Bisnis.com, BOGOR - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyebut kebutuhan penanaman modal untuk pengembangan 'gudang' karbon atau carbon capture storage (CCS) di Indonesia mencapai U$2,4 triliun atau setara dengan Rp39,313 kuadraliun.
Asisten Deputi Transisi Energi Kemenko Ekonomi, Farah Heliantina mengatakan penerapan CCS berkontribusi secara signifikan dalam menurunkan emisi global bersama dengan langkah-langkah reduksi emisi lainnya, seperti elektrifikasi, penggunaan hidrogen, dan efisiensi energi.
Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia, melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060 dengan 31,89% dengan upaya sendiri pada tahun 2030 dan 43,20% dukungan internasional.
"Investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan kapasitas CCS hingga tahun 2050 mencapai US$2,4 triliun. Ini angka yang sangat lumayan tinggi," kata Farah dalam agenda Understanding Carbon Capture and Storage (CCS), Sabtu (18/1/2025).
Adapun, CCS menjadi salah satu kunci yang nanti akan diimplementasikan oleh sektor-sektor yang akan sulit untuk dekarbonisasi. CCS menjadi langkah krusial dalam mengelola dan mengurangi emisi karbon dari industri yang menggunakan energi intensif seperti semen, baja, dan petrokimia.
“Dengan menerapkan CCS, kita tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga menciptakan ketahanan ekonomi," ujarnya.
Baca Juga
Apalagi, Indonesia memiliki potensi geologi yang besar untuk pengembangan CCS, seperti di Cekungan Sunda-Asri, yang dapat menarik investasi hijau signifikan dan mendukung pengembangan energi terbarukan secara masif.
Farah juga menyebutkan bahwa integrasi CCS akan menciptakan lapangan kerja baru, mendorong inovasi, dan meningkatkan daya tarik investasi.
"Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat adalah kunci untuk mempercepat transisi energi yang berkelanjutan," tambahnya.
Kendati demikian, dia pun menyebutkan pentingnya sinergi dan kolaborasi dengan berbagai pihak. Dalam hal ini, pemerintah juga akan berupaya mendukung dari segi regulasi, insentif, pengembangan teknologi hijau, serta penguatan kapasitas sumber daya manusia.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur EksekutifIndonesia CCS Center (ICCSC), Belladonna Troxylon Maulianda menyebut Indonesia memiliki potensi besar sebagai hub regional CCS di Asia Tenggara.
"Dengan kapasitas penyimpanan karbon hingga 600 gigaton dan lokasi strategis, Indonesia memiliki daya tarik investasi yang kuat dalam pengembangan teknologi CCS," tuturnya.
Saat ini, terdapat 15 proyek CCS yang sedang dikembangkan di Indonesia dengan total investasi sekitar US$28 miliar.
Proyek-proyek ini mencakup berbagai sektor seperti kilang, petrokimia, dan pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Beberapa proyekutama, termasuk kerjasama lintas negara dengan Singapura, menunjukkan komitmen Indonesia untuk mempercepat transisienergi.
Dia juga menekankan pentingnya kerangka regulasi yang mendukung pengembangan CCS, termasuk Perpres No. 14/2024 tentang Penyelenggaraan CCS dan pengadopsian standar internasional ISO/TC 265 sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI). Regulasi ini mencakup operasional penyuntikan karbon, kegiatan lintas batas, hingga sistem pelaporan dan verifikasi(MRV) yang detail.
Namun, tantangan tetap ada, seperti kebutuhan akan investasi lebih lanjut, infrastruktur transportasi karbon, dan peningkatan kesadaran publik.
Dengan kombinasi inovasi teknologi, kerjasama lintas sektor, dan regulasi yang kuat, Indonesia berkomitmen untuk memimpin upaya dekarbonisasi di kawasan Asia Tenggara.