Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kerusakan Lahan Basah Picu Kerugian Ekonomi US$39 Triliun secara Global

Penurunan luas lahan basah sejak 1970 mencapai 22% atau setara dengan 441 juta hektare
Foto udara asap membumbung tinggi dari kebakaran lahan gambut di Pedamaran, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Senin (18/9/2023). Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera menerjunkan 9 regu Manggala Agni dari Daops OKI, Lahat, Muba, Banyuasin dan Jambi untuk melakukan pemadaman kebakaran lahan gambut di wilayah tersebut. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Foto udara asap membumbung tinggi dari kebakaran lahan gambut di Pedamaran, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Senin (18/9/2023). Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera menerjunkan 9 regu Manggala Agni dari Daops OKI, Lahat, Muba, Banyuasin dan Jambi untuk melakukan pemadaman kebakaran lahan gambut di wilayah tersebut. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Bisnis.com, JAKARTA — Kerusakan lahan basah secara global diperkirakan menimbulkan kerugian ekonomi senilai US$39 triliun pada 2050 karena hilangnya peran sebagai penopang ekosistem perikanan, pertanian dan pengontrol banjir.

Estimasi ini dirilis Konvensi tentang Lahan Basah pada Selasa (15/7/2025) dalam laporan terbarunya. Laporan ini mengungkap bahwa 22% lahan basah yang mencakup gambut, sungai, danau dan perairan pesisir telah lenyap sejak 1970.

Persentase tersebut setara dengan 441 juta hektare yang luasnya menyamai setengah miliar lapangan sepak bola. Angka tersebut sekaligus mencerminkan laju penurunan tercepat dibandingkan dengan ekosistem lainnya.

Alih fungsi lahan, polusi, ekspansi pertanian, kemunculan spesies invasif dan dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut adalah serangkaian faktor yang memicu penurunan ini, berdasarkan laporan tersebut.

“Skala penurunan dan kerusakan ini terlalu besar untuk kami abaikan,” kata penulis utama laporan tersebut, Hugh Robertson, dikutip dari Reuters, Rabu (16/7/2025).

Laporan ini turut menyebutkan perlunya mobilisasi dana senilai US$275 miliar sampai US$550 miliar per tahun untuk memastikan lahan basah yang tersisa dapat menopang ekosistem, mengingat level pengeluaran saat ini dinilai tidak memadai. Selain itu, seperempat dari lahan basah yang tersisa kini berstatus terdegradasi.

Lahan basah memiliki sejumlah peran ekonomi seperti meregulasi banjir, menyaring air dan menyimpan cadangan karbon. Peran-peran ini makin penting seiring memburuknya dampak-dampak perubahan iklim seperti badai tropis dan kenaikan permukaan air laut.

Laporan ini dirilis hanya sepekan sebelum pertemuan antara negara-negara penandatangan Konvensi Lahan Basah (Konvensi Ramsan) di Victoria Falls, Zimbabwe. Konvensi tersebut ditandatangani oleh 172 negara pada 1971 untuk mempelopori pelestarian ekosistem.

Anggota konvensi yang mencakup China, Rusia dan Amerika Serikat bertemu secara rutin setiap tiga tahun, tetapi masih belum jelas apakah semua negara anggota mengirim delegasi.

Penurunan jumlah lahan basah paling signifikan terpantau di Afrika, Amerika Latin dan Karibia. Namun kondisi yang memburuk terlihat pula di Eropa dan Amerika Utara.

Saat ini, sejumlah proyek rehabilitasi tengah berlangsung di berbagai negara termasuk Zambia, Kamboja dan China.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Reuters
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper