Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia tengah menapaki jalan panjang menuju target nol emisi karbon pada 2060 atau lebih cepat. Komitmen ini diperkuat melalui strategi jangka panjang pembangunan rendah karbon dan peta jalan transisi energi nasional. Namun di balik ambisi tersebut, tersimpan satu pertanyaan besar yang belum terjawab secara jelas, siapa yang sebenarnya akan menanggung ongkos dari transisi ini?
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia membutuhkan investasi sebesar Rp3.700 triliun untuk mendanai proses transisi energi menuju sistem rendah karbon.
Anggaran ini mencakup pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), pembangunan energi terbarukan, penguatan infrastruktur transmisi, dan elektrifikasi sektor transportasi. Angka ini setara dengan hampir 20% dari produk domestik bruto (PDB) nasional 2023—sebuah beban fiskal dan pembiayaan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Sayangnya, sampai saat ini, sumber pendanaan iklim masih menjadi perdebatan global yang belum menemui titik terang. Komitmen negara maju dalam mendukung transisi energi di negara berkembang, yang dijanjikan mencapai US$100 miliar per tahun sejak Conference of Parties atau COP15 di Kopenhagen pada 2009, belum pernah benar-benar terealisasi penuh.
Bahkan laporan dari OECD pada 2023, pendanaan aktual baru mencapai sekitar US$83,3 miliar pada 2020, dan sebagian besar di antaranya diberikan dalam bentuk pinjaman, bukan hibah.
Kesenjangan ini memperlihatkan kontradiksi serius dalam tata kelola iklim global. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang secara historis menyumbang emisi karbon jauh lebih sedikit dibanding negara maju, justru harus menanggung beban paling besar dalam proses mitigasi.
Baca Juga
Sementara itu, negara-negara industri yang selama berabad-abad meraup keuntungan dari eksploitasi energi fosil, belum menunjukkan tanggung jawab proporsional.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa tantangan utama dalam transisi energi bukan pada komitmen, melainkan pada realisasi dukungan konkret dari komunitas internasional.
Dalam berbagai kesempatan, beliau menyoroti pentingnya pendanaan berbasis keadilan dan akses terhadap teknologi untuk memastikan negara berkembang tidak tersandera oleh beban utang hijau.
Di sisi lain, skema pendanaan seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), yang diperkenalkan sebagai solusi inovatif, juga belum sepenuhnya menjawab persoalan struktural. Indonesia dijanjikan pendanaan senilai US$20 miliar dalam kerangka JETP, namun hingga kini belum ada kejelasan proporsi antara hibah dan pinjaman, serta sejauh mana fleksibilitas dalam penggunaannya.
Transisi energi, tanpa kerangka pendanaan yang adil dan transparan, berisiko menjadi agenda global yang timpang—dimotori oleh tekanan geopolitik, bukan kolaborasi sejati.
Perkuat Struktur Pendanaan Hijau
Di tingkat nasional, pemerintah Indonesia harus segera memperkuat arsitektur pendanaan hijau. Ini mencakup pengembangan green taxonomy, insentif fiskal untuk proyek energi bersih, serta kerangka regulasi yang mendukung investasi jangka panjang di sektor ini.
Pemerintah juga perlu berhati-hati agar skema transisi ini tidak hanya menguntungkan perusahaan besar dan lembaga keuangan global, tetapi juga membuka ruang partisipasi untuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), koperasi energi, dan komunitas lokal.
Transisi yang adil (just transition) bukan hanya soal mengganti sumber energi, tetapi juga menyangkut perlindungan terhadap pekerja di sektor batu bara, akses yang merata terhadap energi bersih, serta keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Tanpa pendekatan inklusif, transisi energi dapat menimbulkan konflik sosial baru, memperdalam ketimpangan, dan melemahkan dukungan publik terhadap agenda keberlanjutan.
Pertanyaan “siapa yang membayar harga transisi?” sejatinya mengarah pada keadilan intergenerasional dan antarnegara. Dalam konteks keadilan intergenerasional, generasi saat ini dihadapkan pada tanggung jawab untuk tidak mewariskan krisis iklim kepada generasi mendatang.
Sementara itu, keadilan antar negara mengacu pada fakta bahwa negara-negara berkembang, yang kontribusinya terhadap krisis iklim jauh lebih kecil, kini justru dipaksa membayar harga dari kegagalan historis negara-negara maju.
Maka, pertanyaan ini menuntut lebih dari sekadar jawaban teknokratis—it requires moral clarity and political will untuk memastikan bahwa transisi ini tidak menjadi bentuk baru dari ketimpangan global.
Mengejar nol emisi adalah keharusan moral dan ekologis. Namun agar proses ini berjalan adil dan efektif, dunia internasional perlu berhenti melihat transisi energi sebagai proyek investasi semata. Ini adalah momentum untuk membangun tatanan global baru yang berpihak pada solidaritas, transparansi, dan tanggung jawab bersama.