Bisnis.com, JAKARTA — Langkah Presiden Amerika Serikat Donald Trump memangkas pendanaan sebesar US$3,7 miliar untuk 24 proyek energi bersih yang diresmikan selama kepemimpinan Joe Biden diyakini tak akan berdampak besar pada Indonesia.
Policy Strategist Cerah Sartika Nur Shalati menuturkan kebijakan Donald Trump yang memangkas subsidi energi terbarukan tentu menimbulkan kekhawatiran global terutama terhadap komitmen kolektif dalam memerangi krisis iklim.
Namun, dampaknya terhadap proyek energi terbarukan di Indonesia tidak bersifat langsung mengingat pendanaan proyek-proyek tersebut lebih banyak bergantung pada kebijakan domestik, dukungan mitra multilateral seperti ADB, World Bank, dan negara-negara Eropa, serta investasi dari lembaga keuangan internasional non-AS.
Menurutnya, tantangan terbesar justru datang dari dalam negeri, mulai dari kebijakan energi yang belum konsisten, ketergantungan kuat negara pada batubara, hingga minimnya insentif bagi investor energi terbarukan.
"Dalam konteks ini, langkah Indonesia untuk memperkuat kelembagaan transisi energi dan alokasi anggaran dari sumber-sumber yang selama ini belum efekti, perlu dimaksimalkan," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (4/6/2025).
Nur menilai Ketahanan transisi energi Indonesia tak bisa bergantung pada dinamika politik negara lain, melainkan harus dibangun melalui reformasi kebijakan, peningkatan kapasitas, dan keberpihakan pemerintah dan anggaran nasional pada proyek energi terbarukan.
Baca Juga
Policy Strategist Cerah Wicaksono Gitawan mengatakan dampak langsung kebijakan Trump ke Indonesia seperti misalnya yang melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) tidak akan terlalu signifikan. Pasalnya, selama ini Jerman yang lebih banyak memberikan pembiayaan.
"Proyek yang dibiayai US International Development Finance Corporation (DFC) untuk PLTP Ijen juga tidak terganggu," katanya.
Menurutnya, Amerika Serikat juga bukanlah satu-satunya sumber pembiayaan untuk energi terbarukan. Indonesia sendiri sebenarnya bisa melihat peluang-peluang lain dari China dan Timur Tengah yang tengah gencar mendorong pembangunan pembangkit energi terbarukan.
Managing Director Lembaga Kajian (Think Tank) Energy Shift Institute Putra Adiguna menuturkan kebijakan pemangkasan pendanaan energi bersih tersebut berada di AS sehingga tak berimbas besar di Indonesia.
Dampak yang mungkin paling terasa adalah mundurnya AS dalam program besar seperti pendanaan JETP yang bisa menghambat program yang direncanakan kecuali kalau negara lain akan bisa mengisi ruangnya. Hal ini akan berdampak dengan semakin tertinggalnya AS dalam berbagai perlombaan teknologi dunia. Namun demikian, secara global AS memang bukan investor yang terbesar untuk wilayah seperti Asean sehingga imbasnya tidak akan terlalu dirasakan.
"Peran investor lain seperti China, Jepang dan Korsel lebih besar dalam investasi energi Asean, porsi pendanaan AS tidak begitu besar. Tapi keputusan Trump pangkas pendanaan energi bersih itu kebijakan internal dan tidak ada kaitannya dengan negara lain," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat kebijakan Trump yang memangkas pendanaan proyek energi bersih merupakan tindakan mundur dan berbalik arah dari era Biden sebelumnya.
Di era Presiden Joe Biden, pemerintah AS melalui Dept of Energy (DOE) memberikan subsidi dalam bentuk hibah untuk proyek energi bersih dan jaringan listrik (grid) di AS dan sudah disetujui.
"Ada sekitar US$15 miliar dana yang diberikan. Di era Trump subsidi-subsidi ini ditinjau ulang dan sepertinya dibatalkan. Salah satu alasan adalah pemerintah Trump lebih memilih mengembangkan dan mengeksploitasi energi fosil dan nuklir (PLTN)," ujarnya
Dia menilai dampak ke Indonesia tidak besar karena subsidi-subsidi tersebut diberikan di AS dan sebagian besar perusahaan asal AS atau yang berafiliasi dengan perusahaan AS.
Di Indonesia, pengembangan proyek energi terbarukan lebih dipengaruhi faktor-faktor internal seperti kualitas kebijakan dan regulasi, konsistensi kebijakan, struktur pasar kelistrikan, ketersediaan proyek yang bankable dan fasilitas pendanaan murah, serta kapasitas PLN melakukan pengadaan pembangkit dan PPA.
"Kalau proyek-proyek komersial yang didanai oleh lembaga keuangan, seperti Bank tidak terpengaruh. Mungkih hibah yang melalui USAID dan JETP akan terdampak, tapi saya belum tahu seberapa besar," kata Fabby.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan meskipun Amerika Serikat keluar dari perjanjian Paris dan beberapa proyek energi terbarukan tak lagi mendapatkan pendanaan, namun proyek JETP tetap berjalan bersama dengan Jerman dan Jepang.
Selain kedua negara tersebut, beberapa negara masih berkomitmen membantu transisi energi indonesia melalui kerjasama yang sifatnya bilateral. Hal ini seperti masuknya Timur Tengah dan China dalam transisi energi indonesia yang merupakan hal yang cukup positif.
"Prancis juga tertarik mendanai hilirisasi mineral kritis dengan standar lingkungan yang lebih ketat, itu angin segar bagi rantai pasok transisi energi di Indonesia untuk komponen domestiknya," ucapnya.
Menurutnya, Indonesia jangan bergantung pada investasi dari AS dan dengan cepat menangkap peluang baru dalam investasi transisi negeri. Terlebih, investasi di pembangkit surya, angin, air, dan juga baterai energi storage membutuhkan pembiayaan yang besar.
"Harus ada investas penggatinya dengan nominal lebih besar. Perbankan domestik di bawah naungan Danantara bisa mendanai pembiayaan yang lebih besar dan bunga rendah ke sektor EBT," tutur Bhima.
Adapun Departemen Energi AS dalam pengumuman pada Jumat (30/5/2025) mengemukakan bahwa mereka tengah mengevaluasi proyek-proyek yang didukung oleh pinjaman dan dana publik selama pemerintahan Biden. Evaluasi ini terjadi di tengah ambisi pemerintahan Trump untuk menggenjot produksi minyak dan gas, sekaligus menghentikan serangkaian inisiatif terkait iklim dan energi bersih dari pendahulunya.
Pemangkasan pendanaan mencakup proyek-proyek yang sebelumnya mendapatkan penghargaan dari Kantor Demonstrasi Energi Bersih (Office of Clean Energy Demonstration), termasuk untuk teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage).
Pemangkasan ini antara lain sebesar US$332 juta untuk proyek di kompleks kilang milik Exxon Mobil di Baytown, Texas. Kemudian sebesar US$500 juta untuk Heidelberg Materials, US di Louisiana, dan US$375 juta untuk Eastman Chemical Company di Longview, Texas.
Pendanaan untuk proyek di Baytown ditujukan untuk mengurangi emisi karbon dengan memungkinkan penggunaan hidrogen sebagai pengganti gas alam dalam produksi etilena, bahan baku utama dalam pembuatan tekstil dan resin plastik.
Departemen Energi mencatat bahwa hampir 70% dari pemberian dana tersebut ditandatangani antara 5 November 2024 (hari pemilihan presiden AS) hingga 20 Januari 2025, hari terakhir masa jabatan Biden. Perusahaan-perusahaan yang terdampak belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar dari media.
Proyek penangkapan karbon dirancang untuk membantu mengatasi perubahan iklim dengan menghilangkan karbon dioksida, baik langsung dari udara maupun dari aliran polusi di fasilitas-fasilitas seperti kilang, pembangkit batu bara, dan pabrik etanol, untuk kemudian disimpan di bawah tanah. Dalam beberapa kasus, gas ini juga disuntikkan ke ladang minyak tua untuk mendorong sisa cadangan minyak keluar.
Sejumlah kelompok lingkungan yang fokus pada energi mengecam pemotongan ini. Steven Nadel, direktur eksekutif American Council for an Energy-Efficient Economy, menyebut langkah tersebut kurang mempertimbangkan proyeksi ke depan dan berpotensi menghambat inovasi.
“Mengurung pabrik-pabrik domestik pada teknologi usang bukanlah resep untuk daya saing masa depan atau untuk mengembalikan pekerjaan manufaktur ke komunitas Amerika,” ujar Nadel, dikutip dari Reuters.
Center for Climate and Energy Solutions memperkirakan bahwa pemotongan terhadap proyek-proyek yang seharusnya menjadi proyek percontohan bagi program industri berskala besar ini bisa menyebabkan hilangnya 25.000 pekerjaan dan penurunan output ekonomi sebesar US$4,6 miliar.