Bisnis.com, JAKARTA — Greenpeace Indonesia menyoroti bencana banjir yang melanda sejumlah kawasan di Jabodetabek pada awal pekan ini. Mereka berpandangan luasnya dampak banjir merupakan potret kerentanan Indonesia dalam menghadapi krisis iklim.
Greenpeace mencatat bencana banjir kali ini merendam 20 titik di 7 kecamatan di Kota Bekasi. Perubahan bentang alam yang drastis di daerah aliran sungai (DAS) Kali Bekasi menjadi salah satu penyebab parahnya banjir di Bekasi.
Data Kementerian Kehutanan menunjukkan area terbangun pada 2022 mencakup 42 persen dari total luas DAS Kali Bekasi. Area ini melalui daerah-daerah seperti Cibinong, Gunung Putri, Cileungsi, dan Sentul, serta kediaman Presiden Prabowo Subianto di Hambalang, Kabupaten Bogor. Jumlah ini meningkat drastis dari 5,1 persen area terbangun pada 1990.
“Perubahan fungsi lahan ini mengurangi kemampuan penyerapan air, sehingga limpasan air ke sungai menjadi sangat besar melebihi kapasitasnya dan mengakibatkan sungai meluap ke daerah permukiman di Bekasi yang berada di lokasi yang lebih rendah,” kata Sapta Ananda Proklamasi, Senior Data Strategist Greenpeace Indonesia dalam keterangan tertulis, Kamis (6/3/2025).
Juru Kampanye Sosial dan Ekonomi Greenpeace Indonesia Jeanny Sirait mengatakan, eksploitasi alam dan pembangunan yang serampangan di wilayah DAS Kali Bekasi seharusnya bisa dicegah jika pemerintah daerah melakukan pembatasan izin yang berdampak pada eksploitasi lingkungan di kawasan tersebut.
Selain itu, ia juga menilai pemerintah daerah perlu lebih sigap merespons peringatan cuaca dini yang diberikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai upaya mitigasi bencana.
Baca Juga
“Jabodetabek, layaknya Indonesia, kini berada di garis depan krisis iklim. Peringatan dini dari BMKG seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah daerah untuk melakukan respons cepat mitigasi bencana, terutama di tengah peningkatan frekuensi cuaca ekstrem akibat krisis iklim seperti saat ini. Dengan begitu, pemerintah daerah bisa meminimalisasi jumlah korban, dampak sosial dan kerugian ekonomi yang harus ditanggung warga,” ujarnya.
Jeanny pun mendorong pemerintah daerah wilayah Jabodetabek untuk meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim, seperti merancang kota yang tahan iklim dan mempersiapkan warga dalam menghadapi dampak krisis iklim.
“Pemerintah daerah pun harus memastikan upaya mitigasi dan adaptasi dampak krisis iklim dapat dilakukan oleh masyarakat dengan dukungan penuh negara, terutama bagi komunitas terdampak seperti rakyat miskin kota, masyarakat di wilayah pedesaan, warga pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini bukan hanya akan meningkatkan ketahanan daerah dalam menghadapi krisis iklim, tetapi juga mengembangkan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat” tutur Jeanny.
Adapun upaya adaptasi dan mitigasi dapat dilakukan melalui pengelolaan DAS terpadu, restorasi kawasan hutan di hulu, memperbanyak sumur resapan dan biopori, dan memperluas kawasan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai resapan air hujan sekaligus mengurangi polusi udara.
Greenpeace Indonesia juga menyarankan adanya dukungan pemberdayaan kepada masyarakat dalam upaya mengelola daerahnya, pembatasan terhadap izin usaha yang mengeksploitasi lingkungan, serta memastikan pengendalian pada alih fungsi lahan yang tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.