Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengharapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani segera memberlakukan pengenaan pajak karbon di Tanah Air. Permintaan ini dia kemukakan di tengah ekspektasi peningkatan transaksi unit karbon ketika perdagangan telah dibuka untuk pembeli asing.
“Saya harapkan dari Kementerian Keuangan, kami juga akan mendorong secara resmi kepada Bu Menteri Keuangan untuk segera mencermati, mempertimbangkan pengenaan pajak karbon,” kata Hanif setelah peluncuran perdagangan karbon internasional, Senin
(20/1/2025).
Hanif mengatakan pajak karbon merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat mengakselerasi perdagangan karbon secara domestik dan internasional. Terlebih dengan struktur investasi bernilai jumbo di Tanah Air yang didominasi entitas asing.
“Pajak karbon ini penting untuk membangun pasar. Sebagaimana diketahui, semua investasi kita yang bernilai besar didominasi oleh investasi internasional. Kehadiran pajak karbon penting untuk mendorong mereka [investor asing] menjadi akselerator perdagangan karbon kita,” papar Hanif.
Riset BloombergNEF memperlihatkan bahwa sejauh ini hanya terdapat dua mekanisme pajak karbon yang dijadwalkan berlaku sebelum 2030 di Asia Tenggara.
Singapura adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang sudah memberlakukan pajak karbon, dengan tarif 25 dolar Singapura (setara US$18,48) per ton CO2 ekuivalen. Banderol harga ini berpotensi naik hingga mencapai 80 dolar Singapura per ton pada 2030.
Baca Juga
Sementara itu, Indonesia mengusulkan pajak karbon domestik untuk pembangkit listrik dan sektor transportasi dengan tarif sebesar Rp30.000 per ton, atau hanya sekitar US$1,90 per ton. Adapun Thailand berencana menerapkan pajak karbon untuk produk minyak dengan tarif 200 baht atau sekitar US$5,66 per ton CO2 ekuivalen.
Namun, tarif pajak karbon yang direncanakan dan sudah diterapkan di Asia Tenggara masih berada di bawah kisaran harga yang direkomendasikan Bank Dunia, yaitu US$63 hingga US$127 per ton. Standar harga itu dinilai ideal untuk mencapai target pencegahan pemanasan global 1,5°C.
“Ini menunjukkan bahwa instrumen penetapan harga karbon di kawasan ini mungkin memiliki pengaruh terbatas terhadap pengurangan emisi sektor dalam waktu dekat,” tulis Joy Foo dalam riset tersebut.
Pemerintah di kawasan Asia Tenggara, lanjut Foo, sengaja menetapkan harga rendah di tahap awal untuk memberikan periode transisi bagi perusahaan agar dapat beradaptasi. Namun, pada tingkat harga ini, entitas yang diwajibkan membayar pajak karbon cenderung menerima sedikit insentif finansial untuk mengurangi aktivitas tinggi karbon.
Meski demikian, Foo turut mencatat bahwa pemerintah di Asia Tenggara berupaya meningkatkan efektivitas pajak karbon dengan menaikkan tarif dan memperluas cakupannya ke lebih banyak entitas.
Sementara itu, Direktur Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman mengatakan bahwa perdagangan karbon masih dipandang terbatas sebagai aktivitas tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/CSR), alih-alih sebagai kewajiban pengurangan emisi.
Namun, dia mencatat tak sedikit pula emiten yang memandang perdagangan karbon sebagai peluang untuk menaikkan nilai tambah perusahaan.
Dia memberi contoh perusahaan panas bumi yang mencatatkan potensi pengurangan emisi pada proyeknya dalam IDXCarbon. Pencatatan ini memungkinkan emiten panas bumi untuk tak hanya menjual energi terbarukan, tetapi juga kredit karbon.
“Dengan penjualan karbon, value daripada geotermal ini naik. Value perusahaannya juga naik karena mereka punya pendapatan lain di samping penjualan listrik,” kata Iman.
Sebagai catatan, sampai pertengahan Desember 2024, emiten panas bumi PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO) dan induknya Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) telah menjual 862.000 ton CO2 ekuivalen karbon kredit yang berasal dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Lahendong Unit 5 & 6. Kedua PLTP kelolaan PGEO ini menghasilkan daya sebesar 654.68 GWh sepanjang Januari-September 2024.
Volume penjualan itu setara dengan 96% pangsa pasar kredit karbon Indonesia. Sebagai perbandingan, volume karbon yang ditransaksikan di bursa karbon pada periode 12 bulan 2024 bertengger di 412.186 ton CO2 ekuivalen, turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 494.254 ton CO2 ekuivalen.