Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) resmi memberikan sanksi kepada 21 perusahaan yang berada di kawasan Puncak karena berkontribusi terhadap banjir yang melanda kawasan tersebut dan hilirnya seperti Bekasi, Depok dan Jakarta pada Maret 2025.
Sekretaris Utama KLH/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Rosa Vivien Ratnawati dalam taklimat media di Jakarta, Rabu (16/7/2025) mengatakan pengawasan lapangan setelah dua kejadian banjir di Puncak memperlihatkan adanya pelanggaran yang dilakukan 21 usaha. Pelanggaran ini termasuk tidak adanya izin lingkungan hingga pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar.
"Total adalah delapan ditambah 13 atau 21 perusahaan yang dikenakan sanksi," kata Vivien, dikutip dari Antara.
Dia menjelaskan bahwa verifikasi lapangan setelah banjir di Puncak, Kabupaten Bogor yang terjadi pada 2 Maret dan 5–9 Juli 2025 memperlihatkan bahwa ekspansi bangunan berkontribusi terhadap bencana tersebut.
Bangunan-bangunan itu dimiliki oleh delapan perusahaan yang memiliki persetujuan lingkungan tumpang tindih dengan dokumen sah yang dimiliki oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional 2. Terkait delapan perusahaan itu, KLH sudah memerintahkan Kabupaten Bogor untuk mencabut persetujuan lingkungan yang mereka keluarkan.
Tidak hanya itu, terdapat juga 13 perusahaan yang menjalin kerja sama operasi (KSO) di area PTPN 1 Regional 2 yang dikenai sanksi berupa penanaman, pembongkaran bangunan dan pelaporan sanksi. Empat dari KSO tersebut sudah melakukan penanaman kembali.
Baca Juga
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Sanksi Administrasi KLH Ari Prasetia menyampaikan bahwa beberapa KSO yang dikenai sanksi dan belum melakukan pembongkaran meminta penambahan waktu untuk melaksanakan sanksi dari pemerintah.
Namun, dia memastikan pembongkaran akan tetap berjalan. Pembongkaran paksa dapat dilakukan jika perusahaan tidak menjalankan keharusannya.
"Untuk yang 13 itu, kami lakukan pembongkaran. Jadi itu perintahnya mereka harus mengikuti, kalau tidak kami bongkar dan mereka harus menanami lagi," demikian Ari Prasetia.