Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Ahli Emisi Karbon Indonesia (ACEXI) mencatat baru segelintir emiten bursa Tanah Air yang secara sadar melakukan audit pemenuhan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Sisanya, masih membuat laporan keberlanjutan sekenanya, bahkan cenderung sembrono.
Wakil Sekretaris Jenderal ACEXI Giordano Rizky Indra Kusuma menjelaskan dari total 955 perusahaan terbuka di Indonesia, baru sekitar 60 emiten di antaranya yang telah benar-benar melakukan audit ESG, atau secara perhitungan kasar artinya baru sekitar 7% dari total.
"Sebenarnya wajar karena memang belum wajib. Emiten yang secara sadar mau audit ESG, biasanya didorong kebutuhan klien atau mitra bisnisnya di luar negeri yang sudah ketat soal bukti-bukti realisasi ESG, atau ada kebutuhan terkait investasi tertentu," ungkapnya kepada Bisnis, dikutip Sabtu (12/7/2025).
Menurut Gio, seiring semakin membaiknya kesadaran akan prinsip-prinsip ESG secara global, tekanan atas audit ESG pun semakin kuat. Terlebih, mayoritas pelaku usaha ekspor di Indonesia memasok hasil sumber daya alam (SDA) atau barang setengah jadi.
Alhasil, audit ESG setidaknya menjadi salah satu jaminan bahwa barang-barang tersebut tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari, seperti mencederai reputasi, apalagi sampai diboikot konsumen.
Gio mengungkap sudah ada contoh kasus dari sebuah perusahaan asal Indonesia yang memasok suku cadang ke salah satu raksasa otomotif Korea Selatan (Korsel), tapi kini telah di-cancel para penggemar K-Pop karena dianggap terlibat dalam kasus perusakan lingkungan.
Baca Juga
"Perusahaan di luar itu sudah tidak ingin ambil risiko, misalnya ternyata rantai pasoknya terkait hasil merusak lingkungan, atau melanggar hukum, atau memakai tenaga kerja di bawah umur, dan lain sebagainya," tambahnya.
Selain itu, audit ESG juga mampu menyelamatkan emiten dari jebakan membuat laporan keberlanjutan yang cenderung sembrono.
Contohnya, ACEXI mencatat masih banyak emiten yang sekadar melakukan aksi tanam pohon dan memasukkan hasil pemberian dana tanggung jawab sosial lingkungan (CSR), sebagai kompensasi pengurangan emisinya buat menuju net-zero.
Paling parah, ada juga yang memasukkan konsekuensi wajib dalam bisnisnya sebagai kompensasi pengurang emisi. Misalnya, seperti aksi reboisasi kembali bagi perusahaan tambang.
"Masih banyak laporan keberlanjutan emiten yang melenceng dari standar. Misal, kalau kegiatan yang sudah kewajiban, seperti CSR dan reboisasi, jangan diklaim pengurang emisi, dong. Tidak boleh itu. Kalau cuma dihitung, kemudian dalam laporannya ditampilkan secara terpisah, itu baru boleh," ujar Gio.
Oleh karena itu, ACEXI berharap lebih banyak emiten yang sadar dan terus mempersiapkan diri menjadi lebih baik lewat audit ESG, sekaligus menegaskan komitmen menerapkan keberlanjutan secara optimal dan sesuai dengan standar.