Bisnis.com, JAKARTA — Amerika Serikat tercatat telah menggelontorkan dana hingga US$1 triliun atau sekitar Rp16.377 triliun untuk pemulihan kerusakan akibat bencana terkait iklim dalam periode 12 bulan yang berakhir Mei 2025.
Analisis yang dilakukan Bloomberg Intelligence menyebutkan dana tersebut setara dengan 3% produk domestik bruto (PDB) yang dibelanjakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa.
Besarnya dana penanganan bencana ini tak terlepas dari serangkaian badai yang menerjang Amerika Serikat pada 2024. Sebagai contoh, Badai Helene pada akhir September 2024 yang disusul Badai Milton seminggu setelahnya telah menelan kerugian senilai US$113 miliar berdasarkan data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Sementara itu, kerugian akibat kebakaran yang melanda Los Angeles pada Januari 2025 menimbulkan kerugian hingga US$65 miliar.
Laporan The Climate Economy: 2025 Outlook mencatat pengeluaran global terkait bencana mencapai US$18,5 triliun sejak 2000. Di sisi lain, pendorong utama pengeluaran di AS adalah premi asuransi yang naik dua kali lipat sejak 2017, belanja perbaikan pascabencana, dan bantuan federal.
Secara keseluruhan, kenaikan biaya iklim dari premi, pemadaman listrik, pemulihan bencana, dan kerusakan tanpa asuransi menyumbang US$7,7 triliun atau 36% dari pertumbuhan PDB AS sejak 2000. Risiko meningkat karena perubahan iklim telah memperparah fenomena cuaca ekstrem dan pembangunan yang kurang tangguh.
Andrew John Stevenson dari Bloomberg Intelligence mengidentifikasi 100 perusahaan yang mendapat manfaat dari belanja ini. Perusahaan-perusahaan yang bergerak dari sektor asuransi, sektor teknik, material dan ritel tercatat memiliki kinerja yang 7% lebih tinggi daripada indeks S&P dalam tiga tahun terakhir.
Baca Juga
Sementara itu, Stevenson dan Eric Kane dari Bloomberg Intelligence menyebutkan bahwa asuransi merupakan beban tersembunyi ekonomi iklim. Premi tercatat naik hingga 22% pada 2023 dan diperkirakan naik lagi lebih dari 6% tahun ini. Biaya ini tak tercatat dalam indeks harga konsumen atau Consumer Price Index (CPI), sehingga belanja perumahan nasional kemungkinan lebih tinggi 40% dari total.
Belanja federal yang dulu menanggung hingga sepertiga biaya iklim kini turun menjadi sekitar 2%, dan pemotongan anggaran membuat prospek bantuan makin suram. Hal ini memaksa wilayah terdampak menerbitkan utang yang kerap sulit dibayar oleh ekonomi lokal pascabencana.
“Pasar obligasi tidak cukup besar untuk menutupi kekosongan akibat mundurnya peran federal,” tulis para analis.