Bisnis.com, JAKARTA — Penanganan masalah sampah dinilai harus ditangani secara kompleks dari tingkat hulu ke hilir.
Berdasarkan Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerin Lingkungan Hidup, timbulan sampah nasional pada 2024 mencapai
56,63 juta ton per tahun. Adapun sekitar 21,85% terakomodasi di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dengan cara penimbunan di tempat terbuka, 25,5% dapat dikelola, sedangkan lebih dari 40% lagi dibuang ke lingkungan seperti laut, sungai atau lahan kosong.
Deputi Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) bidang Rekayasa Sipil dan Lingkungan Terbangun Soelaeman Soemawinata mengatakan selama ini berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan sampah seperti memilah sampah rumah tangga, sistem daur ulang, pemusnahan sampah dengan insinerator, serta waste to energy (WTE). Namun, ternyata belum cukup efektif untuk menyelesaikan persoalan klasik tersebut.
Di sisi lain, tingkat produksi sampah semakin tinggi karena meningkatnya populasi penduduk dan banyak daerah yang tidak mampu untuk menyediakan lahan TPA terutama di perkotaan.
“Ini warning bagi kita bahwa saatnya sekarang sampah dikelola secara lebih serius. Selain edukasi ke masyarakat tetap dilanjutkan, yang lebih krusial lagi adalah mencari solusi tepat agar problem sampah dapat diselesaikan secara praktis dan efisien dengan memutuskan rantai penimbunan sampah,” ujarnya dikutip Rabu (25/6/2025).
upaya mengatasi persoalan sampah turut menjadi komitmen pemerintah. Presiden Prabowo Subianto dalam rapat terbatas di Istana Merdeka Jakarta, pada awal Juni lalu, telah menginstruksikan akselerasi penanganan sampah lewat skema hulu-hilir dengan melibatkan pemerintah daerah. Kepala negara meminta persoalan sampah dapat diselesaikan secara menyeluruh sebelum tahun 2029.
Baca Juga
Soelaeman menilai guna memutuskan rantai timbunan sampah di TPA yang dianggap kurang efisien, maka sampah harus ditanggani dari hulu yakni dari tingkat lingkungan atau kawasan. Salah satunya melalui penerapan teknologi pengelolaan sampah berskala lingkungan atau kawasan yang berdekatan dengan aktivitas permukiman masyarakat, tetapi aman secara lingkungan. Dengan teknologi seperti ini, maka sampah langsung dimusnahkan sehingga tidak butuh lahan penimbunan.
“Kami ingin berkontribusi terhadap upaya penanganan sampah nasional dengan menghadirkan satu karya yakni mesin pemusnah sampah bernama Autothermix. Teknologi ini telah dioperasikan di Serang Banten dan Bandung Jawa Barat,” katanya.
Menurutnya, teknologi mesin ini memiliki banyak keunggulan dibandingkan insinerator lain diantaranya tidak menghasilkan limbah B3, biaya operasional hemat karena tidak berbahan bakar fosil, tidak perlu energi tambahan karena mampu menghasilkan suhu hingga lebih dari 1.000 derajat celcius, serta menghasilkan carbon credit untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Dengan teknologi buatan anak bangsa tersebut, maka desentralisasi pengolahan sampah dari hulu ke hilir seperti yang diharapkan pemerintah bisa dilakukan yakni dimulai dari tingkat terkecil seperti kawasan perumahan dan permukiman atau di tingkat kecamatan. Penimbunan sampah di luar fasilitas pengelolaan juga dapat dikurangi, sekaligus mengurangi beban areal TPA. Bahkan, dalam jangka panjang TPA diharapkan tidak lagi dibutuhkan. Berbeda dari pengelolaan sampah di TPA yang memerlukan lahan hingga ribuan hektare untuk menimbun sampah sampai berpuluh-puluh tahun, maka instalasi ini hanya butuh lahan sekitar 300 meter persegi untuk 2 mesin dengan kapasitas produksi bisa mencapai 5 ton hingga 10 ton setiap hari tanpa henti.
“Teknologi ini sangat efektif digunakan oleh daerah-daerah khususnya perkotaan yang tidak memiliki tanah luas untuk lokasi pengelolaan dan penimpunan sampah dalam jangka panjang,” ucapnya.
Dia menjamin instalasi teknologi sampah tersebut sangat bersahabat dan aman berada di sekitar permukiman masyarakat. Mesin sampah ini dapat dilakukan secara kolaborasi atau bersama-sama oleh masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah daerah. Hal ini termasuk pengolahan abu dari sisa pembakaran karena hanya 6% dari total sampah yang dibakar yang bisa diproduksi menjadi bahan material bangunan.
“Dengan begitu ada nilai tambah, sehingga perekonomian masyarakat sekitar juga bergerak,” tutur Soelaeman.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Rasio Ridho Sani menuturkan saat ini, pola penanganan sampah di Indonesia masih mengandalkan sistem utama berupa pembuangan secara terbuka di TPA (open dumping). Hal itu bukan tanpa tantangan, mengingat mayoritas TPA di Indonesia sudah kelebihan beban, kondisi tata kelola tidak memadai, lahan yang terbatas, serta rentan menimbulkan pencemaran lingkungan terutama polusi udara akibat bau yang ditimbulkan.
“Kondisi TPA banyak yang tidak memadai dan sangat rentan menimbulkan pencemaran lingkungan. Selain itu masih ditemukan lokasi-lokasi yang digunakan sebagai tempat pembuangan sampah ilegal (illegal dumping). Pengelolaan sampah juga masih menjadi beban biaya bagi masayarakat dan pemerintah daerah,” ujarnya.
Menurutnya, ketersediaan teknologi pengelolaan sampah yang efisien dan efektif sangat dibutuhkan. Terlebih, di dalam transformasi pengelolaan sampah di Indonesia, TPA nantinya hanya disiapkan untuk pengelolaan residu. Bahkan, mulai tahun 2030 tidak ada lagi pembangunan TPA baru.