Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan-perusahaan dalam waktu dekat akan diminta mencantumkan risiko iklim dalam laporan laba rugi mereka, sehingga investor dapat mengetahui bagaimana bencana iklim seperti banjir, badai, dan kekeringan memengaruhi kinerja keuangan.
Badan penyusun standar akuntansi global, International Accounting Standards Board (IASB), yang aturannya digunakan di sekitar 169 yurisdiksi di seluruh dunia, menargetkan finalisasi sejumlah contoh panduan terkait kriteria iklim ini pada Oktober mendatang.
Panduan ini akan menjadi rujukan perusahaan dalam mengungkapkan dampak pemanasan global terhadap pos-pos laba rugi, termasuk penurunan nilai aset dan provisi.
“Meski bersifat teknis dan mungkin membuat orang bosan, langkah ini akan memengaruhi pengambilan keputusan di level strategis,” kata Natasha Landell-Mills, Head of Stewardship di Sarasin & Partners yang mengelola aset senilai US$23 miliar, dikutip dari Bloomberg, Rabu (13/8/2025).
Dia mengemukakan bahwa perubahan ini merupakan peningkatan dari model pelaporan sebelumnya yang memisahkan laporan keuangan dan risiko iklim ke dalam laporan keberlanjutan (sustainability report).
“Menggabungkan keduanya bakal menyasar titik penting dari keseluruhan sistem,” tambahnya.
Baca Juga
Contoh-contoh baru dalam panduan IASB tidak menambah kewajiban pelaporan korporasi, tetapi memperjelas aturan yang ada agar dapat mencakup dampak dari peristiwa luar biasa, termasuk konsekuensi tarif dagang yang diberlakukan pemerintahan Trump.
Dewan IASB menargetkan penyelesaian panduan ini dapat diadopsi dalam laporan keuangan 2025, kata Wakil Ketua IASB Linda Mezon-Hutter. Adapun perusahaan yang memilih tidak mengikuti panduan ini kemungkinan akan menghadapi pertanyaan dari investor.
“Jika terjadi sesuatu dan Anda terdampak secara finansial pada periode berjalan akibat peristiwa terkait iklim, tetapi tidak diungkapkan, tidak dicatat, bahkan tidak dipertimbangkan, itu akan menjadi masalah,” ujar Mezon-Hutter.
Investor berorientasi keberlanjutan selama bertahun-tahun mengeluhkan pelaporan korporasi yang dianggap tidak memadai. Hal ini membuat IASB memulai langkah untuk menanggapi keluhan tersebut pada 2023, dan pada Juli 2025 merilis draf daftar contoh pengungkapan.
Dorongan ini hadir seiring dengan dampak nyata perubahan iklim yang makin sulit diabaikan. Lebih dari separuh perusahaan yang disurvei Morgan Stanley pada Juni 2025 melaporkan penurunan pendapatan akibat peristiwa terkait iklim tahun lalu. Sementara itu, Swiss Re Institute memperkirakan kerugian akibat bencana alam mencapai US$318 miliar dan kurang dari separuhnya diasuransikan.
Dalam perkembangan lain, kekhawatiran akan dampak perubahan iklim terhadap stabilitas sistem keuangan mendorong regulator meminta bank memperkuat penilaian risiko. Bulan ini, Commerzbank AG menyisihkan lebih dari US$300 juta dalam provisi untuk menutup potensi kerugian dari risiko baru, termasuk perubahan iklim.
“Kami sadar beberapa bank besar menarik komitmen mereka terhadap pembiayaan berkelanjutan. Namun bahkan dalam diskusi kami, misalnya dengan Securities and Exchange Commission, mereka sangat sepakat bahwa jika ada dampak material terkait iklim dalam laporan keuangan periode berjalan, pengguna laporan harus mengetahuinya,” kata Mezon-Hutter.