Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menjelang COP30: Dunia Butuh Kerja Sama Iklim yang Strategis dan Detil

Perlunya meyakinkan negara-negara tentang masa depan ekonomi dengan bersama sama mengantisipasi perubahan iklim.
Jepang menerapkan aturan yang lebih ketat untuk perusahaan-perusahaan agar memberikan perlindungan yang lebih baik bagi karyawan setelah meningkatnya angka cedera yang terkait dengan suhu ekstrem./ Bloomberg - Soichiro Koriyama
Jepang menerapkan aturan yang lebih ketat untuk perusahaan-perusahaan agar memberikan perlindungan yang lebih baik bagi karyawan setelah meningkatnya angka cedera yang terkait dengan suhu ekstrem./ Bloomberg - Soichiro Koriyama

Bisnis.com, JAKARTA – Dinamika politik seputar penanganan perubahan iklim diperkirakan bakal jauh lebih kompleks menjelang Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim atau COP30.

Co-Executive Chair Galvanize Climate Solutions John Kerry menyoroti urgensi diplomasi yang lebih besar, kemampuan beradaptasi yang lebih besar, dan hingga kerja sama yang lebih detil dalam negosiasi iklim mendatang di Belém, Brasil.

"Sejak pemilihan AS tahun lalu, ada sejumlah kemunduran di beberapa pihak. Di sisi lain, fakta yang paling jelas adalah ilmu tentang krisis iklim tidak berubah sedikit pun," ujarnya, dikutip dari Bloomberg, Jumat (13/6/2025).

Pernyataan Menteri Luar Negeri AS di era Barrack Obama ini sejalan dengan Presiden COP30, André Corrêa do Lago, yang menekankan pentingnya meyakinkan negara-negara tentang masa depan ekonomi dengan bersama sama mengantisipasi perubahan iklim. Keduanya khawatir adanya potensi kemunduran ambisi iklim.

Kerry juga menyoroti pergeseran lanskap kepemimpinan dalam agenda iklim. Menurutnya, agenda ini tidak lagi didikte semata-mata oleh kekuatan tradisional seperti G7, tetapi melibatkan kepemimpinan yang berpengaruh dari negara-negara berkembang, China, India, dan negara-negara di belahan bumi selatan. 

Di sisi lain, Para pejabat COP30 telah mengindikasikan bahwa konferensi dihelat pada November ini akan fokus membicarakan implementasi janji-janji yang telah dibuat pada KTT sebelumnya, mulai dari transisi energi hingga restorasi hutan.

Dorongan Pembahasan Dampak Eksploitasi Mineral Kritis Jadi di COP30

Di sisi lain, Global Witness bersama koalisi lebih dari 65 kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan suara industri, menyerukan agar COP30 menghasilkan perjanjian yang menempatkan perlindungan iklim, lingkungan, dan hak asasi manusia dalam aktivitas eksploitasi mineral untuk transisi energi. 

Seruan ini menegaskan prinsip bahwa mineral tambang yang menggerakkan energi bersih tidak boleh memperburuk perubahan iklim dan pelanggaran hak asasi manusia.

Dorongan menuju ekonomi rendah karbon pasca-Perjanjian Paris 2015 telah memicu permintaan tembaga, kobalt, lithium, dan tanah jarang. Mineral kritis ini merupakan bahan utama untuk turbin angin, panel surya, kendaraan listrik, dan penyimpanan baterai. 

Permintaan ini diproyeksikan akan meningkat empat kali lipat dalam beberapa tahun mendatang.

Global Witness juga mendesak COP30 untuk mendukung narasi yang mengikat eksploitasi mineral dalam kerangka tata kelola iklim UNFCCC. Adapun prioritas utama yang diserukan meliputi perlindungan zona terlarang, penghormatan hak-hak masyarakat adat, serta memungkinkan transisi yang adil. 

Permintaan Mineral Kritis Meroket

Akibat tingginya permintaan kebutuhan teknologi energi terbarukan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap produk turunan mineral. Mau tidak mau, dorongan untuk menambang menjadi sebuah keniscayaan.

Tahun lalu, menjadi saksi bisu lonjakan permintaan mineral energi utama yang signifikan. Merujuk laporan International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa permintaan litium melonjak hampir 30%, jauh melampaui rata-rata pertumbuhan tahunan 10% yang tercatat pada dekade 2010-an. Sementara itu, permintaan nikel, kobalt, grafit, dan tanah jarang juga naik sebesar 6-8%.

Peningkatan permintaan ini didorong oleh adopsi aplikasi energi bersih yang kian masif, seperti kendaraan listrik (EV), penyimpanan baterai, energi terbarukan, dan jaringan listrik. Khusus untuk tembaga, ekspansi investasi jaringan listrik yang pesat di China menjadi kontributor tunggal terbesar pertumbuhan permintaan dalam dua tahun terakhir. 

Untuk logam baterai seperti litium, nikel, kobalt, dan grafit, sektor energi menyumbang 85% dari total pertumbuhan permintaan pada periode yang sama. Meskipun permintaan melesat, peningkatan pasokan yang besar, terutama dari China, Indonesia, dan Republik Demokratik Kongo, justru membuat harga komoditas tersebut tertekan. 

Sejak 2020, pertumbuhan pasokan logam baterai mencapai dua kali lipat dari tingkat akhir 2010-an. Akibatnya, setelah lonjakan harga tajam pada 2021 dan 2022, harga mineral energi utama terus menurun dan kembali ke tingkat pra-pandemi. 

Harga litium, yang sempat melonjak delapan kali lipat pada 2021-2022, kini anjlok lebih dari 80% sejak 2023. Harga grafit, kobalt, dan nikel juga turun 10 hingga 20% pada 2024. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper