Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Berjibaku Menjaga Ekosistem Mangrove dan Ketahanan Kawasan Pesisir

Proyek Mangroves for Coastal Resilience (M4CR) Indonesia, didukung Bank Dunia, bertujuan merehabilitasi 41.000 hektar mangrove hingga 2027, melibatkan masyarakat pesisir.
Mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali/Youtube Kominfo.
Mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali/Youtube Kominfo.

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Bank Dunia menginisiasi proyek Mangroves for Coastal Resilience (M4CR) yang memiliki target rehabilitasi mangrove sebesar 41.000 hektar dengan penanaman lebih dari 80 juta batang.

Proyek M4CR dijalankan sejak 2022 hingga 2027 dengan pendanaan dari Bank Dunia senilai US$171 juta atau sekitar Rp2,7 triliun. Dana tersebut digunakan untuk rehabilitasi ekosistem dan pemberdayaan masyarakat pesisir.

Wakil Menteri Kehutanan (Wamenhut) Sulaiman Umar Siddiq mengatakan Indonesia merupakan negara dengan ekosistem mangrove terbesar di dunia lebih dari 3,4 juta hektare mangrove terbentang dari Aceh hingga Papua atau sekitar 23% dari total luasan mangrove dunia. Oleh karena itu, perlu memperkuat aksi bersama atau konsolidasi nasional dalam merehabilitasi ekosistem mangrove secara berkelanjutan serta menguatkan transisi menuju gaya hidup rendah emisi. 

"Ini menjadi komitmen bersama agar rehabilitasi mangrove berjalan secara berkelanjutan dengan pemulihan ekosistem secara menyeluruh. Ini  menguatkan peran masyarakat pesisir dalam rehabilitasi mangrove dan menguatkan potensi ekonomi mangrove secara lestari," ujarnya dalam keterangan, Kamis (31/7/2025). 

Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) Kementerian Kehutanan Dyah Murtiningsih menuturkan pendekatan berbasis masyarakat menjadi fondasi utama program M4CR.

"Ini program lintas kementerian dan lintas sektor. Selain Kementerian Kehutanan, juga melibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup, Bappenas, Kementerian Keuangan, dan tentu saja pemerintah daerah," katanya. 

Dia menilai pelibatan masyarakat menjadi kunci utama dalam menyukseskan rehabilitasi mangrove di Tanah Air. Masyarakat menjadi bagian sangat penting dari siklus atau hubungan timbal balik antara keberadaan kawasan hutan dan masyarakat itu sendiri sehingga pada saat kita melakukan kegiatan rehabilitasi itu harus berbasis kepada masyarakat. 

"Pelibatan masyarakat itu dalam program M4CR. Pendekatan berbasis masyarakat diutamakan dalam M4CR agar upaya konservasi tidak hanya berhenti di penanaman, tetapi juga berlanjut dalam perawatan dan pemanfaatan berkelanjutan," ucapnya. 

Adapun Mangrofest 2025 pun merupakan bagian dari inisiatif M4CR, sebuah program rehabilitasi mangrove berskala nasional. Program itu bertujuan membangun ketahanan wilayah pesisir melalui restorasi mangrove, pemberdayaan masyarakat, dan kolaborasi lintas sektor.

Pelaksanaan rehabilitasi mangrove M4CR berlangsung di empat provinsi prioritas, yaitu Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan utara dengan target luasan 41.000 hektare hingga tahun 2027.

Selain memiliki peran ekologis penting sebagai penyerap karbon hingga lima kali lipat dibandingkan dengan hutan daratan, mangrove juga menjadi penopang ekonomi masyarakat pesisir. Ekosistem itu dapat menyediakan habitat bagi ikan, kepiting, dan udang, serta menghasilkan produk hutan bukan kayu, seperti sirup, sabun, batik, dan pewarna alami.

"Kalau masyarakat dilibatkan dari awal, mereka akan menjaga dan memanfaatkan mangrove secara berkelanjutan, bukan merusak. Itu yang membedakan rehabilitasi biasa dengan rehabilitasi yang hidup," tuturnya. 

REGULASI TURUNAN EKOSISTEM MANGROVE

Sementara itu, Wakil Menteri Lingkungan Diaz Hendropriyono menuturkan pihaknya tengah menyusun 13 peraturan turunan untuk memperkuat implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PP tersebut hadir setelah 16 tahun kekosongan regulasi yang memayungi perlindungan kawasan mangrove secara nasional. PP ini dinilai menjadi dasar yang komprehensif penyusunan Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove tingkat nasional maupun daerah.

"PP ini seperti ayah yang baru hadir setelah anak-anaknya lahir lebih dulu, karena beberapa daerah seperti Tarakan telah lebih dahulu memiliki Perda mangrove sejak 2002," ujarnya. 

Dia mendorong wilayah yang memiliki potensi ekosistem mangrove besar, seperti Papua, Kalimantan, Sumatera, dan Maluku segera menyelaraskan peraturan daerah masing-masing dengan beleid yang telah terbit. Kementerian Lingkungan Hidup meminta dukungan dari kementerian terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Kehutanan untuk menyelaraskan kebijakan sektoral dengan arah pengelolaan mangrove yang ditetapkan.

"PP ini sejalan dengan rencana revisi dokumen tata ruang nasional dan kehutanan, yang akan dilakukan pada 2026, karena itu momentum harmonisasi lintas sektor harus dimanfaatkan secara optimal. Ke depan, semua pembangunan pesisir dan kelautan harus mengacu pada ekosistem mangrove sebagai pelindung alami dan pendukung keseimbangan lingkungan," katanya. 

Berdasarkan Peta Mangrove Nasional 2024, saat ini Indonesia memiliki 3.440.464 hektare luas hutan mangrove ekosistem dengan beragam tingkatan tutupan dan potensi habitat mangrove seluas 769.824 hektare. Ekosistem terluas berada di Papua dengan 1,5 juta hektare, disusul Kalimantan dengan 720.000 hektare, Sumatra 673.000 hektare, Sulawesi dan Maluku 375.000 hektare, dan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yang memiliki luas mangrove 100.000 hektare.

Deputi Bidang Koordinasi Keterjangkauan dan Keamanan Pangan Kementerian Koordinator Bidang Pangan Nani Hendiarti menuturkan PP Nomor 27/2025 harus ditaati seluruh kepala daerah dan pelaku usaha sebagai panduan strategis menyelaraskan program ketahanan pangan nasional dan konservasi pesisir.

Menurutnya, dengan regulasi tersebut setidaknya pemerintah menegaskan bahwa pelestarian ekosistem mangrove bukan hanya sebagai pagar pantai tetapi juga berfungsi untuk biodiversitas, habitat pesisir, dan mendukung perikanan tangkap.

"Kami memandang positif penerbitan PP 26 dan 27 tentang perencanaan lingkungan dan mangrove tersebut oleh Kementerian Lingkungan Hidup yang merupakan bagian dari regulasi turunan Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Banyak kawasan tambak di Indonesia yang justru mengancam keberadaan hutan mangrove, seperti di pesisir Jawa dan Sulawesi. Padahal, kawasan tersebut merupakan habitat penting untuk berbagai spesies ikan dan udang," ucapnya. 

Dia menegaskan kolaborasi lintas kementerian-lembaga, pelaku usaha, dan masyarakat pesisir dinilai krusial dalam membangun sistem pangan nasional yang tangguh terhadap perubahan iklim. Selain aspek ekologi dan ekonomi, katanya, pendekatan pengelolaan mangrove yang baru juga mempertimbangkan dimensi sosial yang di dalamnya termasuk keterlibatan masyarakat lokal nelayan dan pembudidaya.

"Mereka menjadi bagian penting dari strategi perlindungan kawasan pesisir. Pembangunan pesisir ke depan harus berbasis integrasi dan konservasi. Itu satu-satunya jalan jika kita ingin menjaga produktivitas laut tanpa mengorbankan lingkungan," tutur Nani. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro