Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ongkos Mahal, Emiten Batu Bara Indonesia Tetap Komitmen Menuju Energi Bersih

Emiten batu bara Indonesia berkomitmen pada energi bersih meski biaya tinggi. Mereka diversifikasi ke energi terbarukan, meski profit utama masih dari batu bara.
Pembiayaan bank-bank global ke sektor batu bara menembus US$385 miliar dalam tiga tahun terakhir./Bloomberg
Pembiayaan bank-bank global ke sektor batu bara menembus US$385 miliar dalam tiga tahun terakhir./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Emiten tambang batu bara Indonesia terus mengupayakan diversifikasi bisnis sebagai bentuk komitmen mewujudkan energi bersih. Hal itu dilakukan demi menjaga bisnis berkelanjutan walau dengan ongkos yang besar.

VP Equity Retail Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi melihat komitmen global mewujudkan energi bersih sangat kuat. Apalagi, dalam Conference of the Parties ke-26 atau COP26 Glasgow pada 2021 sebanyak 140 negara yang mewakili 90% dari PDB global telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission.

"Kami melihat dalam skenario resmi Net Zero Emissions NZE by 2050, permintaan batu bara global diperkirakan menurun 90% hingga 2050. Kelistrikan di negara maju didekarbonisasi sepenuhnya pada 2035, dan global pada 2040," kata Oktavianus kepada Bisnis, Senin (18/8/2025).

Komitmen global untuk meninggalkan energi fosil diperkuat dengan hasil COP28 di Dubai Uni Emirat Arab pada akhir 2023 lalu. Oktavianus menjelaskan, konferensi tingkat tinggi tersebut menghasilkan komitmen untuk meningkatkan energi baru terbarukan (EBT) tiga kali lipat yang diikuti dengan penghentian deforestasi.

"Sehingga kami melihat permintaan emiten EBT akan semakin tinggi untuk jangka panjang," ujarnya.

Oktavianus mencatat dalam kuartal I/2025 ini beberapa emiten batu bara sudah mulai melakukan transisi ke EBT dan hasilnya bisa memberi sumbangsih atas pendapatan perusahaan.

Contohnya adalah seperti yang dilakukan oleh PT Indika Energy Tbk. (INDY). Pendapatan INDY non-batu bara meningkat 18%, disumbang dari anak usaha PT Empat Mitra Indika Tenaga Surya (IMITS) yang menggarap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Meski begitu, profit terbesar masih bersumber dari anak usaha yang fokus pada penambangan batu bara, PT Kideco Jaya Agung.

Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi, total pendapatan INDY per kuartal II/2025 mengalami kontraksi 20,05% year on year (YoY) menjadi US$956,82 juta, didorong penurunan pendapatan penjualan batu bara sebesar 25,94% YoY menjadi US$788,51 juta.

Kontribusi batu bara dari total pendapatan INDY per kuartal II/2025 mengecil menjadi 82,41%, dibandingkan kontribusinya per kuartal II/2024 sebesar 88,96%.

Contoh lainnya, PT Alamtri Resource Indonesia Tbk. (ADRO) yang telah mengalihkan fokus bisnisnya dari batu bara. ADRO akan lebih berfokus pada bisnis hijau dan pengembangan proyek-proyek ramah lingkungan dengan pilar bisnis Adaro Minerals dan Adaro Green. Akhir 2024 lalu, ADRO telah melakukan spin-off atau pemisahan usaha bisnis baru baranya, PT Adaro Andalan Indonesia Tbk. (AADI).

Emiten lain yang melakukan diversifikasi bisnis adalah PT Harum Energy Tbk. (HRUM). Oktavianus mencatat sepanjang 2024 pendapatan HRUM mencapai 49% datang dari nikel.

Menilik laporan keuangan kuartal I/2025, porsi pendapatan HRUM dari batu bara mengecil hanya menjadi 36,99%, sedangkan pendapatan dari nikel sebesar 62,35%. Porsinya berbeda dibanding kuartal I/2024, di mana sebesar 50,81% pendapatan bersumber dari batu bara dan 47,78% datang dari nikel.

"Sedangkan, emiten batu bara lain seperti ITMG, PTBA dan BYAN masih memiliki skala yang kecil untuk non-coal dan EBT," ujarnya.

Oktavianus mengatakan diversifikasi bisnis batu bara membutuhkan capital expenditure (capex) yang besar. Misalnya, INDY mengeluarkan dana sebesar US$18,5 juta pada kuartal I/2025 untuk belanja modal, dengan sebagian besar dialokasikan untuk proyek pertambangan emas sebesar US$15,3 juta dan bisnis hijau sebesar US$1,3 juta.

Sebagai konsekuensi tersebut, menurutnya inisiasi dari proyek EBT dapat menurunkan return on equity (ROE) jangka pendek, apabila proyek yang digarap masih membutuhkan belanja modal yang besar dan belum menghasilkan produksi.

Selain itu, jika proyek diversifikasi batu bara dibiaya melalui utang menurutnya hal ini juga berpotensi meningkatkan debt to equity (DER) karena kebutuhan yang besar.

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro