Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia membidik peningkatan ekspor listrik ke Singapura, seiring dengan tumbuhnya permintaan energi di negara tetangga karena infrastruktur pusat data.
Dalam kesepakatan kerja sama yang dijalin kedua negara belum lama ini, Indonesia berkomitmen untuk mengirim listrik bersih ke Singapura dengan kapasitas sebesar 3,4 gigawatt (GW) hingga 2035.
Di samping itu, Singapura akan memulai pengembangan kawasan industri hijau yang potensial di wilayah Bintan, Batam dan Karimun di Kepulauan Riau.
Secara total, Indonesia dan Singapura menyiapkan investasi mencapai lebih dari US$10 miliar atau setara Rp162,67 triliun (asumsi kurs Rp16.267 per US$) untuk membangun rantai pasok panel surya, mematenkan teknologi penangkapan karbon (carbon capture and storage/CCS) dan merintis kawasan industri hijau tersebut.
Rencana ini pun disambut pelaku industri. Himpunan Kawasan Industri (HKI) mengungkap sebanyak 29 perusahaan yang mengembangkan ekosistem energi baru terbarukan (EBT) di Kepulauan Riau (Kepri) akan mendukung kerja sama ekspor listrik bersih ke Singapura.
Ketua Umum Terpilih HKI Akhmad Maruf mengatakan pihaknya telah menandatangani kerja sama dengan Singapura untuk komitmen kolaborasi pengembangan kawasan industri hijau yang mengintegrasikan rantai pasok EBT.
“Sudah ada 29 [perusahaan] untuk bikin renewable, dan itu hilirisasi sampai integrated semuanya end-to-end,” kata Akhmad saat ditemui di Jakarta, Rabu (18/6/2025).
Akhmad menilai keputusan pemerintah Indonesia untuk membuka ekspor listrik bersih ke Singapura sebagai peluang terbuka bagi seluruh pihak terkait, terutama pengusaha kawasan industri nasional.
Pasalnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memberikan syarat kepada Singapura untuk mengembangkan industri solar panel di Indonesia sebelum melakukan importasi listrik dari RI.
Menurut Akhmad, saat ini 29 perusahaan tersebut sudah mulai memproduksi berbagai jenis produk solar panel maupun komponennya. Hasil produksi yang merupakan bagian dari hilirisasi tersebut dapat mendukung program ekspor listrik.
Laporan terbaru Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mengungkap potensi ekonomi dari rencana ekspor listrik hijau ke Singapura serta pengembangan rantai pasoknya.
Studi tersebut memperkirakan Indonesia dapat memperoleh tambahan devisa hingga US$4,2 miliar–US$6 miliar dan pajak penghasilan US$210 juta–US$600 juta setiap tahun dengan mengekspor listrik hijau ke Singapura. Selain itu, proyek ekspor listrik ini akan menyerap 80.000 pekerja.
Perhitungan ini dengan asumsi ekspor listrik sebesar 3,4 GW dengan tarif yang disepakati sekitar US$14 sen sampai dengan US$20 sen per kilowatt hour (kWh). IEEFA juga menyatakan Indonesia dapat menerapkan royalti untuk setiap kWh listrik yang diekspor ke Singapura.
Rekor Bauran Energi Hijau Singapura
Keseriusan Singapura dalam meningkatkan pasokan energi hijau ini turut tecermin dalam laporan terbaru National Electricity Market of Singapore. Porsi energi terbarukan dalam bauran pembangkit listrik Negeri Singa mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pada Mei 2025. Rekor ini dicapai seiring dengan langkah negara tersebut mempercepat impor energi hijau dan produksi listrik tenaga surya secara domestik.
Mengutip Reuters, data dari National Electricity Market of Singapore memperlihatkan bahwa produksi tenaga surya domestik pada Mei meningkat dengan laju tertinggi sejak Maret 2024.
Sementara itu, impor energi terbarukan naik selama tiga bulan berturut-turut hingga mencapai level tertinggi dalam lebih dari dua tahun. Hal ini mendorong porsi energi terbarukan dalam bauran listrik nasional Singapura menjadi 2,58%.
Perdagangan listrik lintas negara dipandang sebagai kunci untuk mengurangi ketergantungan negara tersebut terhadap bahan bakar fosil, terutama di tengah meningkatnya permintaan listrik yang dipicu oleh kehadiran pusat data.
Singapura menargetkan untuk memenuhi kebutuhan listrik sebesar 6 GW melalui impor listrik bersih pada 2035 karena keterbatasan potensi energi terbarukan domestik di negara kota tersebut. Saat ini, sekitar 95% kapasitas pembangkit listrik di Singapura masih bergantung pada gas alam.
Selama lima bulan pertama hingga Mei, data menunjukkan bahwa Singapura telah mengimpor 122,7 juta kWh listrik bersih, setara dengan 0,52% dari total produksi listrik nasional. Tahun lalu, dalam periode yang sama, Singapura tidak mengimpor listrik sama sekali, dan baru mulai mengimpor dalam jumlah kecil pada kuartal terakhir 2024.
Porsi impor dalam bauran listrik Singapura naik selama tiga bulan berturut-turut hingga Mei, sehingga menggantikan sebagian pembangkit listrik berbasis fosil. Secara keseluruhan, total produksi listrik Singapura meningkat 0,4% selama lima bulan pertama tahun ini.
Saat ini, Singapura memiliki dua kesepakatan aktif perdagangan listrik lintas negara, yakni proyek Lao PDR–Thailand–Malaysia–Singapore (LTMS) sebesar 200 megawatt (MW) dan proyek percontohan Energy Exchange Malaysia (ENEGEM) sebesar 50 MW bersama perusahaan utilitas milik negara Malaysia, Tenaga Nasional Berhad.
Pada Oktober lalu, Kepala Eksekutif Otoritas Pasar Energi Singapura (EMA) menyatakan bahwa kesepakatan perpanjangan proyek LTMS masih belum final, karena Singapura masih menunggu Thailand untuk menetapkan rincian biaya transmisi dalam kerja sama multilateral tersebut.
Pada Jumat (27/6/2025), EMA menyampaikan kepada Reuters bahwa diskusi mengenai peningkatan lebih lanjut kerja sama LTMS masih berlangsung, tanpa memberikan detail tambahan.