Bisnis.com, JAKARTA — Aksi perubahan iklim di Indonesia hingga tahun 2030 membutuhkan dana sebesar Rp4.000 triliun.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono mengatakan terdapat kesenjangan yang besar antara dana yang dibutuhkan untuk aksi perubahan iklim dan dana yang tersedia.
"Kita selalu dorong karena memang pendanaannya kita butuh Rp4.000 triliun untuk pendanaan iklim sampai 2030. Ada gap yang besar antara dana yang dibutuhkan untuk aksi perubahan iklim dengan dana yang tersedia," ujarnya dilansir Antara, Jumat (8/8/2025).
Menurutnya, pembiayaan aksi iklim tidak bisa hanya mengandalkan alokasi dari APBN yang terbatas. Oleh karena itu, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) bertugas mencari pendanaan dari luar APBN.
"Kita ada BPDLH yang salah satu tugasnya yaitu untuk mencari pendanaan dari internasional donor dari CSR dan filantrofi," katanya.
Salah satu sumber dana adalah dari Green Climate Fund (GCF) yang mengucurkan dana sebesar US$103,78 juta untuk membiayai penangananan aksi perubahan iklim di 38 Provinsi di Indonesia. Pembiayaan dilaksanakan dalam tiga gelombang yakni pertama dikucurkan sebesar Rp251 miliar untuk aksi iklim di 9 provinsi, gelombang kedua disalurkan Rp256 miliar untuk 15 provinsi, dan gelombang ketiga untuk aksi iklim di 14 provinsi. Setiap provinsi mendapatkan dana bervariasi mulai dari US$250.000 hingga US$5 juta. Dana pembiayaan tersebut digunakan untuk aksi iklim di tingkat nasional maupun daerah.
Baca Juga
"Kali ini adalah batch kedua. Batch kedua ini ada 15 provinsi, jumlahnya sekitar Rp256 miliar untuk membantu daerah melaksanakan aksi iklim. Pembiayaan yang terbesar di beberapa provinsi di Kalimantan itu ada yang mendapat sekitar US$4 juta atau US$ 5 juta. Yang terbesar di Kalimantan Tengah," ucap Diaz.
Sementara itu, Ketua Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto menuturkan pihaknya telah menyalurkan dana perlindungan hutan mencapai US$31,1 juta atau setara Rp507 miliar kepada 24 provinsi di berbagai wilayah Indonesia. Indonesia telah mendapatkan dana hasil Result Based Payment (RBP) berkat kinerja pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) dari Green Climate Fund (GCF) untuk periode 2014-2016 sebesar US$103,8 juta yang dikelola oleh BPDLH.
"Kalau dulu ketika kita bicara REDD+ itu enggak ada duitnya, hanya diskusi. Sekarang ternyata sudah mulai membuahkan hasil. Jadi, kalau nanti kita bicara REDD+ itu ternyata ada duitnya. Ayo kita jaga hutannya, karena dengan jaga hutan ada dana," tuturnya.
Adapun pada tahap pertama, BPDLH telah menyalurkan dana sekitar Rp251 miliar kepada sembilan provinsi pada Februari 2025 dan tahap kedua telah disalurkan sekitar Rp261 miliar untuk 15 provinsi yang penandatanganan dilakukan pada Kamis (07/8/2025). Adapun, sisanya sekitar 20,8 juta dolar AS atau setara Rp338,8 miliar rencananya akan disalurkan kepada 14 provinsi pada 2026.
"Total dana perlindungan hutan yang akan disalurkan oleh BPDLH mencapai sekitar Rp850 miliar kepada sebanyak 38 provinsi di Indonesia. Di periode satu sebanyak sembilan provinsi sudah mendapatkan alokasi sekitar Rp250 miliar, kemudian hari ini ada 15 provinsi lagi itu total alokasi sekitar Rp261 miliar," terangnya.
Dana ini akan digunakan untuk mendanai berbagai program perlindungan dan pengelolaan hutan berkelanjutan di tingkat daerah dimana daerah yang mampu menjaga hutan saat ini memiliki posisi strategis dalam peta ekonomi hijau global.
"Dalam waktu dekat kita harus dorong terus supaya dana sisanya ini tersalurkan ke 14 provinsi. Dan 14 provinsi ini tadi saya katakan, sembilan sudah mengajukan funding proposal," ujar Joko.
Adapun mekanisme penyaluran RBP REDD+ dilakukan melalui Lembaga Perantara (Lemtara) atau NG karena alokasi dana dari pemerintah pusat datang setelah pembahasan APBD di daerah selesai.
Dengan menggunakan NGO sebagai pelaksana, program tetap bisa berjalan di lapangan tanpa terganjal regulasi fiskal yang mana pemerintah provinsi cukup menyusun rencana aksi dan memilih Lemtara yang telah terdaftar sebagai mitra BPDLH. Saat ini, terdapat sekitar 10 Lemtara yang telah siap untuk bekerja di berbagai wilayah Indonesia
"Ini memang harapannya ke depannya bisa menjadi model bisnis. Jadi, dana ini itu menjadi rangsangan, meng-katalitik maksudnya investasi-investasi yang lain. Nah, dari situ kemudian kita bisa menyampaikan bahwa menjaga hutan itu bukan cost center, bukan biaya. Tapi justru sumber pertumbuhan baru," katanya.
Dia berharap dana pembiayaan dari GCF bisa menjadi jembatan bagi pemerintah daerah untuk mendorong masuknya investasi guna pembiayaan aksi iklim berikutnya.
"Dana GCF Output 2 tentu diharapkan dapat menjadi katalis atau jembatan bagi pemerintah daerah untuk mendorong masuknya investasi berikutnya, untuk mengakses RBP mendukung pelaporan dari GRK (gas rumah kaca), dan sekaligus untuk mendukung pencapaian dari Nationally Determined Contribution (NDC) 2030," ucap Joko.