Bisnis.com, JAKARTA — Laporan terbaru Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) bertajuk State of the Climate in Asia 2024 mengungkap bahwa kawasan Asia mencatatkan suhu rata-rata tertinggi sepanjang sejarah pada tahun lalu. Tren pemanasan dalam kurun 1991–2024 tercatat dua kali lebih tinggi dibandingkan periode 1961–1990.
Fenomena gelombang panas di lautan juga mencetak rekor baru pada 2024, dengan suhu permukaan laut mencapai titik tertinggi sejak pencatatan dimulai. Kenaikan ini disertai peningkatan tinggi permukaan laut di Samudra Hindia dan Pasifik yang berada di atas rata-rata global.
“Laporan State of the Climate in Asia menyoroti perubahan indikator iklim utama seperti suhu permukaan, massa gletser, dan tinggi permukaan laut, yang akan berdampak besar terhadap masyarakat, ekonomi, dan ekosistem di kawasan. Cuaca ekstrem saat ini sudah menimbulkan beban yang tidak dapat diterima,” kata Sekretaris Jenderal WMO, Celeste Saulo dalam siaran pers, Senin (23/6/2025).
Suhu Panas di Asia
Pada 2024, suhu rata-rata Asia tercatat sekitar 1,04 derajat Celsius di atas rata-rata periode 1991–2020. Kenaikan suhu rata-rata ini membuat 2024 menjadi tahun terpanas atau kedua terpanas sepanjang sejarah, tergantung pada sumber data.
“Asia sebagai benua dengan daratan terluas hingga wilayah Arktik mengalami pemanasan dua kali lebih cepat dari rata-rata global, karena daratan memanas lebih cepat daripada lautan,” demikian bunyi laporan tersebut.
Gelombang panas ekstrem juga melanda banyak wilayah di Asia sepanjang 2024. Gelombang panas berkepanjangan terjadi di Asia Timur dari April hingga November. Selain itu, rekor suhu rata-rata bulanan terus pecah di beberapa negara seperti Jepang (April, Juli, Oktober), Korea Selatan (April, Juni, Agustus, September), dan China (April, Mei, Agustus, September, November).
Baca Juga
Gelombang panas turut terpantau di Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Timur Tengah. Myanmar bahkan mencetak rekor suhu nasional baru di angka 48,2 derajat Celsius.
Pemanasan Lautan
Seluruh wilayah laut di bawah cakupan WMO Regional II mengalami pemanasan permukaan dalam beberapa dekade terakhir, dengan laju tercepat terjadi di Laut Arab bagian utara dan Samudra Pasifik. Suhu permukaan laut meningkat rata-rata 0,24 derajat Celsius per dekade, dua kali lipat dari rata-rata global sebesar 0,13 derajat per dekade.
Pada 2024, sebagian besar wilayah laut Asia terdampak gelombang panas laut dengan intensitas kuat hingga ekstrem, dengan cakupan wilayah terluas sejak pencatatan dimulai pada 1993. Kawasan Samudra Hindia bagian utara dan perairan sekitar Jepang, Laut Kuning, dan Laut China Timur terdampak paling parah.
Pada Agustus–September 2024, sekitar 15 juta km persegi wilayah laut di Asia terdampak gelombang panas laut. Luas ini setara dengan sepersepuluh total permukaan laut dunia, atau seluas wilayah Rusia dan 1,5 kali lebih luas daripada China.
Tingkat kenaikan permukaan laut di wilayah Samudra Hindia dan Pasifik yang berbatasan dengan Asia juga lebih tinggi dari rata-rata global pada periode Januari 1993–November 2024.
Pencairan Es
Sebagian besar Laut Arktik mengalami pencairan es laut yang signifikan, dengan batas es bergeser jauh ke utara pada akhir musim.
Wilayah Asia Pegunungan Tinggi (High-Mountain Asia/HMA) yang berpusat di Dataran Tinggi Tibet menyimpan volume es terbesar di luar kawasan kutub, dengan gletser mencakup area sekitar 100.000 km persegi. Kawasan ini dikenal sebagai Kutub Ketiga dunia.
Dalam beberapa dekade terakhir, sebagian besar gletser di kawasan ini mengalami penyusutan. Pada 2023/2024, 23 dari 24 gletser yang dipantau menunjukkan kehilangan massa yang terus berlanjut. Minimnya curah salju musim dingin dan panas ekstrem di Himalaya Tengah serta sebagian besar Tian Shan mempercepat kehilangan massa es.
Seiring dengan fenomena ini, gletser Urumqi No.1 di Tian Shan Timur mencatat neraca massa negatif terburuk sejak pencatatan dimulai pada 1959.
Peristiwa Cuaca Ekstrem
Dinamika iklim dan atmosfer sepanjang 2024 telah memicu terjadinya Siklon Tropis Yagi yang merupakan badai terkuat pada tahun tersebut. Siklon tropis tersebut telah menyebabkan kerusakan luas serta korban jiwa di Vietnam, Filipina, Laos, Thailand, Myanmar, dan China.
Selain badai tropis, pencairan salju ekstrem serta curah hujan tinggi terpantau di Asia Tengah, terutama di Kazakhstan dan Rusia bagian selatan. Fenomena ini memicu banjir terburuk dalam 70 tahun terakhir dan memaksa evakuasi 118.000 orang.
Hujan dengan intensitas tinggi juga melanda Asia Barat. Di Uni Emirat Arab, intensitas hujan mencapai 259,5 mm dalam 24 jam. Peristiwa itu merupakan hujan ekstrem paling signifikan sejak 1949.
Tanah longsor besar terjadi di Kerala bagian utara, India, pada 30 Juli akibat hujan ekstrem yang mencapai lebih dari 500 mm dalam dua hari sebelumnya. Korban jiwa akibat bencana ini dilaporkan mencapai 350 orang.
Pada akhir September, curah hujan yang memecahkan rekor di Nepal memicu banjir hebat dan menewaskan sedikitnya 246 orang. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 12,85 miliar rupee Nepal atau sekitar US$94 juta.
Sebaliknya, kekeringan parah di China berdampak pada hampir 4,8 juta orang dan merusak 335.200 hektare lahan pertanian. Kekeringan di China diperkirakan menyebabkan kerugian langsung sebesar 2,89 miliar yuan atau lebih dari US$400 juta.