Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup menyiapkan tuntutan ganti rugi kepada produsen yang tidak menangani sampah plastik sehingga mencemari lingkungan.
Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq mengatakan saat ini pihaknya sedang mengumpulkan data dari organisasi atau komunitas yang bergerak bidang lingkungan yang berkontribusi menangani persoalan sampah khususnya plastik.
“Ini kami akan tuntut. Datanya sudah konkrit, kami akan memanggil ahli dalam waktu segera,” ujarnya dilansir Antara, Senin (24/3/2025).
Data dari organisasi akan didalami tim pengawas dan penyidik di Kementerian Lingkungan Hidup yang kemudian akan menerbitkan aturan paksaan kepada produsen untuk membayar ganti rugi.
Merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, produsen kemasan bertanggung jawab mengelola produksi sampah kemasan yang ditimbulkan.
“Ini berimplikasi bahwa semua sampah yang diproduksinya harus di dalam jangkauannya untuk ditangani. Tidak ada alasan kemudian dilepas ke masyarakat,” katanya.
Baca Juga
Dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Kingkungan Hidup, polluter (produsen) wajib membayar polusi yang ditimbulkan.
Nantinya, terdapat dua skema opsi yang akan ditempuh yakni meminta ganti rugi terhadap kerusakan lingkungan dan upaya pemulihan. Apabila cara tersebut tidak mulus, maka pihaknya melalui proses pengadilan dengan sanksi tambahan berupa ancaman pidana.
“Dua ini selalu jadi rujukan dan sepertinya hampir di semua pengadilan kami tidak pernah kalah,” kata Menteri LH.
Adapun Hanif meninjau proses pemulihan sampah plastik di tempat pengelolaan sampah plastik yang dikelola organisasi lingkungan Sungai Watch di Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali. Hasilnya, sejak berdiri pada 2020 organisasi itu memiliki data produsen kemasan yang berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan.
Manager Lapangan Sungai Watch I Made Dwi Bagiasa menyebutkan sampah plastik yang diangkut dari sungai dan beberapa titik pesisir pantai di Bali, salah satunya Pantai Kedonganan, berasal dari lima perusahaan kemasan yang paling banyak ditemukan.
Pihaknya memiliki lima tempat pengelolaan sampah plastik yang berlokasi di Kabupaten Gianyar, Kota Denpasar, Tabanan, Badung, dan Buleleng.
Di Gianyar, dari hasil pemasangan jejaring di sungai mengangkat sekitar 2,5 ton sampah plastik per bulan dari kegiatan pembersihan dan patroli tiap minggu, sedangkan di Kota Denpasar mencapai hingga tiga ton per bulan sampah plastik.
“Kami pasang di sungai kecil dan tidak sembarang pasang, karena kami evaluasi berdasarkan jumlah penduduk dan perilaku warga terhadap sungai,” ucapnya.
DAUR ULANG
Sementara itu, Kasubdit Tata Laksana Produsen Deputi Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PLSB3) Kementerian Lingkungan Hidup Ujang Solihin Sidik menuturkan para produsen diminta agar membuat kemasan produk yang dapat didaur ulang mengingat kebutuhan bahan baku plastik di Tanah Air. Hal ini agar dapat dengan cepat dimanfaatkan oleh industri daur ulang yang membutuhkan bahan baku sampah plastik.
“Pemerintah mendorong agar para produsen yang bikin produk, bikin kemasan itu, harus betul-betul produknya tadi, mudah didaur ulang. Karena kan banyak sekali sekarang kemasan yang bukan sulit, bahkan tidak bisa didaur ulang,” tuturnya.
Pasalnya, keberadaan bahan baku plastik diperlukan mengingat Indonesia kini sudah menghentikan impor plastik karena timbulan sampah plastik Indonesia yang cukup besar dan kebanyakan berakhir di tempat pemrosesan akhir (TPA) tanpa dipilah. Potensi tersebut dapat dimanfaatkan untuk bahan baku untuk daur ulang.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), sampah plastik menempati posisi kedua dari komposisi sampah Indonesia sebesar 19,71% dari total 29,9 juta ton timbulan sampah yang dicatatkan dari 282 kabupaten/kota pada 2024.
Dia mendorong produsen untuk membuat produk yang bisa digunakan ulang dan menghindari kemasan sekali pakai. Dengan demikian maka produsen dapat berkontribusi dalam pengurangan sampah.
Aturan terkait produsen itu sendiri sudah diatur dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen atau yang dikenal juga sebagai Extended Producer Responsibility (EPR).
“Sebenarnya kewajiban kan itu, harus tadi merancang produknya itu mudah didaur ulang, mudah diguna ulang, mudah dikumpulkan, supaya nanti masuk ke industri daur ulangnya lebih mudah. Kemudian tadi bertanggung jawab untuk mengumpulkan lagi kemasan-kemasan yang pascakonsumsi, itu dikumpulkan lagi untuk didaur ulang,” terangnya.