Bisnis.com, JAKARTA — Di tengah sorotan terhadap komitmen negara-negara maju dalam mendukung upaya mitigasi perubahan iklim, China dinilai dapat menjadi mitra strategis bagi Indonesia dalam mendongkrak pendanaan proyek-proyek transisi energi.
Saat ini, China menjadi pemimpin global dalam pengembangan energi terbarukan dan strategi yang diterapkan untuk mempercepat transisi energi secara berkelanjutan.
Pengalaman China mendorong transisi energi dapat dijadikan pelajaran berharga bagi Indonesia dalam mempercepat transisi energi, termasuk pentingnya kebijakan yang stabil, keterlibatan komunitas, dan reformasi pasar.
Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Saffanah R Azzahrah mengatakan keberhasilan China untuk melampaui target pengembangan 1.200 GW energi terbarukan, bisa dijadikan refleksi bagi Indonesia.
Terkait pendanaan, melalui program Belt and Road Initiative (BRI), China juga telah memposisikan diri sebagai aktor utama dalam pembiayaan iklim global, termasuk di kawasan Asia Tenggara.
“Ini akan memberi sinyal positif bagi industri dan pendanaan iklim di Indonesia ke depan,” ujarnya, Kamis (8/5/2025).
Baca Juga
Kekuatan China dalam energi terbarukan terlihat dari capaian dan proyeksinya di tingkat global. Merujuk laporan World Economic Forum, Pada 2023, China berhasil menambahkan kapasitas energi terbarukan baru sebesar 297,6 gigawatt (GW), menyumbang sekitar 63% dari ekspansi global.
Diperkirakan China akan berkontribusi hingga 60% dari penambahan kapasitas global pada tahun 2030. Sektor energi terbarukan di China juga menyerap sekitar 7,4 juta tenaga kerja, atau 45,5% dari total pekerjaan global di sektor ini.
Di sisi lain, tantangan utama percepatan transisi energi nasional masih berkutat pada keterbatasan pendanaan.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain), Tata Mustasya, menilai kontribusi China dapat menjembatani gap tersebut, khususnya dalam mendukung pelaksanaan skema Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia.
“Mengacu pada kebutuhan pembiayaan JETP, investasi China berpotensi menutupi porsi signifikan dari kebutuhan pembiayaan energi terbarukan di Indonesia, baik untuk teknologi yang bersifat variabel maupun dispatchable,” ujarnya.
Adapun, mengacu pada dokumen JETP Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP), Indonesia membutuhkan komitmen investasi sebesar US$100 miliar hingga 2030 untuk mendanai proyek transisi energi
Secara historis, pembiayaan China di sektor energi Indonesia diperkirakan berkisar antara US$490 juta hingga US$900 juta per tahun. Jika tren ini berlanjut, total kontribusi selama periode 2024–2030 diprediksi dapat mencapai antara US$3,4 miliar hingga US$6,3 miliar.
Lebih lanjut, Tata menekankan bahwa kolaborasi Indonesia-China tidak hanya terbatas pada proyek-proyek energi, namun juga mencakup sektor kehutanan dan tata kelola lahan.
“Kerja sama bilateral perlu diarahkan agar sejalan dengan target iklim nasional, termasuk dalam hal transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap tata kelola kehutanan,” imbuhnya.
Adapun, pada November 2024, China dan Indonesia telah menandatangani kesepakatan senilai $10 miliar yang mencakup berbagai sektor, termasuk energi terbarukan, kendaraan energi baru , baterai lithium, fotovoltaik, hingga ekonomi digital.
Jebakan Utang
Hanya saja, pemerintah juga perlu mewanti-wanti sokongan pendanaan dari Negeri Tirai Bambu dalam proyek transisi energi. Hal itu disampaikan Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam riset bertajuk Redefining China’s “Debt-Trap”: An Indonesian Perspective yang dirilis November silam.
Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur China-Indonesia Desk di Celios berpendapat bahwa Indonesia harus memandang dalam lanskap yang lebih luas bahwa jebakan utang tidak terbatas hanya pada isu ekonomi saja, namun lebih daripada itu.
Menurutnya, ketika sebuah negara merasa tidak independen dalam memutuskan kebijakan. Hal tersebut, lanjut Zulfikar, dapat mencerminkan bentuk keterikatan kebijakan yang mendekati jebakan utang.
“Kita menghadapi banyak isu yang berkaitan dengan China dan itu tidak menguntungkan untuk Indonesia, namun respon pemerintah kita masih sangat berhati-hati karena China merupakan partner ekonomi terbesar Indonesia,” ujarnya.
Celios menilai dinamika ini menunjukkan gejala keterikatan kebijakan yang dapat mengarah pada ketergantungan, salah satu indikator dari jebakan utang.