Bisnis.com, JAKARTA — PT TBS Energi Utama Tbk. (TOBA) resmi mengakhiri bisnis pembangkit bertenaga batu bara melalui penyelesaian divestasi aset pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) terakhirnya.
Direktur TOBA Alvin Firman Sunanda, dalam surat kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), menyampaikan bahwa perseroan telah menjual seluruh kepemilikan saham di PT Gorontalo Listrik Perdana (GLP) yang mencapai 80% kepada PT Kalibiru Sulawesi Abadi (KSA).
“Transaksi GLP telah selesai dilaksanakan berdasarkan penandatanganan akta pengambilalihan saham tertanggal 16 Mei 2025 oleh perseroan selaku penjual dan KSA selaku pembeli,” ujarnya dalam keterbukaan informasi, dikutip Sabtu (17/5/2025).
Manajemen TOBA menyatakan bahwa rampungnya divestasi GLP menandai tuntasnya pelepasan seluruh kepemilikan aset PLTU milik perseroan.
Emiten terafiliasi Luhut Binsar Pandjaitan ini sebelumnya telah melepas 90% saham di PT Minahasa Cahaya Lestari (MCL) kepada KSA pada 5 Maret 2025.
PLTU GLP yang berlokasi di Gorontalo tercatat memiliki kapasitas 2x50 megawatt (MW), begitu pula PLTU MCL di Minahasa Utara.
Dengan rampungnya kedua divestasi tersebut, manajemen menyatakan bahwa TOBA telah melepas total kapasitas pembangkit sebesar 200 MW dari portofolionya.
“Langkah ini diproyeksikan mengurangi emisi karbon TBS lebih dari 80% atau sekitar 1,3 juta ton setara CO2 [tCO2e] per tahun,” demikian pernyataan resmi TOBA.
Adapun proyeksi itu dihitung berdasarkan metodologi protokol GHG (greenhouse gas) dan telah melalui tahap pre-assurance oleh auditor eksternal independen.
Manajemen TOBA juga menyatakan bahwa langkah tersebut akan makin memperkuat fokus perseroan dalam mempercepat transformasi portofolio bisnis ke sektor pengolahan limbah, kendaraan listrik, dan energi terbarukan.
Sebagaimana tertuang dalam Laporan Keberlanjutan 2024 perusahaan, TOBA juga menargetkan penghentian operasional bisnis pertambangan batu bara sebagai salah satu komitmen jangka panjang untuk mencapai netralitas karbon. TOBA berencana menghentikan operasi tambang batu bara antara 2026–2030 dan menggunakan mekanisme perdagangan karbon untuk mengurangi emisi.
Target ini cukup ambisius, mengingat bisnis pertambangan batu bara menjadi kontributor utama pendapatan perusahaan. Pada 2024, segmen pertambangan batu bara menyumbang US$243,60 juta atau sekitar 55% dari total pendapatan sebesar US$445,64 juta.
Sementara itu, bisnis perdagangan batu bara berkontribusi US$116,58 juta dan bisnis PLTU sebesar US$59,86 juta. Adapun lini bisnis pengelolaan limbah dan lainnya, yang mencakup kendaraan listrik, masing-masing berkontribusi US$13,12 juta dan US$12,47 juta.
“Pada 2030, setidaknya 80% EBITDA kami diharapkan berasal dari bisnis rendah karbon, menegaskan komitmen kami terhadap transisi energi yang berkelanjutan,” kata Direktur Utama TOBA Dicky Yordan dalam laporan keberlanjutan perusahaan.
Jejak Emisi Sektor Batu Bara
Laporan Global Methane Tracker yang diterbitkan oleh International Energy Agency (IEA) mengungkap bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai penghasil emisi metana sektor batu bara terbesar di dunia pada 2024.
Aktivitas produksi batu bara di Indonesia melepaskan 2,4 juta ton metana (CH₄) pada 2024. Volume emisi metana ini setara dengan dampak iklim jangka pendek yang ditimbulkan oleh 198 juta ton karbon dioksida (CO2).
Sebagai perbandingan, peringkat pertama emisi metana dari sektor batu bara ditempati China dengan volume 18,5 juta ton. Kemudian disusul Rusia sebesar 3,4 juta ton. India dan Amerika Serikat masing-masing menghasilkan emisi metana dari sektor batu bara sebanyak 1,9 juta ton dan 1,7 juta ton.
Emisi metana Indonesia pada 2024 juga 26% lebih tinggi dibandingkan emisi dari seluruh sektor transportasi pada 2019, jika dihitung menggunakan Potensi Pemanasan Global (Global Warming Potential) metana selama 20 tahun sebesar 82,5 kali.
Jumlah tahunan tersebut jauh lebih besar daripada emisi metana tambang batu bara yang dilaporkan Indonesia ke UNFCCC pada 2019, yang hanya sekitar 100.000 ton metana. Hal ini mengindikasikan adanya masalah pelaporan metana yang kurang akurat.
IEA dalam laporannya menekankan bahwa penurunan emisi metana sesuai target tidak memerlukan terobosan teknologi baru. Mereka juga menggarisbawahi bahwa upaya untuk memangkas hingga separuh emisi metana tambang batu bara tidak memerlukan biaya tinggi.
Metana bertanggung jawab atas sekitar 30% peningkatan suhu global sejak Revolusi Industri. Gas ini memiliki masa hidup di atmosfer yang jauh lebih pendek dibandingkan karbon dioksida, yakini sekitar 12 tahun dibandingkan dengan ratusan tahun. Namun metana menyerap lebih banyak energi selama berada di atmosfer.
Metana juga mempengaruhi kualitas udara karena dapat membentuk ozon permukaan (troposfer), yaitu polutan berbahaya. Kebocoran metana juga dapat menimbulkan risiko ledakan.
Sementara itu, TOBA tidak secara spesifik menyebut total emisi gas metana yang dihasilkan dari operasional bisnis batu bara. Namun laporan perusahaan menunjukkan bahwa total emisi gas rumah kaca cakupan 1 atau yang dihasilkan langsung pada 2024 mencapai 1,68 juta ton CO2 ekuivalen.
Emisi dari bisnis batu bara TOBA tercatat turun 10,49% pada 2024 secara tahunan, sementara bisnis kelapa sawit mencatat penurunan emisi sebesar 7,77% akibat berkurangnya produksi.
Namun, peningkatan produksi di PLTU 2024 mengakibatkan kenaikan emisi total sebesar 5,8%. TOBA memperkirakan emisi pada 2025 turun hingga 80% seiring dengan divestasi PLTU.
“Dampak dekarbonisasi yang diproyeksikan ini berasal dari operasional dan proyek yang sedang kami jalankan. Perhitungan ini belum mencakup rencana akuisisi bisnis pengelolaan limbah yang baru,” tulis manajemen.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.