Bisnis.com, JAKARTA — Negosiasi perjanjian plastik global yang berlangsung di Swiss pada 5–14 Agustus 2025 berisiko kembali mencapai jalan buntu. Di tengah prospek suram ini, riset terbaru yang dipublikasi di jurnal The Lancet mengungkap bahwa plastik sejatinya membawa dampak yang jauh lebih buruk bagi manusia dan lingkungan.
Kerugian ekonomi karena permasalahan kesehatan yang ditimbulkan plastik diestimasi menembus US$1,5 triliun setiap tahunnya berdasarkan riset tersebut. Dampak ini terutama lebih dirasakan oleh masyarakat dengan pendapatan rendah dan berisiko.
“Pemicu utama krisis ini adalah pertumbuhan signifikan produksi plastik, dari 2 juta ton pada 1960, 475 juta ton pada 2022 dan diproyeksikan mencapai 1,2 miliar ton pada 2060,” tulis inisiatif baru bernama Lancet Countdown on Health and Plastics yang dirilis pada 3 Agustus 2025.
Inisiatif ini akan memantau upaya global dalam mengurangi paparan plastik dan mitigasi risikonya. Lancet Countdown on Health and Plastics merupakan proyek bersama antara Boston College, Universitas Heidelberg di Jerman, Centre Scientifique de Monaco, dan Minderoo Foundation di Australia.
"Plastik selama ini agak tak terlihat, tertutupi oleh krisis iklim, polusi udara, dan isu lain seperti kebakaran hutan," kata Profesor Biologi dari Boston College, Philip Landrigan, penulis utama tinjauan literatur Lancet yang baru dan ketua bersama inisiatif tersebut.
"Butuh waktu bagi kita untuk menyadari ancaman yang ditimbulkan oleh polusi plastik,” lanjutnya, dikutip dari Bloomberg.
Baca Juga
Data BloombergNEF memperlihatkan bahwa China menempati peringkat teratas sebagai produsen terbesar plastik, dengan kapasitas produksi menembus 222,1 juta ton pada 2024. Amerika Serikat menempati peringkat kedua dengan kapasitas produksi 92,7 juta ton; Timur Tengah, Afrika Utara dan Turki memiliki total kapasitas 83,1 juta ton; Eropa selain Jerman sebesar 58,2 juta ton; sementara Indonesia sebesar 12,2 juta ton.
Seiring produksi yang terus meningkat, polusi plastik turut menimbulkan masalah besar lain. Setidaknya terdapat 8 miliar ton sampah plastik yang mencemari Bumi saat ini. Selain itu, kurang dari 10% produksi plastik didaur ulang secara global.
Dalam artikel ilmiah lain yang dipublikasi di jurnal Nature, lebih dari seperempat dari 16.000 senyawa kimia yang terkandung dalam plastik teridentifikasi berbahaya bagi kesehatan manusia. Studi tersebut mengungkap bahwa senyawa kimia ini ditemukan di seluruh jenis plastik.
Sejauh ini, beberapa bahan kimia tersebut telah dikaitkan dengan gangguan reproduksi, penurunan IQ pada anak, serta peningkatan risiko kanker dan stroke pada orang dewasa. Risiko tertinggi terjadi ketika paparan terjadi sejak dalam kandungan, masa bayi, atau masa kanak-kanak awal.
Tak berhenti di sana, para ilmuwan juga masih berada pada tahap awal dalam memahami dampak kesehatan dari partikel mikroplastik dan nanoplastik. Partikel-partikel ini bahkan telah terdeteksi di organ tubuh manusia, darah, dan air mani.
Mengutip Bloomberg, sebuah makalah yang diterbitkan pekan lalu menemukan bahwa manusia dewasa menghirup sekitar 68.000 fragmen mikroplastik yang mampu menembus paru-paru setiap hari. Jumlah ini 100 kali lipat lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
Studi lain tahun lalu turut menunjukkan bahwa pasien dengan partikel tersebut di dinding pembuluh darah memiliki risiko lebih tinggi mengalami serangan jantung, stroke, atau kematian dalam waktu sekitar tiga tahun kemudian.
Terdapat pula bukti yang menunjukkan bahwa dampak plastik terhadap perubahan iklim ternyata lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya.
Sebuah makalah pada 2024 dari peneliti di Lawrence Berkeley National Laboratory menemukan bahwa pada 2019, produksi plastik primer menghasilkan 2,24 gigaton CO₂ ekuivalen. Volume emisi karbon itu setara dengan 5,3% dari total emisi gas rumah kaca global tahun itu dan jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,4%.
Sebagaimana polusi lainnya, permasalahan plastik dan produksinya yang terus meningkat sejatinya memiliki solusi. Laporan The Lancet menyebutkan bahaya dari plastik dapat dikurangi secara efektif dan efisien melalui undang-undang dan kebijakan berbasis bukti, yang didukung oleh langkah-langkah pendukung seperti transparansi, regulasi, dan pemantauan, serta difasilitasi oleh implementasi yang efektif.