Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menegaskan bahwa transisi energi hijau bukan hanya tanggung jawab negara berkembang. Negara maju yang juga menghasilkan karbon tinggi mesti ikut beralih ke energi yang lebih bersih.
Wakil Menteri BUMN Aminuddin Ma'ruf mengatakan, keluarnya Amerika Serikat (AS) dari komitmen Perjanjian Paris (Paris Agreement) merupakan tantangan bagi berbagai negara, termasuk Indonesia. Kendati demikian, konsistensi transisi tidak boleh luntur.
"Saya rasa kita juga wajib mempertanyakan komitmen-komitmen negara maju dalam hal bagaimana kita juga agar berkembang, beralih, dan transisi energi," kata Aminuddin dalam Bisnis Indonesia Forum, Rabu (16/7/2025).
Dia pun menyinggung negara-negara maju yang mulai angkat tangan dari upaya peralihan penggunaan energi bersih, sementara negara berkembang masih merancang dan memulai transisi secara konsisten.
Apalagi, Indonesia saat ini juga baru memulai industrialiasi sekaligus melakukan transisi dengan kebutuhan investasi atau pendanaan yang cukup besar.
"Jangan sampai negara berkembang yang dipaksa untuk beralih dari energi fosil menjadi energi terbarukan dalam kepentingan untuk atas nama kepentingan menyelamatkan dunia," tuturnya.
Baca Juga
Menurut pemerintah, di luar komitmen Paris Agreement, aksi transisi energi dari berbagai negara harus terus berlanjut. Hingga saat ini, Aminuddin menyebutkan upaya tersebut dilakukan oleh perusahaan BUMN, termasuk PT Pertamina (Persero).
Beberapa di antaranya melalui program biodiesel atau bahan bakar alternatif dari minyak nabati atau lemak hewani. Saat ini yang terus digenjot lewat B40 yakni campuran 40% biodiesel dengan 60% solar.
Namun, mandatori biodiesel saja tidak cukup untuk menekan alokasi dana subsidi bahan bakar dari negara. Untuk itu, pemerintah juga terus menggodok program penerapan bahan bakar bioetanol, meskipun dia tak memungkiri untuk mengubah bensin menjadi bioetanol memerlukan investasi yang lebih mahal dan sulit.
"Ini perlu rumusan kebijakan yang sangat komprehensif dari pemerintah dan itu challenge untuk kita bagaimana ke depan kita semua berkomitmen untuk bukan hanya untuk kita, tapi untuk anak cucu kita, untuk generasi masa depan kita," jelasnya.
Lebih lanjut, Aminudin juga menyoroti langkah pemerintah untuk mulai melakukan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam waktu 15 tahun ke depan. Proyek-proyek PLTU akan digantikan dengan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT).
"Kalau tidak salah investasi yang untuk menggantikan semua pembangkit listrik yang kita punya yang itu hasil dari energi fosil, entah itu barang, entah itu diesel, entah itu gas dan sebagainya, itu kurang lebih akan membutuhkan investasi kurang lebih Rp400 triliun," tambahnya.