
Ilustrasi pengelolaan sampah di tempat pengelolaan akhir (TPA)./ Bisnis - Puspa Larasati

Bisnis.com, JAKARTA — Pengelolaan sampah di Indonesia masih menjadi persoalan. Pasalnya, sampah menjadi salah satu penyumbang emisi karbon. Pemerintah menargetkan sub sektor limbah padat domestik atau sampah mencapai kondisi nol emisi karbon atau net zero emission pada 2050.

Kementerian Lingkungan Hidup mencatat ada 550 Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah yang dikelola oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 343 masih menerapkan sistem open dumping, yang terbagi sebanyak 286 dikelola oleh pemerintah kabupaten, 51 oleh pemerintah kota, dan 6 regional atau milik provinsi.

Penyuluh Lingkungan Direktorat Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup Agus Puyi mengatakan terdapat biaya yang perlu dikeluarkan dalam penanganan sampah dibandingkan dengan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi timbulan sampah.

“Kalau sudah menjadi sampah, apapun bentuknya, itu menjadi biaya, jadi cost. Begitu kita jadikan sampah itu harus ada duit di situ untuk mengolahnya,” ujarnya dikutip Kamis (27/3/2025). 

Menurutnya, selalu ada timbulan sampah yang dihasilkan oleh masing-masing individu yang jika diakumulasikan dapat mencapai ratusan bahkan ribuan ton dalam sebuah kota. Salah satunya kota Jakarta yang diperkirakan menghasilkan rata-rata 8.000 ton sampah per hari.

Pengelolaan sampah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (pemda), termasuk kabupaten/kota, terutama dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah, menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Tidak semua pemda memiliki kemampuan finansial atau menganggarkan APBD sesuai dengan yang dibutuhkan untuk pengelolaan sampah. Dengan data KLH memperlihatkan rata-rata baru menganggarkan sekitar 0,6% dari APBD, lebih kecil dari 3% minimal anggaran dibutuhkan untuk upaya pengelolaan yang optimal.

Di sisi lain, masih banyak Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang sudah melebihi kapasitas karena banyaknya sampah yang tercampur tanpa proses pemilahan dan upaya pengurangan belum optimal sehingga berdampak pada lingkungan.  

Menteri Lingkungan Hidup RI Hanif Faisol Nurofiq mengatakan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) total sampah di RI secara keseluruhan mencapai 56,63 juta ton sepajang 2024. Dari total sampah tersebut terdapat 39% sudah dikelola dengan baik dengan sejumlah metode.

“Dari 56,6 juta ton itu, 39% telah terkelola. Artinya, telah dilakukan pilah-pilih dan dilakukan dengan penimbunan melalui sanitary landfill maupun control landfill sejumlah 22,9 juta ton. Sebenarnya ini yang diamanatkan Undang-Undang 18 Tahun 2008,” katanya. 

Namun demikian, terdapat 61% atau sekitar 33,73 juta ton dari total sampah itu dikatakan tak terkelola dengan baik. Bahkan, dari jumlah 33,73 juta ton terdapat sebanyak 22,17 ton atau 39,14% sampah itu terbuang di bantaran sungai hingga pantai.

“Jadi sampah tidak terkelola ini adalah sampah yang hanya dipungut diangkut dan dibuang baik itu di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir), tempat pemrosesan akhir. Kondisi inilah yang menjadi tantangan kita untuk melakukan langkah-langkah yang sistematis di dalam rangka pengelolaan sampah di nasional,” ucapnya. 

Saat ini, masih ada 343 TPA open dumping yang bermasalah karena kondisinya sudah overload hingga pengelolaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang tak sesuai aturan.

TPA open dumping mencemari lingkungan multidimensi, mencemari air tanah melalui leachate yang tidak terkendali. Selanjutnya, meningkatkan emisi gas rumah kaca karena menghasilkan metana. Pengolahan sampah di TPA open dumping juga mengganggu kesehatan masyarakat sekitar dengan radius dampak mencapai 3 hingga 5 kilometer dari lokasi TPA.

Hanif mendorong pengolahan sampah menjadi energi. Pasalnya, akselerasi pemanfaatan sampah menjadi energi diharapkan dapat mendukung upaya penanganan sampah di daerah yang akan didukung dengan aturan baru mengenai elektrifikasi.

“Penanganan sampah dengan waste to energy juga minta dilakukan pemangkasan administrasi, termasuk permasalahan keuangannya,” tuturnya. 

Untuk itu, pemerintah tengah melebur tiga Peraturan Presiden (Perpres) terkait pengelolaan sampah untuk mendukung upaya pemanfaatan sampah menjadi energi listrik lewat Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

Aturan yang akan disatukan termasuk Perpres Nomor 97 Tahun 2017 tentang kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga, Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang percepatan pembangunan instalasi pengolahan sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan, serta Perpres Nomor 83 Tahun 2018 tentang penanganan sampah di laut.

“Kami juga sudah punya konsep, mungkin teman-teman Bappenas ada konsep, dari PLN juga ada konsep nanti kami akan elaborasi bersama kemudian segera selesai mudah-mudahan satu bulan. Tapi kami akan mengajukan izin pemrakarsa dengan lebih cepat melalui urgensinya, naskah urgensi tidak terlalu detail kami bisa ajukan segera setelah persetujuan dari Pak Menko,” tuturnya 

Skema yang dicanangkan dalam aturan tersebut termasuk biaya listrik dari PLTSa sebesar 19,20 sen per kilowatt hour (kWh). Jumlah itu berada di atas penetapan tarif listrik dari PLTSa yang ditetapkan PLN yaitu 13,5 sen per kWh. Selisih itu rencananya akan dipenuhi dengan subsidi dari Kementerian Keuangan.

Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menuturkan penggabungan ketiga beleid itu diharapkan dapat menyederhanakan aturan selama ini dan memotong proses agar perizinan dilakukan melalukan Kementerian ESDM yang berurusan langsung dengan PLN.

Aturan itu diharapkan juga dapat mengatasi isu biaya listrik dari PLTSa menjadi 19,20 sen per kilowatt hour (kWh) termasuk mengatasi isu tipping fee atau biaya lebih. Jumlah itu berada di atas penetapan tarif listrik dari PLTSa yang ditetapkan PLN yaitu 13,5 sen per kWh. Diharapkan dengan hal itu dapat mendukung pembangunan PLTSa, termasuk di wilayah Jakarta.

“Kalau di jumlah Pak Gubernur jauh lebih mahal. Kalau di jumlah 13,5 sen dari tipping fee itu jatuhnya ada yang 22 sen, ada yang 28 sen. Tapi itu ngurusnya ruwet karena persetujuan DPR, persetujuan Bupati, Gubernur, rumit. Tapi kalau dijadikan satu dia (biayanya) bisa antara 18 sen sampai 20 sen, lebih simpel lebih mudah,” jelas Zulkifli.

Pemerintah akan intensif dalam mendukung pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) untuk mengatasi isu sampah nasional mengingat potensi peningkatan sampah seiring dengan pertambahan penduduk. Terlebih, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 dicanangkan pembangunan PTLSa di 12 kota dan baru dua beroperasi yaitu PLTSa Benowo di Surabaya, Jawa Timur dan PLTSa Putri Cempo di Solo, Jawa Tengah.

“Jadi satu Perpres nanti cukup izin dari Kementerian ESDM yang disederhanakan. Dari Dirjen Energi Baru Terbarukan. Disederhanakan. Langsung ke PLN, pengusaha tidak perlu urusan dengan pemerintah daerah lagi, dengan DPRD, tidak perlu urusan dengan Menteri Keuangan, cukup izin dari ESDM langsung kontrak dengan PLN,”

Menurutnya, penggunaan teknologi mampu mendorong pemanfaatan sampah untuk dijadikan energi baru terbarukan (EBT) dan juga campuran batu bara. Pasalnya, banyak negara-negara maju yang menawarkan kerja sama menggunakan teknologi untuk pengolahan sampah.

“Sekarang teknologi sudah banyak, ada sampah yang dikelola menjadi energi, ada yang bisa menjadi campuran batu bara. Sekarang bisa pakai teknologi dan ini juga banyak negara-negara yang akan memberikan kerja sama,” 

Menurutnya, penggunaan teknologi mengolah sampah menjadi energi untuk menyelesaikan isu sampah. Dia menyoroti sejumlah langkah yang dilakukan untuk mengelola sampah termasuk pemanfaatan teknologi PLTSa dan Refuse Derived Fuel (RDF) di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Bekasi, Jawa Barat. 

Pemerintah juga tengah mendorong penggunaan RDF atau penggunaan sampah sebagai bahan bakar alternatif untuk digunakan dalam industri semen dan baja.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menargetkan terdapat 30 kota besar di Indonesia dapat mengolah sampah menjadi listrik dan bahan bakar minyak (BBM) pada 2029 dengan kapasitas mencapai 29 megawatt (MW).

Menurutnya, pengolahan sampah tak hanya ditargetkan menghasilkan listrik tetapi juga BBM melalui penggunaan teknologi pirolisis. Target ini disebutnya bisa dicapai dengan mengintegrasikan pengolahan sampah dengan teknologi.

“Yang bahan organik itu juga bisa menghasilkan bioenergi, apakah biogas atau biomassa. Ini yang sedang kami rumuskan,” ucapnya.

DAMPAK LINGKUNGAN

Terpisah, Manajer Kampanye Polusi dan Urban Walhi Abdul Ghofar mengatakan pada awal Maret 2025, pemerintah mengumumkan penutupan 343 TPA yang masih menggunakan sistem penimbunan terbuka (open dumping).

Penutupan ini dibarengi dengan instruksi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan sampah menggunakan teknologi thermal seperti incinerator dengan skala bervariasi.

Menurutnya, pengelolaan sampah menggunakan teknologi thermal seperti incinerator bukan hal baru di Indonesia. Setidaknya sejak 2007, pemerintah telah memperkenalkan infrastruktur pembakaran sampah yang diyakini mampu menghasilkan listrik sebagai nilai tambah dalam bentuk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

Dalam perjalanannya, PLTSa kemudian masuk menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) di 12 kota di Indonesia. Namun implementasi PLTSa berjalan lambat, saat ini hanya ada dua kota yang mengoperasikan PLTSa yaitu, Kota Surakarta dan Kota Surabaya. Pada perkembangannya, PLTSa di dua kota tersebut kurang maksimal dalam menghasilkan energi listrik.

“Belum lagi jika menilik dampak lingkungan seperti penurunan kualitas udara, bau tidak sedap, pengelolaan abu terbang dan abu kerak (FABA), hingga pembuangan limbah ke lingkungan,” tuturnya kepada Bisnis, Kamis (27/3/2025). 

Selain dampak lingkungan, operasi dua PLTSa tersebut juga menimbulkan gangguan kesehatan, terutama gangguan pernafasan. Pada kasus PLTSa Putri Cempo, Kota Surakarta, warga mengadukan dampak lingkungan, sosial dan kesehatan tersebut ke pemerintah kota selalu pemrakarsa proyek.

Di tengah kegagalan proyek PLTSa di 12 kota. Pemerintah justru mau mendorong PLTSa dijalankan di 30 kota sebagai usulan pasca penutupan 343 TPA.

Dia menilai pemerintah perlu mengevaluasi implementasi PLTSa yang berdampak pada lingkungan, kesehatan dan sosial.

“Belum lagi efektifitas dalam memproduksi listrik juga berjalan kurang maksimal,” terang Ghofar. 

Tim advokasi persampahan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Walhi Jawa Barat M. Jefry Rohman berpendapat proyek PLTSa tidak baik untuk lingkungan dan kesehatan. Menurutnya, PLTSa merupakan respon pemerintah terkait masalah darurat sampah di 12 kota di Indonesia. Terlebih, volume sampah yang mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun.

Dia menilai proses pembakaran sampah akan meningkatkan produksi gas rumah kaca yang artinya turut mempercepat krisis iklim. Pasalnya, setiap satu ton sampah yang dibakar akan menghasilkan 1,7 ton gas karbondioksida (CO2). 

Dia mencontohkan sampah harian di Jakarta yang mencapai 7.702 ton misalnya jika diasumsikan semua sampah tersebut dibakar, dalam sehari PLTSa dapat menghasilkan 13.093 ton CO2 atau 4.779.091 ton CO2 per tahun. Selain itu,  sistem pembakaran sampah seperti PLTSa akan menghasilkan dioksin, senyawa kimia beracun yang banyak dihasilkan dari pembakaran sampah plastik.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), senyawa beracun ini dapat menyebabkan kanker, menyerang sistem imun, dan mempengaruhi sistem reproduksi. Selain bertebaran di udara, dioksin juga memiliki kemampuan masuk ke dalam rantai makanan sehingga risiko paparan racun ini untuk manusia dan hewan semakin tinggi.

Pemerintah diharapkan dapat mengatur sampah dari sumbernya yaitu masyarakat dan industri plastik. Di kalangan masyarakat, pemerintah dapat memberikan pendampingan, edukasi, dan monitoring pengolahan sampah, sedangkan di bidang industri, pemerintah perlu mengatur produksi plastik dalam bentuk regulasi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper