Bisnis.com, JAKARTA — Delegasi Indonesia dalam konferensi iklim PBB COP30 November mendatang diharapkan membawa pulang mekanisme pembiayaan yang dapat diimplementasikan untuk menjawab masalah emisi dan polusi udara di Indonesia.
Hal ini dikemukakan oleh Co-Founder Bicara Udara, Novita Natalia Kusumawardani, dalam Bisnis Indonesia Forum yang digelar Rabu (16/7/2025). Dia mengemukakan keterbatasan dana dan investasi merupakan tantangan utama dalam menekan emisi gas rumah kaca, termasuk dari sektor transportasi dan industri.
Novita memberi contoh soal keterbatasan pembiayaan dari kas negara dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Sejauh ini, struktur APBN belum memadai untuk perbaikan kualitas udara, dan sebaliknya alokasi dalam jumlah besar disalurkan untuk subsidi BBM dan listrik yang masih didominasi energi fosil.
“Sementara untuk APBD, tidak semua daerah memiliki kapasitas sebesar Jakarta,” kata Novita.
Potensi pembiayaan cukup besar sejatinya berpotensi datang dari entitas internasional, baik dari pemerintah asing maupun lembaga nonprofit. Dukungan pembiayaan ini dapat berupa hibah (grants), pembiayaan dalam bentuk obligasi dan pinjaman dengan bunga rendah.
Namun, mekanisme pembiayaan internasional dia sebut cenderung lebih ketat karena adanya ekspektasi transparansi dan good governance dalam pemakaiannya.
Baca Juga
“Hal paling mudah untuk dilakukan adalah dengan melihat dari sisi regulasinya, bagaimana political will-nya juga, bagaimana transparansi dalam suatu perusahaan itu juga bisa membantu menarik investasi [internasional] yang masuk ke dalam,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, mengemukakan aliran pendanaan untuk mendukung dekarbonisasi dan peningkatan kualitas udara akan sangat bergantung pada sinyal kebijakan pemerintah Indonesia. Dia memberi perbandingan soal harga bensin di Brasil yang lebih tinggi karena tidak didukung subsidi sebagaimana diterapkan Indonesia.
“Untuk itu [menarik pembiayaan investor], Indonesia juga harus menunjukkan bahwa kita memang ada keseriusan [untuk menurunkan emisi]. Jangan sampai kita belum tamat dalam hal keseriusan kebijakan,” kata Putra.
Belum lama ini, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan target ambisius mencapai bauran energi terbarukan 100% pada 2035. Putra mengatakan pernyataan tersebut bisa menjadi sinyal ke dunia soal keseriusan Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi. Namun, dia kembali memberi catatan soal pentingnya arah kebijakan yang jelas untuk merealisasikan target tersebut.
“Tidak apa kita punya target besar, asalkan diikuti dengan direction of travel yang terbaca. Dengan demikian ketika ada orang luar yang ingin berinvestasi, mereka bisa membaca arahnya,” kata Putra.