Bisnis.com, JAKARTA — Pemanasan global dapat membawa dampak besar dan sistemik terhadap perekonomian jika tidak diatasi secara benar.
Kenaikan suhu udara meningkatkan potensi terjadi bencana alam yang berakibat kerusakan pada infrastruktur. Perubahan iklim menyebabkan ketidakstabilan sosial politik di mana kelompok masyarakat miskin dan rentan akan menjadi yang paling terdampak.
Merujuk laporan Institute for Climate Risk & Response (ICRR) University of New South Wales (UNSW), perubahan iklim akan membuat negara-negara di dunia semakin miskin. Dalam laporan tersebut, peningkatan suhu bumi sebesar 4 derajat Celsius akan membuat dunia kehilangan gross domestic product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 40% pada 2100. Angka tersebut lebih besar dari estimasi sebelumnya yang hanya sekitar 11%.
Peneliti dari Institute for Climate Risk and Response UNSW Timothy Neal mengatakan angka baru yang lebih besar didapatkan setelah peneliti memasukkan disrupsi pada rantai pasok akibat cuaca ekstrem karena perubahan iklim.
“Para ekonom biasanya melihat data sejarah untuk membandingkan peristiwa cuaca ekstrem dan pertumbuhan ekonomi untuk menilai ongkos perubahan iklim,” ujarnya dikutip dari laman UNSW, Jumat (11/4/2025).
Menurutnya, para ekonom gagal menghitung dampak cuaca ekstrem pada gangguan rantai pasok. Jika faktor tersebut dihitung, maka nilai penurunan GDP akibat iklim ternyata menjadi jauh lebih besar.
Baca Juga
“Model ekonomi sebelumnya menyimpulkan bahwa perubahan iklim bukan masalah besar bagi ekonomi, dan itu mempengaruhi kebijakan iklim,” katanya.
Menurut Neal, pesan yang jelas dari penelitiannya adalah bahwa iklim mempengaruhi ekonomi dan tidak ada yang terkecualikan. Dia menegaskan tidak ada negara yang kebal terhadap dampak buruk perubahan iklim sehingga semua negara rentan terhadap perubahan iklim.
“Ada asumsi bahwa negara-negara dingin, seperti Rusia dan Kanada, akan mendapat keuntungan karena perubahan iklim, tapi ketergantungan permintaan dan penawaran menunjukkan bahwa tak ada satu pun negara yang kebal,” ucapnya.
Dia menambahkan masih banyak faktor yang perlu diperhitungkan untuk menilai dampak iklim termasuk terkait adaptasi iklim dan migrasi. Adapun perubahan iklim berdampak pada ekonomi mulai dari kenaikan harga pangan, biaya kesehatan, hingga biaya asuransi.
“Kita perlu responsif dengan informasi baru kalau kita ingin melakukan tindakan terbaik kepentingan bersama,” tutur Neal.
Sekretaris Eksekutif Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP) PBB Armida Salsiah Alisjahbana menuturkan perekonomian sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik rentan terguncang akibat dampak perubahan iklim.
Berdasarkan laporan badan PBB Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP), terdapat sejumlah tantangan yang menguji ketahanan ekonomi kawasan Asia Pasifik akibat krisis iklim. Tantangan-tantangan yang dianalisis yakni pertumbuhan produktivitas yang lebih lambat, risiko utang publik yang tinggi, dan meningkatnya ketegangan perdagangan.
Dari 30 negara yang dianalisis, 11 negara diidentifikasi lebih rentan terhadap risiko iklim dari perspektif ekonomi makro. Ke-11 negara tersebut adalah Afghanistan, Kamboja, Iran, Kazakhstan, Laos, Mongolia, Myanmar, Nepal, Tajikistan, Uzbekistan, dan Vietnam.
Menurutnya, meningkatnya ketidakpastian ekonomi global dan semakin dalamnya risiko iklim juga membuat para pembuat kebijakan menjadi tidak mudah dalam mengambil kebijakan fiskal dan moneter.
“Menavigasi lanskap yang terus berkembang ini tidak hanya membutuhkan kebijakan nasional yang baik tetapi juga upaya regional yang terkoordinasi untuk menjaga prospek ekonomi jangka panjang dan mengatasi perubahan iklim,” ujarnya.
Laporan tersebut, terdapat kesenjangan yang signifikan dalam kemampuan masing-masing negara di Asia Pasifik dalam mengatasi problem iklim. Beberapa negara di kawasan tersebut telah memobilisasi pendanaan iklim yang cukup besar dan mengadopsi kebijakan hijau. Di sisi lain, ada beberapa negara yang juga menghadapi berbagai kendala seperti kendala fiskal, sistem keuangan yang lebih lemah, dan kapasitas pengelolaan keuangan publik yang terbatas.
Untuk mengamankan kemakmuran ekonomi jangka panjang, laporan tersebut menggarisbawahi perlunya dukungan pemerintah yang proaktif dalam peningkatan ke sektor ekonomi yang lebih produktif dan bernilai tambah lebih tinggi. Kawasan ini juga perlu memanfaatkan daya saingnya yang kuat dalam industri hijau dan rantai nilai sebagai mesin baru pertumbuhan ekonomi.
Direktur Climatraces Lab Universitas Cambridge Kamiar Mohaddes mengatakan pemerintah, bisnis, dan masyarakat di seluruh dunia menanggung akibat badai, banjir, gelombang panas, dan kekeringan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Tanpa investasi yang diperlukan untuk mengurangi pemanasan global lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi dan ketahanan yang menjadi andalan dunia akan sangat berkurang.
“Perubahan iklim akan memperlambat pertumbuhan dan melemahkan ketahanan ekonomi karena juga akan meningkatkan perawatan kesehatan dan melemahkan keamanan,” katanya.
Dia menilai dampak fisik perubahan iklim akan secara signifikan mengurangi produktivitas ekonomi dan merusak aset ekonomi abad ini. Dalam hitungannya, output ekonomi kumulatif dapat dikurangi sebesar 15% hingga 34% jika suhu rata-rata global dibiarkan naik sebesar 3 derajat Celcius pada 2100 daripada dibatasi di bawah 2 derajat Celcius. Hal ini setara dengan mengurangi pertumbuhan PDB tahunan sekitar setengah dari satu poin prosentase secara rata-rata.
“Kebijakan ekonomi negara-negara saat ini tidak memperhitungkan kerusakan ekonomi akibat melewati titik kritis, seperti hilangnya terumbu karang atau matinya hutan Amazon,” ucapnya.
Menurutnya, investasi global yang cepat dan berkelanjutan dalam mitigasi dan adaptasi akan mengurangi kerusakan ekonomi dan harus disertai dengan hasil yang tinggi. Mitigasi memperlambat pemanasan global dengan mengurangi emisi, adaptasi mengurangi kerentanan terhadap dampak fisik perubahan iklim. Investasi dalam harus meningkat secara signifikan pada 2050 yakni 9 kali lipat untuk mitigasi dan 13 kali lipat untuk adaptasi. Kami memperkirakan bahwa total investasi yang dibutuhkan setara dengan 1% hingga 2% dari output ekonomi kumulatif hingga tahun 2100.
“Untuk menggambarkan besarnya biaya ini, rata-rata kisaran ini setara dengan tiga kali pengeluaran perawatan kesehatan global hingga tahun 2100, seperdelapannya setara dengan pengeluaran militer global yang diharapkan hingga tahun 2100,” tuturnya.
Adapun kondisi iklim di Indonesia, suhu harian maksimum dapat meningkat secara signifikan, naik dari titik dasar 31,7 derajat Celcius atau rata-rata dari tahun 1950 hingga 2014 menjadi 33,1 derajat Celcius pada 2050. Llau produktivitas tenaga kerja di Indonesia yang telah berkurang 10% pada bulan-bulan puncak akibat pemanasan global saat ini dapat turun 20% lagi pada 2050.
“Profil negara risiko iklim Bank Dunia pada 2021 memperkirakan bahwa kematian akibat panas di wilayah tersebut dapat meningkat hampir 7 kali lipat tahun 2050. Kelangkaan air di Indonesia kemungkinan akan meningkat. Pada tahun 2010, 14% kabupaten melaporkan tidak ada kelebihan air, angka yang diperkirakan Bank Dunia akan meningkat menjadi 31% pada 2050,” terang Kamiar.
CEO Environment Institute Indonesia dan Dosen Ilmu Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa berpendapat saat ini bumi menghadapi tiga tantangan besar yang dikenal sebagai triple planetary crisis yakni perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi. Ketiga krisis ini saling terkait dan berdampak besar pada keberlanjutan ekosistem dan kehidupan manusia.
Perubahan iklim, sebagai ancaman global utama, telah menyebabkan suhu rata-rata global meningkat lebih dari 1,4 derajat Celcius sejak era pra-industri hingga tahun 2023. Akibatnya, bencana seperti banjir, kekeringan, dan badai menjadi lebih sering, mengancam jutaan nyawa dan mata pencaharian.
Hilangnya keanekaragaman hayati juga mengkhawatirkan. Laporan PBB menyebutkan sekitar 1 juta spesies tumbuhan dan hewan terancam punah akibat aktivitas manusia, seperti deforestasi dan urbanisasi. Polusi, di sisi lain, memperburuk situasi. WHO mencatat bahwa 99% populasi dunia menghirup udara yang tidak memenuhi standar kualitas, meningkatkan risiko penyakit pernapasan.
Ketiga krisis ini tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga memperburuk kerentanan sosial dan ekonomi, menuntut aksi kolektif yang cepat dan terintegrasi.
Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), transformasi masyarakat secara cepat adalah kunci menghadapi triple planetary crisis. Perubahan radikal dalam energi, transportasi, dan sistem pangan menjadi penting untuk mencapai target seperti pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 45% pada 2030 (IPCC).
Di sektor keanekaragaman hayati, 75% daratan telah mengalami degradasi akibat aktivitas manusia (UNEP). Perubahan tata guna lahan dan perlindungan habitat alami menjadi langkah kritis. Demikian pula, polusi membutuhkan pendekatan baru, seperti transisi menuju ekonomi sirkular untuk mengurangi limbah dan meningkatkan efisiensi sumber daya.
Menurutnya, perlindungan dan pemulihan ekosistem seperti terumbu karang, mangrove, lamun, dan rumput laut tidak hanya penting untuk keanekaragaman hayati tetapi juga memiliki potensi besar dalam mitigasi perubahan iklim. Dengan memanfaatkan solusi berbasis laut dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pencapaian target net zero emisi. Untuk mewujudkan masa depan yang berkelanjutan, diperlukan tindakan segera untuk melindungi, memulihkan, dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada ekosistem laut ini.
Transformasi ini tidak hanya soal teknologi, tetapi juga perubahan kebijakan, perilaku, dan budaya. Kolaborasi lintas sektor diperlukan untuk menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.
INDONESIA & PERTUMBUHAN EKONOMI
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Indonesia 2025-2045 menetapkan agenda transformasi, termasuk target pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029. Namun, pertumbuhan ini harus dicapai tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan.
Menurut Mahawan, deforestasi yang masih terjadi lebih dari 100.000 hektare per tahun dan penurunan kualitas udara di perkotaan akibat polusi menjadi tantangan utama. Pada saat yang sama, sektor kelautan Indonesia, yang kaya akan ekosistem seperti mangrove dan terumbu karang, menghadapi ancaman serius dari perubahan iklim dan aktivitas manusia.
“Mengintegrasikan kebijakan ekonomi hijau, perlindungan lingkungan, dan inovasi teknologi menjadi langkah penting untuk mencapai visi Indonesia berkelanjutan pada 2045,” ujarnya.
Menurutnya, langkah transisi menuju nol emisi bersih dapat memberikan manfaat ganda seperti mengurangi jejak karbon sekaligus meningkatkan kualitas udara di perkotaan. Upaya ini dapat diwujudkan melalui elektrifikasi transportasi, penggunaan energi terbarukan, dan penerapan teknologi bersih di sektor industri.
Kebijakan yang mendukung pengurangan emisi tidak hanya menargetkan mitigasi perubahan iklim tetapi juga menciptakan kota yang lebih sehat bagi penduduknya. Dengan mempercepat implementasi strategi ini, kualitas udara yang lebih bersih dapat tercapai, mengurangi beban kesehatan masyarakat, serta mendukung keberlanjutan lingkungan.
Seperti negara berkembang lainnya, Indonesia ingin menjadi negara maju, semakin cepat semakin baik tentunya, namun pada saat yang bersamaan dunia menghadapi triple planetary crisis, kondisi sistem Bumi tidak stabil, termasuk di Indonesia yang berpotensi mengganggu perekonomian nasional.
“Target mencapai pertumbuhan ekonomi 8% di tahun 2029 menjadi agenda yang baik jika tidak disertai trade-off dengan sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Keberlanjutan bumi Indonesia menjadi syarat tercapainya visi Indonesia berkelanjutan di tahun 2045,” kata Mahawan.
Terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan dampak perubahan iklim ke ekonomi berisiko meningkatkan beban biaya kesehatan. Studi Celios di 3 wilayah yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara menunjukkan efek industri pada pembangkit listrik tenaga batu bara menyebabkan setidaknya 3.800 kematian setiap tahunnya dalam dua tahun ke depan dan hampir 5.000 kematian pada 2035. Hal ini sebabkan beban ekonomi sebesar US$2,63 miliar dan US$3,42 miliar per tahun pada periode yang sama.
“Efeknya juga akan dirasakan ke penurunan produktivitas kerja dan beban fiskal karena klaim bpjs kesehatan makin besar,” ucap Bhima.
Beban ekonomi lain dalam 15 tahun ke depan, para petani dan nelayan akan mengalami kerugian hingga Rp3,64 triliun atau sekitar US$234,84 juta. Kerugian berasal dari menurunnya kualitas air, tanah dan udara menyebabkan kemerosotan dalam jumlah nilai mata pencaharian pada nelayan dan petani.