Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KLH Terbitkan Aturan Pembayaran Imbal Jasa Lingkungan, Apa Itu?

Masyarakat, petani hutan, komunitas adat dan semua yang selama ini menjaga lingkungan seperti air, karbon, dan keanekaragaman hayati dapat menerima kompensasi.
Ilustrasi pembiayaan hijau./Bisnis - Puspa Larasati
Ilustrasi pembiayaan hijau./Bisnis - Puspa Larasati

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menerbitkan beleid Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 2025 tentang Pengembangan Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup (PJLH). Beleid tersebut menandai babak baru kebijakan lingkungan nasional.

Menteri Lingkungan Hidup/Kepada Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq mengatakan peraturan itu menandai babak baru dalam kebijakan lingkungan nasional, dimana konservasi tidak lagi dilihat sebagai pengorbanan semata, tetapi sebagai kerja penting yang layak dihitung, diukur, dan diberi apresiasi.

"Masyarakat adat, petani hutan serta komunitas penjaga alam yang selama ini bekerja tanpa pamrih, kini dapat menerima kompensasi berdasarkan hasil kerja mereka menjaga ekosistem," ujarnya dalam keterangan resmi, Minggu (20/4/2025). 

Dia menuturkan beleid tersebut merupakan turunan dari Pasal 48 ayat (5) PP Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan menjadi kerangka hukum untuk mentransformasikan konservasi dari aktivitas sukarela menjadi sistem yang berbasis insentif.

Dengan pendekatan itu, masyarakat lokal, petani hutan, komunitas adat dan semua yang selama ini menjaga lingkungan seperti air, karbon, dan keanekaragaman hayati dapat menerima kompensasi secara sah dan terukur berdasarkan hasil kerja mereka. 

Menurutnya, sistem tersebut juga membuka peluang kerja sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil untuk membangun ekosistem ekonomi yang berpihak pada keberlanjutan. Ha ini menegaskan posisi Indonesia sebagai pelopor ekonomi hijau yang mengintegrasikan keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis.

Dia menekankan peran penting instrumen aturan tersebut terletak bukan hanya pada skema pembayaran, tetapi pada pengakuan bahwa konservasi bukan sisa dari pembangunan, melainkan fondasinya. Dana PJLH tersebut berasal dari APBN, APBD, corporate sosial responsibility (CSR), hingga donasi sah lainnya. Nantinya, sistem informasi nasional PJLH akan dikembangkan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas di seluruh Indonesia.

Dia memberikan contoh praktik PJLH di Cidanau, Banten dimana petani menerima US$125 per hektare dari perusahaan air minum karena menjaga hutan hulu. Namun demikian, sebesar 71% dari petani Cidanau Banten telah menjaga lingkungan sebelum dilakukan pembayaran. Hal serupa terjadi di Sumberjaya, Lampung, dimana hak kelola selama 25 tahun diberikan kepada petani yang menerapkan praktik konservasi, dan sedimentasi sungai menurun drastis.

Hanif menegaskan arah kebijakan PJLH tidak dirancang sebagai proyek temporer tetapi sebagai sistem nasional yang mengintegrasikan konservasi ke dalam perencanaan pembangunan. Aturan tersebut bukan hanya regulasi administratif tetapi kerangka ekonomi alternatif yang menyatukan pelestarian alam dengan kesejahteraan rakyat.

"Siapa yang menjaga, harus kita jaga. Siapa yang melindungi alam, harus kita lindungi. Karena menjaga alam adalah menjaga masa depan kita bersama," katanya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper