Bisnis.com, JAKARTA — Asia Pasifik (APAC) dan Asia Tenggara (South East Asia/SEA) memiliki peran krusial dalam dekarbonisasi global. Pasalnya, APAC menyumbang setengah dari total emisi gas rumah kaca dunia dan Asia Tenggara berkontribusi sebesar 7,5%. Kedua kawasan ini sama-sama bergantung pada bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan energi.
Dalam laporan Southeast Asia’s Green Economy yang diterbitkan oleh Bain & Company, GenZero, Google, Standard Chartered, dan Temasek, sebagian besar negara di APAC diperkirakan tidak akan mencapai target 2030 dan kesenjangan emisi di kedua kawasan ini diperkirakan akan semakin melebar pada 2040 dan 2050.
Managing Director Sustainability Temasek Franziska Zimmermann mengatakan Asia Tenggara secara khusus berada dalam posisi yang rentan karena hingga kini belum mampu menurunkan kurva emisinya. Intervensi mendesak diperlukan untuk mengubah trajektori ini dan memastikan pencapaian target yang telah ditetapkan.
“Dengan hanya tersisa 5 tahun menuju 2030, jendela peluang kita untuk bertindak demi menghindari dampak terburuk perubahan iklim semakin menyempit,” ujarnya dalam laporan, Selasa (6/5/2025).
Menurutnya, perlu meningkatkan momentum dan berfokus pada solusi pragmatis yang memberikan dampak dalam jangka pendek. Para pemangku kepentingan di kawasan ini memiliki kesempatan untuk mendorong perubahan transformatif di tingkat sistem yang mampu menyeimbangkan keamanan energi, keberlanjutan, dan pertumbuhan ekonomi.
Adapun pasar di Asia Tenggara tengah meninjau kembali prioritas dan peluang dalam ekonomi hijau di tengah ketidakpastian makro global. Untuk mencapai hasil dalam skala besar ekonomi hijau SEA harus dipandang sebagai sekumpulan sistem yang kompleks dan saling terhubung.
Baca Juga
Pendekatan berbasis sistem mencakup identifikasi hambatan sistemik yang memperburuk emisi di Kawasan Asia Tenggara, menemukan solusi yang efektif yang dapat diterapkan lintas sistem, dan memprioritaskan solusi yang memiliki potensi terbesar untuk mendorong perubahan yang berkelanjutan.
Solusi tersebut menawarkan cara untuk tetap berada di jalur yang benar di tengah ketidakpastian makro, sekaligus menciptakan peluang bagi Asia Tenggara untuk membuka jalur pertumbuhan hijau baru, meningkatkan ketahanan, dan mengurangi ketergantungan pada energi impor, dan di saat yang samamendukung pencapaian target iklim.
Adapun terdapat enam negara utama Asia Tenggara berpotensi meraih tambahan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga US$120 miliar, menciptakan 900.000 lapangan kerja baru, dan menutup hingga 50% kesenjangan emisi pada 2030. Keenam negara tersebut yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Partner dan Co-Director Global Sustainability Innovation Center di Bain & Company Dale Hardcastle mengatakan Asia Tenggara dan kawasan Asia-Pasifik yang lebih luas dapat menyaksikan percepatan pengembangan ekonomi hijau sebagai respons terhadap dinamika ini.
“Pandangan konvensional saat ini menyatakan bahwa lingkungan makro saat ini akan memperlambat kemajuan ekonomi hijau. Namun, Asia Tenggara dan kawasan Asia-Pasifik justru berpotensi mengalami percepatan seiring pemerintah, perusahaan, dan investor mengubah prioritas mereka,” katanya.
Menurutnya, dengan berfokus pada solusi tingkat sistem yang dapat diperluas dan berdampak tinggi, Asia Tenggara dapat menulis ulang peta jalani ekonomi hijaunya dan mengubah tantangan saat ini menjadi peluang.
Adapun terdapat dua hasil utama secara bersamaan yang perlu didorong yakni pengurangan emisi secara signifikan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan untuk memastikan kawasan ini tidak hanya memenuhi target iklim tetapi juga membangun ketahanan dan kemakmuran jangka panjang.
Dia menilai sangat penting dilakukan kolaborasi yang lebih luas antara pasar Asia Tenggara (SEA) dan Asia-Pasifik (APAC) untuk mengembangkan ekonomi hijau hingga mencapai potensi penuh dengan memanfaatkan koneksi bersama, seperti isu keamanan energi, hubungan perdagangan, arus investasi asing langsung, serta sinergi dalam transisi energi.
Aliansi yang lebih erat antara Asia Tenggara dan kawasan Asia-Pasifik yang lebih luas menjadi kunci untuk memastikan pertumbuhan ekonomi hijau yang berkelanjutan, terutama dalam iklim politik dan ekonomi saat ini, di mana pemerintah dan korporasi tengah menata ulang prioritas mereka.
Untuk diketahui, pengurangan emisi sekitar 300 MtCO₂ dihitung berdasarkan proyeksi adopsi solusi rendah karbon dan dampaknya terhadap emisi dari produksi, penggunaan, peningkatan efisiensi, pergeseran bahan bakar, perubahan penggunaan lahan, dan sebagainya. Solusi berbasis sistem yang diprioritaskan berpotensi menutup sekitar 50% kesenjangan emisi antara emisi SEA-6 berdasarkan kebijakan saat ini dibandingkan dengan komitmen yang telah diterima untuk tahun 2030.