Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Potensi Besar Panas Bumi Tersandung Beban Investasi

Investasi panas bumi di Indonesia terhambat oleh biaya tinggi dan inefisiensi, meski potensinya besar.
CEO BPI Danantara, Rosan P. Roeslani (tengah) menyaksikan penandatanganan Nota Kesepahaman terkait pengembangan energi panas bumi untuk pembangkit listrik antara Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo (kanan) dan Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri (kiri) di Wisma Danantara, Jakarta pada Selasa (5/8/2025)./ Istimewa - Humas PLN
CEO BPI Danantara, Rosan P. Roeslani (tengah) menyaksikan penandatanganan Nota Kesepahaman terkait pengembangan energi panas bumi untuk pembangkit listrik antara Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo (kanan) dan Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri (kiri) di Wisma Danantara, Jakarta pada Selasa (5/8/2025)./ Istimewa - Humas PLN

Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) perlu menyelesaikan titik sumbat investasi panas bumi nasional seperti risiko pengembangan, inefisiensi bisnis hingga perizinan untuk mengakselerasi proyek pembangkit listrik energi terbarukan ini. 

Danantara tampak agresif memfasilitasi investasi proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTG) di Tanah Air. 

Belum lama ini, Danantara melalui PT Danantara Asset Management (Persero) memfasilitasi kerja sama strategis antara PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) dalam pengembangan energi panas bumi untuk pembangkit listrik. 

Kerja sama ini merupakan bagian dari agenda ketahanan energi nasional dan percepatan transisi menuju energi bersih, serta ditandai melalui penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang menetapkan kerangka awal kerja sama. 

Diperkirakan 19 proyek eksisting berkapasitas sekitar 530 MW akan diakselerasi melalui sinergi operasional lintas entitas. Potensi tambahan kapasitas diproyeksikan mencapai 1.130 MW dengan nilai investasi US$5,4 miliar atau setara Rp88,49 triliun (estimasi kurs Rp16.388 per dolar AS).

Dorongan pemerintah untuk mengakselerasi proyek panas bumi nasional bukan kali ini saja. Upaya serupa pun terjadi dalam 10 tahun terakhir. Di era pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo, isu holding panas bumi sempat merebak. 

Salah satu harapan pembentukan holding BUMN panas bumi ini adalah mendorong efisiensi. Sayang, wacana pembentukannya pun menguap. 

Kali ini, pemerintah melalui Danantara ingin pengembangan energi panas bumi, merupakan bagian dari agenda strategis nasional, dapat dilakukan dengan akuntabel. Tidak hanya itu, investasi panas bumi juga dapat mendorong kolaborasi lintas BUMN.

Sumbatan Internal

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan kerja sama antara Pertamina dan PLN dalam hal panas bumi bukan menjadi hal yang baru. 

Menurutnya, upaya Danantara menyatukan langkah kedua BUMN dalam pengembangan panas bumi perlu terlebih dahulu dengan menyelesaikan hambatan internal. 

“Bagaimana hambatan yang ada bisa diurai dan mempercepat investasi panas bumi. Misalnya kesepakatan jual beli listrik (PPA) yang belum bisa dipercepat,” ujarnya dihubungi Bisnis, Jumat (8/8/2025).

Tidak hanya itu, sejumlah risiko pengembangan perlu menjadi perhatian Danantara. Sebut saja, perizinan (amdal), memangkas waktu pengembangan proyek panas bumi yang membuat biaya investasi tinggi. 

“Setiap negara tentunya panas bumi tidak bisa sama biayanya, pertama faktor risiko di setiap negara berbeda, 40% di Indonesia pengembangan itu kawasan hutan, terpencil, biayanya bisa naik, karena harus bangun infrastruktur,” tambahnya. 

Beban Investasi

Beban investasi panas bumi di Indonesia sebagai sumbatan utama dalam pengembangan proyek hijau ini. Hal itu menyebabkan besarnya potensi panas bumi di Indonesia tidak berbanding lurus dengan efisiensi biaya. 

Laporan terbaru IRENA menyoroti biaya listrik yang dihasilkan pembangkit panas bumi di Tanah Air menjadi yang paling mahal di antara negara-negara pemain utama. Biaya listrik yang dirata-rata (LCOE) sangat bervariasi antarnegara pada 2024. Turki mencatat LCOE terendah sebesar US$0,033/kWh, menunjukkan efisiensi luar biasa. 

Di sisi lain, Indonesia memiliki LCOE tertinggi di antara negara-negara yang disebutkan, mencapai US$0,090/kWh. Sementara itu, Filipina dan Jepang berada di tengah dengan US$0,081/kWh dan US$0,065/kWh, masing-masing. Selandia Baru juga berhasil mencapai LCOE rendah sebesar US$0,042/kWh, didukung oleh faktor kapasitas yang tinggi (91%) dan total biaya pemasangan (TIC) yang relatif rendah yaitu US$2.987/kW. 

“Salah satu faktor kunci yang memengaruhi LCOE adalah total biaya pemasangan (TIC),” tulis laporan tersebut.  

Indonesia mengalami kenaikan TIC yang tajam, bahkan mencapai lebih dari US$6.000/kW pada 2024. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Turki yang TIC-nya turun drastis dari US$4.076/kW pada 2022 menjadi hanya US$1.217/kW pada 2024. 

Meski biaya investasi panas bumi di Indonesia tergolong mahal, merujuk Statistik PLN, rata-rata biaya pembangkitan listrik panas bumi tetap lebih rendah dibandingkan rata-rata biaya pembangkitan listrik nasional. 

Rata-rata biaya pembangkitan listrik panas bumi dalam kurun 10 tahun terakhir Rp 1.108/kWh, lebih rendah dibandingkan rata-rata biaya pembangkitan listrik nasional pada periode yang sama yang dilaporkan sebesar Rp 1.563/kWh.

Potensi Besar, Pengembangan Lambat

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan meskipun telah memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian dan pasokan energi nasional, perkembangan industri panas bumi di Indonesia dapat dikatakan relatif lambat. 

Setelah diusahakan secara komersial sejak 42 tahun yang lalu, kapasitas terpasang listrik panas bumi saat ini baru sebesar 2.638 MW atau rata-rata 62,82 MW per tahun. 

“Jumlah badan usaha yang terlibat dalam pengembangan dan pengusahaan industri panas bumi juga relatif terbatas yaitu baru sekitar 8 badan usaha,” ujarnya. 

Komaidi menjelaskan, data menunjukkan dalam 10 tahun terakhir terdapat percepatan dalam penambahan kapasitas terpasang listrik panas bumi yaitu meningkat dari sebesar 1.347 MW pada 2015 menjadi 2.638 pada 2024. 

Selama kurun waktu tersebut, rata-rata penambahan kapasitas terpasang listrik panas bumi adalah 129 MW per tahun. Jika target RUPTL 2025-2034 dapat direalisasikan, lanjut Komaidi, dalam 10 tahun ke depan berpotensi terdapat percepatan yang lebih tinggi dalam penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi. 

Dengan begitu, dalam kurun 2025-2034 kapasitas terpasang listrik panas bumi ditargetkan bertambah sebesar 5.157 MW atau 515 MW per tahun.

Dia menambahkan lambatnya pengembangan pembangkit listrik panas bumi di Indonesia salah satunya kemungkinan terkait dengan struktur investasi atau struktur biaya produksi listrik panas bumi. 

“Komponen biaya terbesar dalam produksi listrik panas bumi adalah investasi awal. Sementara komponen biaya terbesar dalam produksi listrik berbasis fosil adalah biaya energi primer atau bahan bakar,” pungkas Komaidi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro