Bisnis.com, JAKARTA — Korporasi global pengguna kemasan plastik ternyata masih jauh tertinggal dari target penggunaan bahan daur ulang, sebagian bahkan merevisi turun target yang sempat dipatok. Realita ini mengemuka ketika negara-negara dunia tengah berjibaku untuk mencapai kesepakatan dalam perundingan plastik global di Jenewa, Swiss.
Berdasarkan laporan BloombergNEF yang dirilis 31 Juli 2025, perusahaan konsumer jumbo seperti Coca-Cola dan Pepsi tercatat memangkas target bauran material daur ulang mereka. Keduanya sempat membidik bauran material daur ulang sebesar 50% untuk kemasan produk mereka pada 2035, tetapi Coca-Cola merevisi turun target menjadi 35% dan Pepsi menjadi 40%.
Sementara itu, merek-merek produk makanan kemasan, perawatan diri dan kosmetik juga masih tertinggal dari komitmen daur ulang. Seiring dengan dirilisnya laporan ini, Coca-Cola Co. dan PepsiCo Inc. tidak memberi komentar atas pertanyaan yang diajukan tim Bloomberg.
Analis BloombergNEF Kirti Vasta mengemukakan kesenjangan dalam realisasi target ini disebabkan oleh keterbatasan bahan baku. Meski limbah plastik melimpah secara global, proses pengumpulan dan pemilahan sampah untuk didaur ulang masih menjadi hambatan utama.
“Kendala terbesar adalah kurangnya pasokan plastik daur ulang berkualitas tinggi, yang menghambat pemilik merek untuk mencapai target mereka,” ujar Vasta, dikutip Jumat (8/8/2025).
Di sisi lain, infrastruktur daur ulang juga masih dalam tahap peningkatan. Pada 2024, nilai investasi untuk proyek daur ulang plastik baru dan fasilitas bioplastik mencapai US$7,1 miliar. Sementara itu, teknologi chemical recycling atau daur ulang tingkat lanjut yang dapat mengolah jenis plastik sulit seperti styrofoam, kemasan sekali pakai, dan sedotan saat ini memiliki kapasitas sekitar 700.000 ton dan terpusat di China dan Amerika Serikat.
Baca Juga
Arus investasi sempat bertambah ketika ExxonMobil Corp. menggelontorkan US$200 juta untuk memperluas fasilitas daur ulang kimia di AS pada tahun lalu. Meski demikian, Vasta memperkirakan pengumuman proyek baru akan melambat. Kondisi ini dinilainya makin mempersulit upaya perusahaan untuk mencapai targetnya.
Sebagai catatan, negosiasi perjanjian plastik internasional sempat terhenti tahun lalu setelah negara produsen plastik besar seperti Arab Saudi dan Rusia memblokir upaya pembatasan produksi global. Mereka berpendapat bahwa fokus perjanjian seharusnya pada peningkatan pengumpulan dan kapasitas daur ulang.
Di sisi lain, para pengkritik daur ulang plastik menilai sistem ini memiliki kelemahan dan berpotensi mengalihkan perhatian dari upaya mengurangi produksi plastik baru.
Sebagai gantinya, sejumlah negara telah menerapkan kebijakan nasional untuk mendorong penggunaan ulang plastik. Pemerintah China tahun lalu membentuk badan usaha milik negara baru yang fokus pada daur ulang sumber daya, sementara pemerintah Kanada membangun registri nasional dengan kewajiban pelaporan oleh perusahaan untuk melacak siklus hidup plastik. Di Inggris, bisnis diwajibkan memberikan kontribusi lebih besar terhadap biaya daur ulang kemasan mereka.