Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Berharap Jepang dan Jerman Tancap Gas di Program JETP

Jepang dan Jerman perlu mencari alternatif pendanaan senilai US$3 miliar untuk melanjutkan program JETP sepeninggal AS.
Ilustrasi transisi energi dan pengembangan pembangkit energi baru dan terbarukan./ Bisnis - Puspa Larasati
Ilustrasi transisi energi dan pengembangan pembangkit energi baru dan terbarukan./ Bisnis - Puspa Larasati

Bisnis.com, JAKARTA - Pernyataan Utusan Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, yang menyebutkan bahwa Just Energy Transition Partnership (JETP) merupakan program yang gagal, terkesan masuk akal.

Hal ini disebabkan oleh belum adanya dana yang dikucurkan oleh pemerintah Amerika Serikat. Apalagi setelah AS resmi menarik diri dari program pendanaan transisi energi ini pada 6 Maret lalu.

Namun, kedatangan Jepang dan Jerman sebagai pengganti AS menawarkan harapan baru bagi keberlangsungan JETP.

Tantangan utama kini adalah mencari alternatif pendanaan senilai US$3 miliar untuk melanjutkan program ini. Apakah Jepang dan Jerman dapat memenuhi tantangan ini?

Japhet Quitzo, analis di Center for Strategic and International Studies (CSIS) untuk kawasan Asia, menyatakan bahwa penarikan AS dari JETP akan mengurangi posisi negara tersebut di kawasan Asean. Hal ini berpotensi mengganggu implementasi komitmen transisi energi di Indonesia dan Vietnam.

“Penarikan AS ini berdampak pada komitmen pendanaan lebih dari $3 miliar untuk Vietnam dan Indonesia, yang sebagian besar berupa pinjaman komersial. Kedua negara ini, yang sedang dalam tahap industrialisasi, telah memprioritaskan pengembangan energi bersih dan andal,” ujarnya dikutip dari laman CSIS Amerika Serikat.

Quitzo juga menambahkan bahwa dampak penarikan AS lebih terasa di Vietnam, yang berusaha menjaga keseimbangan hubungan antara AS dan China dalam pembiayaan transisi energi mereka.

Meski begitu, Vietnam dan Indonesia memiliki aspirasi ambisius dalam mengurangi emisi sektor energi hingga 30%, dengan Vietnam mengurangi kapasitas pembangkit batubara dari 37 gigawatt menjadi 30,2 gigawatt, dan Indonesia menargetkan 47% pembangkit listrik dari energi terbarukan pada 2030.

Kehadiran Jepang dan Jerman sebagai pengganti AS diharapkan dapat mempercepat program-program JETP.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyambut baik inisiatif kedua negara untuk terus berkolaborasi dalam transisi energi, sebagai bagian dari pengembangan ekonomi berkelanjutan.

“Kami sudah melakukan pertemuan dengan pihak Jerman terkait komitmen mereka untuk mendukung JETP,” ujar Dadan kepada Bisnis.

Sebelumnya, analis BMI, unit dari Fitch Solutions, mencatat bahwa meskipun AS mundur, kekosongan pendanaan ini kemungkinan akan diisi oleh mitra internasional lainnya, meskipun ini bisa menambah keterlambatan dalam pelaksanaan program.

Terlepas dari tantangan pendanaan, Jepang sendiri sudah memiliki program dekarbonisasi di Indonesia melalui Asia Zero Emission Community (AZEC).

Program ini merupakan bagian dari inisiatif pengurangan emisi yang dimulai pada COP 26 di Glasgow dan diluncurkan pada KTT G20 di Bali pada November 2022. Melalui AZEC, Jepang dan Indonesia telah mengidentifikasi 34 proyek yang akan didukung dengan pendanaan dari Jepang.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, proyek-proyek ini menunjukkan komitmen kuat Jepang dan Indonesia dalam mewujudkan ekonomi berkelanjutan dan transisi energi yang lebih hijau.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper