Bisnis.com, JAKARTA – Pertemuan akbar untuk menyusun instrumen internasional yang mengikat secara hukum terkait polusi plastik, termasuk di lingkungan laut bagian kedua dari sesi kelima (INC-5.2), dibuka di Jenewa, Selasa (5/8/2025).
Sesi ini bertujuan untuk merampungkan dan menyetujui teks perjanjian dan meneruskannya untuk dipertimbangkan dan diadopsi dalam Konferensi Diplomatik Tingkat Menteri di masa mendatang.
Pertemuan INC-5.2 berlangsung dari 5 hingga 14 Agustus, menyusul INC-5 yang sebelumnya dilaksanakan pada November/Desember 2024 di Busan, Republik Korea.
Pertemuan tersebut didahului oleh empat sesi sebelumnya: INC-1 di Punta del Este pada November 2022, INC-2 di Paris pada Juni 2023, INC-3 di Nairobi pada November 2023, dan INC-4 di Ottawa pada April 2024.
Direktur Eksekutif UNEP Inger Andersen mengatakan polusi plastik sudah meresap ke alam, ke lautan kita, bahkan ke tubuh kita. Jika kita terus berada di jalur ini, seluruh dunia akan tenggelam dalam polusi plastik dengan konsekuensi besar bagi kesehatan planet, ekonomi, dan manusia kita.
“Namun, ini bukanlah masa depan yang tak terhindarkan. Bersama-sama, kita bisa menyelesaikan tantangan ini. Menyepakati teks perjanjian adalah langkah pertama untuk mengatasi polusi plastik bagi semua orang, di mana pun,” ujarnya dalam keterangan resmi di laman UNEP, dikutip Kamis (7/8/2025).
Baca Juga
Sejak pertemuan di Busan, menjelang INC-5.2, telah diadakan serangkaian pertemuan informal tingkat menteri, konsultasi regional, dan pertemuan Kepala Delegasi. Pada hari pembukaan, lebih dari 3.700 peserta telah mendaftar untuk mengikuti INC-5.2, mewakili 184 negara dan lebih dari 619 organisasi pengamat.
Menurut data UNEP 2021, produksi plastik global telah mencapai angka yang sangat tinggi, yaitu 400 juta ton per tahun. Namun upaya pengelolaannya belum maksimal, tercatat 12% yang dibakar, dan hanya 9% yang didaur ulang, sehingga menyisakan sejumlah besar sampah plastik yang mencemari lingkungan, termasuk lautan dan sungai.
Dorongan Uni Eropa
Uni Eropa menjadi kawasan yang mendorong Perjanjian Plastik Global (INC-5.2) di Jenewa, Swiss, mencapai kesepakatan yang komprehensif dan efektif untuk mengatasi isu polusi plastik yang mendesak.
Merujuk statistik produksi plastik global tersebut, Uni Eropa mengadvokasi sebuah perjanjian yang membahas seluruh siklus hidup plastik. Mereka mendorong hadirnya kesepakatan dari produksi hingga pembuangan, dan mencakup langkah-langkah untuk menghapuskan produk plastik tertentu yang menimbulkan risiko signifikan bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Uni Eropa juga akan terus mengadvokasi ketentuan yang efektif tentang pengelolaan sampah plastik yang ramah lingkungan.
Komisioner Lingkungan Hidup, Ketahanan Air, dan Ekonomi Sirkular yang Kompetitif, Jessika Roswall, akan menghadiri Segmen Tingkat Menteri negosiasi pada 12 Agustus, mengatakan jika bisnis seperti biasa berlanjut, maka produksi plastik akan meningkat tiga kali lipat pada 2060.
”Uni Eropa tetap berkomitmen penuh untuk menemukan solusi global guna mengurangi polusi plastik dan kami berharap semua pihak bersikap fleksibel dan terbuka dalam negosiasi ini. Kita perlu menyepakati kebijakan global yang efektif yang bermanfaat bagi manusia dan planet ini,” katanya, dikutip dari laman European Commission, Kamis (7/8/2025).
Senada, Direktur Kantor Federal Lingkungan Hidup Swiss, Katrin Schneeberger mengatakan limbah plastik mencekik danau dan sungai, membahayakan satwa liar, serta mengancam kesehatan manusia.
”Ini lebih dari sekadar isu lingkungan — ini adalah tantangan global yang menuntut tindakan mendesak dan kolektif,” katanya.
Sikap AS
Berbeda dengan Uni Eropa, Amerika Serikat telah mengirimkan surat kepada setidaknya beberapa negara yang mendesak mereka untuk menolak tujuan pakta global yang mencakup pembatasan produksi plastik dan bahan tambahan kimia plastik pada awal perundingan perjanjian plastik PBB di Jenewa.
Dilansir Reuters, dalam komunikasi tertanggal 25 Juli dan diedarkan kepada negara-negara pada awal negosiasi pada hari Senin (4/8/2025), AS menetapkan garis merahnya untuk negosiasi yang menempatkannya dalam posisi yang berseberangan langsung dengan lebih dari 100 negara yang telah mendukung penanganan polusi plastik.
Harapan akan perjanjian global ambisius kesempatan terakhir yang menangani siklus hidup penuh polusi plastik mulai dari produksi polimer hingga pembuangan limbah, telah meredup seiring para delegasi berkumpul untuk apa yang seharusnya menjadi putaran negosiasi terakhir.
Perpecahan yang signifikan masih terjadi antara negara-negara penghasil minyak yang menentang pembatasan produksi plastik murni berbahan bakar minyak bumi, batu bara, dan gas dan pihak-pihak seperti Uni Eropa dan negara-negara kepulauan kecil yang mengadvokasi pembatasan, dan pengelolaan produk plastik serta bahan kimia berbahaya yang lebih kuat.
Delegasi AS, yang dipimpin oleh pejabat karier Departemen Luar Negeri yang pernah mewakili pemerintahan Biden, mengirimkan memo kepada negara-negara yang memaparkan posisinya dan menyatakan bahwa mereka tidak akan menyetujui perjanjian yang menangani polusi plastik dari hulu.
"Kami tidak akan mendukung pendekatan global yang tidak praktis seperti target produksi plastik atau larangan dan pembatasan bahan tambahan plastik atau produk plastik yang akan meningkatkan biaya semua produk plastik yang digunakan dalam kehidupan kita sehari-hari," demikian bunyi memo.
AS mengakui dalam memo tersebut setelah menghadiri pertemuan pendahuluan para kepala delegasi di Nairobi dari 30 Juni hingga 2 Juli 2025.
"Kami jelas tidak melihat adanya konvergensi pada ketentuan terkait pasokan plastik, produksi plastik, bahan tambahan plastik, atau larangan dan pembatasan global terhadap produk dan bahan kimia, yang juga dikenal sebagai daftar global," katanya.