Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rusak Kawasan Konservasi, Pemerintah Diminta Kaji Ulang IUP Nikel di Raja Ampat

97% Raja Ampat adalah daerah konservasi sehingga ketika terjadi persoalan pencemaran lingkungan oleh aktivitas tambang,
Kawasan Raja Ampat. /istimewa
Kawasan Raja Ampat. /istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Aktivitas pertambangan nikel PT Gag Nikel di Pulau Gag dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP) di Pulau Manuran Kabupaten Raja Ampat memicu kekhawatiran lingkungan. 

Pasalnya,  Raja Ampat di Papua Barat Daya memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia dengan lebih dari 550 jenis terumbu karang dan 1.400 spesies ikan yang menjadi rumah bagi berbagai kehidupan laut. 

Ketua Auriga Nusantara Timer Manurung mengatakan dampak tambang nikel ini tidak hanya merusak alam tetapi juga berpengaruh negatif terhadap ekonomi lokal.

Menurutnya, aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat akan membuat terjadinya sedimentasi berlebih yang terbawa air hujan ke laut sehingga menyebabkan tertutuonya terumbu karang dan menghalangi sinar matahari. Hal ini akan menghambat proses fotosintesis yang penting bagi kelangsungan hidup karang.

Pencemaran limbah tambang juga mengganggu keseimbangan ekosistem karena memiliki kandungan logam berat dan kimia. 

"Jika terumbu karang mati, maka ikan dan biota laut lainnya yang bergantung pada ekosistem ini akan berkurang drastis. ini akan menyebabkan warga sekitar dalam mencari nafkah sulit," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (3/6/2025). 

Dia meminta pemerintah untuk meninjau kembali dan bahkan mencabut izin tambang di wilayah konservasi Raja Ampat. Pemerintah diminta memperketat aturan terhadap industri pertambangan agar tidak merusak lingkungan. 

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya Julian Kelly Kambu menuturkan terdapat dua perusahaan yang mengelola tambang nikel di Raja Ampat yakni PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining.

Kedua perusahaan ini bergerak di tambang nikel yang telah mengantongi izin berusaha sejak daerah ini masih menjadi satu dengan Provinsi Papua Barat.

Kedua perusahaan tersebut juga telah memenuhi persyaratan mulai dari kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin penggunaan kawasan. Bahkan, proses ini sejak di Papua Barat.

Selain dua tambang nikel yang berizin, terdapat beberapa perusahaan yang beroperasi di Raja Ampat telah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) sebelum Papua Barat Daya itu ada.

Bupati Raja Ampat Orideko Burdam mengeluhkan kewenangan pemberian dan pemberhentian izin tambang nikel dari Jakarta sehingga pemerintah daerah kesulitan memberikan intervensi terhadap tambang yang diduga merusak dan mencemari hutan dan ekosistem yang ada.

"97% Raja Ampat adalah daerah konservasi sehingga ketika terjadi persoalan pencemaran lingkungan oleh aktivitas tambang, kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena kewenangan kami terbatas," ucapnya dilansir Antara. 

Dia berharap pemerintah pusat dapat meninjau kembali pembatasan kewenangan pengelolaan hutan. Selain itu, juga dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal untuk lebih terlibat dalam pengelolaan hutan dan meningkatkan kesejahteraan.

Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Filep Wamafma menuturkan Raja Ampat yang selama ini dikenal sebagai ikon pariwisata dan pusat konservasi tengah mengalami ancaman serius dengan semakin maraknya tambang nikel.

Dalam 5 tahun terakhir, jumlah IUP nikel di Raja Ampat alami kenaikan drastis dengan penambahan wilayah konsesi seluas 494 hektare.

Hal ini menimbulkan penolakan aktivitas tambang di Pulau Batan Pele dan Pulau Manyaifun dari masyarakat adat Suku Betew dan Maya dari 12 kampung di Distrik Waigeo Barat Kepulauan dan Distrik Waigeo Barat Daratan. 

"Konsesi tambang disebut berada wilayah adat dan kawasan hutan lindung sehingga aktivitas bisnis ekstraktif tambang nikel dikhawatirkan akan menggunduli hutan, merusak dan mencemari lingkungan sekitar dan ekosistem laut," katanya dilansir Antara. 

Menurutnya, Raja Ampat merupakan kawasan wisata yang menjadi penggerak ekonomi kerakyatan sehingga perlu dijaga lingkungan dan keanekaragaman hayati.

Adapun terdapat 4 perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Raja Ampat yakni PT Gag Nikel yang merupakan anak perusahaan PT Antam Tbk dengan IUP seluas 13.136 hektare di Pulau Gag yang terdiri 6.060 hektare di darat dan 7.076 hektare di laut.

Kemudian, PT Kawei Sejahtera Mining yang memiliki IUP seluas 5.922 hektare di Pulau Kawei. Lalu, PT Anugerah Surya Pratama yang menguasai IUP seluas 9.365 hektare di Pulau Manuran dan Waigeo. 

Selanjutnya, PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP) yang memiliki IUP seluas 2.194 hektare di Pulau Manyaifun dan Batang Pele.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan pihaknya bakal memanggil pemegang izin tambang nikel di kawasan Raja Ampat untuk melakukan evaluasi aktivitas pertambangan.

Menurutnya, terdapat kearifan-kearifan lokal yang belum disentuh dengan baik dalam pelaksanaan aktivitas pertambangan. Namun, di sisi lain, terdapat aspirasi masyarakat Papua yang menginginkan pembangunan smelter. 

"Saya akan evaluasi, akan ada rapat dengan dirjen saya. Saya akan panggil pemiliknya, mau BUMN atau swasta," tuturnya  

Dia menilai kompleksitas pertambangan di Papua membutuhkan perlakuan khusus karena merupakan daerah otonomi.

"Kami harus menghargai, karena Papua itu kan ada otonomi khusus, jadi perlakuannya juga khusus. Nanti saya pulang akan evaluasi," ujar Bahlil. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper