Bisnis.com, JAKARTA — Laporan terbaru lembaga think tank Ember menunjukkan bahwa kapasitas energi terbarukan global masih jauh dari target yang dipatok negara-negara untuk 2030.
Dalam target yang disepakati dalam konferensi iklim COP28 di Dubai pada 2023, kapasitas energi terbarukan ditargetkan naik tiga kali lipat menjadi 11 terawatt (TW) pada 2030. Namun, kalkulasi Ember memperlihatkan bahwa realisasi kapasitas pada tahun tersebut hanya akan mencapai 7,4 TW.
“Terdapat ketidaksesuaian antara kesepakatan tingkat tinggi yang dicapai di COP dengan realitas perencanaan ketenagalistrikan saat ini. Target nasional setiap negara memberi sinyal ke pasar, tetapi saya kira hal itu tak lagi terlihat,” kata analis kelistrikan global di Ember, Katye Altieri, dikutip dari Bloomberg, Kamis (31/7/2025).
Analisis Ember turut menyoroti sejumlah isu yang kini dihadapi perundingan iklim, termasuk isu yang akan mengemuka dalam COP30 yang digelar November ini di Belem, Brasil. Negara-negara dinilai hanya kompeten membahas isu iklim di tingkat perundingan, tetapi tidak cukup cakap untuk merealisasikan komitmen yang telah disepakati.
Sejak janji untuk transisi energi diteken di Dubai pada 2023, terdapat sinyal bahwa energi fosil mulai ditinggalkan. Peningkatan kapasitas energi terbarukan umumnya akan mengimbangi ketidakseimbangan pasokan dan permintaan. Seiring dengan bertambahnya kapasitas energi hijau bertenaga surya dan angin, ekstraksi minyak, gas dan batu bara seharusnya berkurang.
Meski demikian, riset Ember memperlihatkan bahwa hanya ada 22 negara yang merevisi target energi terbarukan mereka setelah COP28, mayoritas adalah negara anggota Uni Eropa. Hal ini sejalan dengan target Blok tersebut untuk memangkas 55% emisi karbon pada 2030 dibandingkan dengan level 1990.
Baca Juga
Sementara itu, negara anggota G20 seperti China dan Afrika Selatan diperkirakan bakal merilis target iklim yang lebih ambisius tahun ini dalam Second Nationally Determined Contribution (NDC). Namun, Ember memperkirakan anggota lain seperti Kanada, Rusia dan Turki belum akan merilis target iklim ini hingga pelaksanaan COP30 di Belem.
Adapun Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump diperkirakan tidak akan merilis target energi terbarukan anyar untuk 2030. Sebagaimana diketahui, Trump telah mencabut sejumlah insentif pajak dan subsidi yang menyasar kendaraan listrik dan pengembangan infrastruktur listrik bertenaga surya dan angin.
“China bisa membawa perubahan yang signifikan dalam target energi terbarukan. Namun itu pun tidak akan cukup untuk menambal kurangnya komitmen di negara lain,” tambah Altieri.
Menurut Altieri, transisi energi bersih dalam skala besar sebenarnya tidak membutuhkan upaya luar biasa, tetapi diperlukan target yang jelas untuk mendorong negara-negara memperhitungkan kebutuhan pembangunan infrastruktur energi terbarukan, termasuk jaringan listrik dan penyimpanan energi.
“Ini bukan hanya soal menetapkan target demi sekadar punya target. Secara ekonomi, transisi energi sudah masuk akal untuk setiap negara di dunia,” katanya.