Bisnis.com, JAKARTA — Hasil pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menemukan bahwa kerusakan ekosistem hulu yang dipicu alih fungsi lahan yang terkendali merupakan penyebab utama banjir yang melanda Jabodetabek awal Maret 2025.
"Penyebab utama bencana adalah kerusakan ekosistem hulu secara masif akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali, lemahnya pengendalian tata ruang, serta menjamurnya bangunan tanpa persetujuan lingkungan yang sah," kata Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq di Jakarta, Kamis (16/7/2025), dikutip dari Antara.
Dia mengatakan rangkaian bencana banjir dan longsor yang terjadi pada 2 Maret serta 5–9 Juli 2025 di kawasan Puncak, Bogor menjadi alarm keras atas kondisi darurat ekologis di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan Cileungsi.
Bencana itu menewaskan tiga orang, menyebabkan satu orang hilang, dan merusak tujuh desa di Kecamatan Cisarua dan Megamendung dan berdampak pada wilayah hilir seperti Jakarta dan Bekasi.
Hanif turut menyoroti bangunan yang banyak berdiri di atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Perkebunan Nusantara I Regional 2 (eks PTPN VIII), meskipun kawasan itu telah memiliki Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) sejak 2011.
Terkait hal itu, KLH kemudian mengambil langkah tegas terhadap 21 pelaku usaha, pencabutan delapan persetujuan lingkungan, serta pengiriman surat resmi kepada Bupati Bogor dengan ultimatum pencabutan izin dalam waktu 30 hari kerja.
KLH bersama Pemerintah Kabupaten Bogor menyatakan bahwa delapan perusahaan yaitu PT Pinus Foresta Indonesia, PT Jelajah Handal Lintasan (JSI Resort), PT Jaswita Lestari Jaya, PT Eigerindo Multi Produk Industri, PT Karunia Puncak Wisata, CV Pesona Indah Nusantara, PT Bumi Nini Pangan Indonesia, dan PT Pancawati Agro terbukti memiliki persetujuan lingkungan yang tumpang tindih dengan DELH milik PTPN I Regional 2.
Izin dari tiga perusahaan tersebut, yakni PT Bumi Nini Pangan Indonesia, PT Jaswita Lestari Jaya, dan PT Pancawati Agro telah dipastikan akan dicabut oleh Bupati Bogor. Lima sisanya masih dalam proses evaluasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor.
Menteri LH Hanif melalui surat pada 24 April 2025 telah memberikan tenggat 30 hari kerja bagi Bupati Bogor untuk menyelesaikan pencabutan seluruh persetujuan lingkungan tersebut. Jika tidak dilaksanakan, KLH akan mengambil alih proses pencabutan izin secara langsung.
Evaluasi teknis KLH menemukan berbagai pelanggaran berat, seperti pembukaan lahan dalam kawasan taman nasional, tidak adanya pengelolaan air larian, tidak dilakukan pengukuran kualitas udara, air limbah domestik, maupun kebisingan, serta ketiadaan fasilitas penyimpanan limbah B3.
Salah satu temuan paling mencolok adalah kegiatan operasional PT Pinus Foresta Indonesia yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Selain pencabutan izin, KLH juga menjatuhkan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah kepada 13 pelaku usaha lainnya, termasuk CV Mega Karya Nugraha, PT Tiara Agro Jaya, PT Banyu Agung Perkasa, PT Taman Safari Indonesia, CV Sakawayana Sakti, PT Pelangi Asset Internasional, dan PT Bobobox Aset Manajemen.
Mereka diwajibkan menghentikan seluruh aktivitas dalam waktu tiga hari, membongkar bangunan dalam 30 hari, dan memulihkan lingkungan paling lambat 180 hari.
Untuk mencegah terulangnya bencana ekologis pada masa depan, KLH mendorong reformasi tata ruang secara menyeluruh berbasis Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), memperkuat peran masyarakat dalam edukasi dan pengawasan pembangunan, serta melakukan kajian geologi dan karakteristik tanah untuk mendukung kebijakan yang berbasis data ilmiah.
"KLHS menjadi acuan penting agar tata ruang tidak bertentangan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta mampu mencegah bencana ekologis yang berulang," demikian kata Hanif Faisol Nurofiq.