Bisnis.com, JAKARTA — Riset terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Science mengungkap kegagalan auditor dalam menjalankan peran sebagai penjamin independen atas kualitas kredit karbon. Hal ini menyebabkan peredaran karbon berkualitas rendah di pasar.
Dalam riset tersebut, Cary Coglianese, profesor hukum dan ilmu politik dari University of Pennsylvania, bersama Cynthia Giles, mantan penasehat senior di Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA), menyimpulkan bahwa auditor yang dipilih dan dibayar oleh perusahaan yang mereka nilai tidak dapat menjamin kredibilitas proyek karbon yang mereka audit.
“Kondisi ini dipicu oleh insentif ekonomi dan bias yang secara tidak sadar dilakukan para auditor demi menghasilkan penilaian yang menguntungkan klien,” tulis para penulis riset tersebut, dikutip dari Bloomberg, Sabtu (12/7/2025).
Para periset menambahkan bahwa para auditor menghadapi pilihan sulit antara mempertahankan pekerjaan atau mempertahankan kredibilitas dengan menolak kredit karbon berkualitas rendah yang teridentifikasi di pasar.
Perusahaan biasanya membeli kredit karbon dari proyek penurunan emisi di berbagai belahan dunia untuk mengimbangi emisi mereka sendiri. Pasar ini sempat mencapai puncaknya di nilai US$2 miliar pada 2022, tetapi kemudian turun karena serangkaian tuduhan greenwashing.
Sejumlah inisiatif industri kini berupaya memperbaiki kualitas kredit dan meningkatkan permintaan, dengan menekankan peran auditor pihak ketiga dalam membersihkan pasar.
Baca Juga
Namun, temuan Coglianese dan Giles menunjukkan bahwa persoalan auditor bersifat sistemik, bukan hanya kesalahan segelintir firma audit. Mereka meninjau 95 proyek yang awalnya disertifikasi oleh registri utama, tetapi kemudian ditolak atau ditangguhkan oleh registri yang sama, atau ditemukan dalam riset ilmiah telah melebih-lebihkan jumlah kredit yang diklaim. Dari lebih dari 30 auditor yang terakreditasi, 21 di antaranya terlibat dalam evaluasi setidaknya satu dari proyek-proyek tersebut.
“Gagalnya auditor dalam menghentikan proyek-proyek yang bermasalah mencerminkan isu sistemik, bukan sekadar persoalan pada beberapa perusahaan audit,” tulis para peneliti.
Audit dalam sektor karbon telah lama dikritik karena tidak berhasil mencegah atau menandai skandal finansial. Kerentanan pasar karbon juga makin tinggi karena klaim proyek yang sulit diverifikasi secara kuantitatif.
“Tak ada pengukuran kuantitatif yang dapat membuktikan bahwa sebuah proyek benar-benar tambahan atau bersifat permanen. Auditor justru harus menilai kredibilitas asumsi dan klaim,” papar mereka.
Namun, sebagian pihak mempertanyakan kesimpulan ini. Tommy Ricketts, CEO BeZero Carbon, mengatakan bahwa pasar saat ini tidak lagi sepenuhnya bergantung pada penilaian auditor, karena sistem peringkat risiko proyek telah diperkenalkan.
“Risiko berada pada tingkat proyek, dan peringkat membuat pasar karbon kini bisa memperhitungkan hal ini,” ujarnya.
Meski demikian, kekhawatiran terhadap auditor muncul bertepatan dengan tanda-tanda pemulihan pasar kredit karbon. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun lalu menyetujui seperangkat aturan yang membuka jalan bagi pasar kredit karbon baru.
Di saat yang sama, tekanan terhadap badan penyusun standar terus meningkat agar mereka mengizinkan penggunaan kredit karbon untuk mengimbangi emisi rantai pasok yang sering kali menjadi sumber polusi terbesar perusahaan.
CEO Standard Chartered Plc, Bill Winters, baru-baru ini menyebut adanya “peluang besar yang belum tergarap” dalam potensi permintaan korporasi terhadap kredit karbon.
Namun bagi Coglianese dan Giles, hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah struktural dalam sistem audit ini. Mereka memperingatkan bahwa meningkatnya permintaan justru berpotensi memperburuk masalah tersebut.