Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menyiapkan aturan untuk penguatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati Indonesia secara berkelanjutan di tengah ancaman terhadap kekayaan alam di tanah air.
Menteri Lingkungan Hidup (LH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq mengatakan terdapat keterkaitan erat dan manfaat ganda ekonomi dalam menjaga keanekaragaman hayati Indonesia tidak hanya dari nilai ekonomi karbon tetapi juga dari jasa lingkungan.
Pasalnya, tanpa keanekaragaman hayati yang terjaga maka kekayaan karbon Indonesia juga tidak akan ada. Menurutnya, Indonesia masih sibuk mengembangkan pasar karbon namun melupakan potensi ekonomi dari biodiversity credit.
"Keanekaragaman hayati merupakan aset dalam pembangunan negara, termasuk nilai sebagai sumber daya genetik. Selain itu, juga terdapat manfaat ganda, dual benefit, di dalam keterkaitan erat antara keanekaragaman hayati dan karbon di mana potensi yang kita kenal dengan nonkarbon benefit dapat berubah jasa ekosistem dan keberlanjutannya," ujarnya dalam keterangan, Rabu (20/8/2025).
Hal itu mengingat Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua setelah Brasil karena keberagaman ekosistem yang menjadi rumah bagi ribuan fauna dan puluhan ribu flora. Banyak di antaranya adalah endemik atau hanya bisa ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, pentingnya upaya konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan tidak hanya fokus dalam kegiatan ekstraktif yang dapat merusak lingkungan dan pada akhirnya menghilangkan kekayaan keanekaragaman hayati.
"Kita ini negara terbesar nomor dua di dunia mega biodiversity yang tidak pernah kita sentuh. Kita masih asyik dengan kegiatan-kegiatan ekstraksi sumber daya alam yang tentu tidak berkelanjutan. Sejumlah negara Eropa yang berhasil mempertahankan biodiversitas sambil mendorong pertumbuhan ekonomi," katanya.
Baca Juga
Pihaknya tak menampik pentingnya langkah serius dalam melindungi keanekaragaman hayati Indonesia. Pasalnya, aturan mengenai perlindungan biodiversitas masih minim. Bahkan, hingga kini Indonesia belum memiliki undang-undang yang relevan untuk meratifikasi 4-5 protokol internasional terkait biodiversitas.
Adapun Indonesia telah mengeluarkan empat dokumen penting baru antara lain status dan kondisi terbaru kekayaan alam Nusantara dan Indonesia. Selain itu, dokumen Biodiversity Strategies and Action Plan, yang merupakan suatu framework upaya penanganan keanekaragaman hayati mulai tahun 2025 sampai 2045 yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan BRIN. Penyusunan itu dilakukan berdasarkan dokumen Status Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia 2024 serta dokumen yang terinci secara tujuh ekoregion.
Indonesia sebagai negara megabiodiversity karena posisinya yang unik di antara Samudra Hindia dan Pasifik serta diapit dua benua, Asia dan Australia. Letak geografis itu membuat bentang alam Indonesia terbagi ke dalam tujuh bioregion dengan karakter keanekaragaman hayati yang berbeda. Indonesia memiliki 22 tipe ekosistem alami yang tersebar dari laut dalam, laut dangkal, hingga pegunungan alpen. Selain itu, teridentifikasi 74 tipe vegetasi yang selanjutnya terbagi ke dalam 98 kombinasi vegetasi.
Selain itu, kondisi ekosistem laut Indonesia mencakup empat tipe yakni terumbu karang, padang lamun, mintakat neritik, dan mintakat oseania. Sebagian ekosistem laut terpantau dalam kondisi sedang mencerminkan adanya tekanan ekologis. Salah satunya, padang lamun yang tutupannya menurun dalam 5 tahun terakhir, sedangkan kondisi kesehatan terumbu karang relatif stabil dalam satu dekade terakhir.
Dengan terbitnya dokumen tersebut, pemerintah kini sedang menyiapkan aturan penguatan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan kekayaan alam Indonesia tersebut. Aturan itu juga akan didasarkan dari buku pedoman Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2025-2045.
"Dokumen IBSAP ini merupakan tonggak penting meski kedatangannya terlambat setelah puluhan tahun sejak mandat ratifikasi berbagai protokol internasional. Instrumen hukum disiapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), hingga Peraturan Menteri," kata Hanif.
Adapun IBSAP 2025–2045 menjadi rujukan utama untuk memperkuat tata kelola biodiversitas nasional, daerah, dan global melalui penguatan instrumen, diplomasi lingkungan, koordinasi lintas sektor, peningkatan kapasitas, dan kerja sama. Instrumen yang sudah tersedia antara lain indeks pengelolaan keanekaragaman hayati, mekanisme pembagian keuntungan dari pemanfaatan sumber daya genetik, serta perlindungan kawasan bernilai penting.
Pemerintah telah menetapkan berbagai landasan hukum untuk memperkuat perlindungan biodiversitas, termasuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) dan Protokol Nagoya.
Selain itu, Indonesia telah memiliki aturan UU No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Beleid tersebut sudah memandatkan pengelolaan tujuh ekosistem esensial, termasuk gambut, mangrove, karst, ekosistem danau, padang lamun, serta terumbu karang. Namun hingga kini, baru ekosistem gambut dan mangrove yang memiliki peraturan pemerintah (PP) khusus.
"Masih ada utang 5 PP dari tujuh ekosistem esensial yang dimintakan undang-undang untuk membangunnya. Instrumen perlindungan baru mulai terlihat setelah Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPH). Biodiversitas seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi Indonesia," ucapnya.
Instrumen hukum itu diperlukan mengingat kekayaan alam Indonesia yang berstatus sebagai negara megabiodiversity sekarang sedang terancam. Industri ekstraktif dan kerusakan lingkungan mengancam flora dan fauna endemik asli Indonesia yang beberapa di antara dalam status terancam punah.
Sejalan dengan IBSAP 2025–2045, strategi pengelolaan diarahkan berbasis sains dan tata kelola transparan, restorasi ekosistem kritis, penguatan kawasan konservasi darat dan laut, pemberdayaan masyarakat adat dan lokal, pengembangan ekonomi hijau dan pembiayaan berkelanjutan, serta penguatan diplomasi lingkungan agar Indonesia dapat memimpin agenda global terkait biodiversitas.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan megabiodiversitas terbesar di dunia namun menghadapi tekanan serius. Data KLH menunjukkan lebih dari 60%
dari 133 mamalia endemik berada dalam status terancam punah, sekitar 31% spesies tumbuhan endemik berisiko tinggi, dan sekitar 50% ekosistem gambut telah mengalami degradasi. Spesies invasif seperti ikan sapu-sapu dan eceng gondok terus mengancam keanekaragaman hayati lokal, sementara perubahan iklim mendorong meningkatnya kebakaran hutan dan kekeringan yang berimplikasi pada hilangnya habitat satwa liar.
Dia mencontohkan pesut mahakam (Orcaella brevirostris) yang statusnya kini masuk dalam genting terancam punah. Kerusakan ekosistem dan aktivitas manusia membuat mamalia air itu kini tidak bisa lagi dijumpai di jalur utama Sungai Mahakam, hanya bisa ditemui di anak sungai dengan jumlah populasi yang diperkirakan hanya tersisa sekitar 80 ekor.
"Sekali lagi, biodiversity tidak hanya kemudian menjadi milik Indonesia. Biodiversity telah menjadi milik global yang harus bersama-sama kita lakukan penanganannya dengan baik dan benar. Bagaimana biodiversity yang ada ini kemudian harus kita jadikan sebagai salah satu, bahkan satu-satunya, tulang punggung kita dalam membangun ekonomi pembangunan kita. Kita belum mainstreamkan itu," tutur Hanif.
Pihaknya berkomitmen dalam menjaga dan memastikan pengelolaan keanekaragaman hayati dilakukan secara berkelanjutan karena biodiversitas sebagai modal pembangunan dan warisan bangsa yang harus dijaga lintas generasi.
Menurutnya, tantangan nyata seperti pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan, pencemaran, spesies asing invasif, hingga dampak perubahan iklim hanya bisa diatasi dengan kerja sama lintas lembaga.
"Strategi pengelolaan yang tangguh hanya bisa terwujud jika ada kolaborasi nyata antar lembaga. Pemerintah pusat, daerah, perguruan tinggi, dunia usaha, hingga komunitas lokal harus bergerak bersama. Tanpa keterpaduan lintas kementerian dan dukungan masyarakat, upaya konservasi tidak akan berhasil,” ujarnya.
Seluruh biodiversitas harus masuk dalam kerangka perlindungan yang jelas. Setiap spesies, ekosistem, dan setiap kawasan bernilai penting harus masuk dalam sistem perlindungan yang jelas.
"Penegakan hukum lingkungan harus nyata dan berkeadilan. Kita tidak boleh mentolerir pelanggaran yang merugikan keanekaragaman hayati. Semua pihak, tanpa kecuali, harus tunduk pada aturan hukum,: kata Hanif.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rachmat Pambudy menuturkan model ekonomi yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya hayati terbarukan atau bioekonomi harus berjalan beriringan dengan upaya konservatif dan pemulihan ekosistem.
"Keberagaman hayati kita menyimpan potensi bioekonomi yang besar mulai dari komoditas laut bernilai ekspor, potensi ekowisata, sampai penerapan kredit biodiversitas. Tapi, syaratnya jelas keberagaman hayati harus dilindungi, perlindungan kawasan konservasi dan pemulihan ekosistem juga harus berjalan," ujarnya.
Menurutnya, jika upaya konservatif dan penerapan bioekonomi bisa berjalan bersama-sama, maka ekonomi berbasis sumber daya alam terbarukan ini diharapkan dapat terus bergerak secara berkelanjutan, dan memberikan dampak signifikan terhadap laju peningkatan ekonomi nasional.
"Dengan begitu, hal ini bisa jadi motor ekonomi sekaligus warisan alam bagi generasi mendatang di Indonesia maupun dunia," ucapnya.
Dia menyoroti pembangunan berbasis data keanekaragaman hayati juga memiliki peran untuk mempercepat target pertumbuhan ekonomi nasional. Upaya untuk menggerakkan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan juga perlu untuk terus didorong demi mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8%.
"Data yang lengkap dan akurat memungkinkan potensi hutan, laut, dan sumber daya genetik untuk diolah menjadi nilai tambah ekonomi melalui bioprospeksi, inovasi bioekonomi, hilirisasi produk industri, serta pemanfaatan jasa ekosistem, hingga penerapan biodiversity credit," tuturnya.
Para pemangku kepentingan terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengambil peran strategi terutama dalam hal kebijakan dan penegakan hukum soal perlindungan sumber daya alam hayati Indonesia. Dengan memiliki peraturan yang lebih ketat, maka bisa menjaga biodiversity Indonesia.
Sementara itu, Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andes Hamuraby Rozak menuturkan riset dan inovasi akan terus diarahkan untuk mendukung konservasi sekaligus pemanfaatan biodiversitas secara berkelanjutan. Hal ini untuk kemajuan ekonomi kita di masa mendatang yang lebih berbasis dari sumber daya alam lokal yang terbarukan dan lebih hijau.
Pihaknya fokus melakukan ekspedisi keanekaragaman hayati terestrial di wilayah Taman Nasional (TN) Betung Kerihun dan Danau Sentarum di Pulau Kalimantan pada 2025 hingga tahun 2027.
"Pada tahun 2025-2027 kami akan fokus pada dua kawasan yang pertama di Taman Nasional Bentung Kerihun dan Danau Sentarum. Kenapa dipilih karena berdasarkan map yang kita lakukan analisis dari tahun 2010-2019 distribusi penemuan spesies baru di kawasan TN Bentarum masih rendah dan kami menduga di sana surganya spesies baru," terangnya.
Ekspedisi itu dilakukan bersama dengan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sebagai pengelola taman nasional serta sejumlah perguruan tinggi. Fokus ekspedisi untuk mencari spesies baru flora dan fauna serta mikro ogranisme. BRIN juga berencana melakukan ekspedisi terestrial di Tambling Wildlife Nature Conservation yang berada di wilayah TN Bukit Barisan yang berada di selatan Sumatera. Sementara untuk 2028-2030, kata dia, ekspedisi rencananya akan dilakukan wilayah TN Aketajawe-Lolobata di Maluku.
"Ekspedisi biodiversitas terestrial ini tidak hanya memiliki misi untuk pengungkapannya saja, tapi bagaimana membuat talenta muda," ujarnya.